tajuk rencana > Rusia, AS, dan Suriah
kompas Cetak |
Sungguh malang nasib yang menimpa Suriah. Ibarat kata, negeri itu sudah jatuh tertimpa tangga; menjadi ajang perta-rungan kekuatan besar.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa Suriah telah menjadi mandala proxy war,
perang proksi, tidak hanya antara Rusia dan AS, tetapi juga antara
Turki dan Kurdi, antara Arab Saudi dan Iran. Apa yang terjadi di Suriah
bukan lagi sekadar perang saudara, perang sektarian, tetapi sudah
menjadi perang multi-proksi, yang melibatkan sejumlah negara yang
bertarung untuk mempertahankan atau memenuhi kepentingan nasionalnya.
Memang, beberapa waktu lalu, Presiden AS Barack Obama mengatakan tidak
akan membiarkan konflik yang terjadi di Suriah menjadi perang proksi
antara AS dan Rusia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan berkata lain.
Sejak awal bulan ini, Rusia secara jelas dan tegas memberikan dukungan
kepada rezim Bashar al-Assad bersama dengan Iran—ditambah
Hezbollah—untuk menghadapi kelompok perlawanan bersenjata, termasuk
Negara Islam di Irak dan Suriah. Iran memberikan banyak bantuan,
termasuk logistik, militer, dan keuangan. Bahkan, belakangan diberitakan
Garda Revolusi Iran pun dikirim ke Suriah. Adapun Rusia mengerahkan
pesawat tempurnya, mengebomi posisi kelompok perlawanan.
Di pihak lain, sudah menjadi rahasia umum, AS memainkan peran penting
dengan mendukung kelompok-kelompok perlawanan, bersama dengan Arab Saudi
dan Qatar. Bahkan, beberapa hari lalu, kelompok perlawanan mengaku
mendapatkan bantuan peluru kendali anti tank dari AS. Pengakuan itu yang
antara lain membuat Rusia menurunkan frekuensi serangannya terhadap
kelompok perlawanan anti Bashar.
Kalau kita mengikuti definisi tentang perang proksi yang disodorkan
Stephen D Biddle dari Council on Foreign Relations, apa yang terjadi di
Suriah adalah perang proksi. Ia mendefinisikan perang proksi sebagai
”aktor luar yang memajukan sebuah agenda dengan menggunakan para
petarung lokal”.
Jelas di sini aktor luarnya adalah AS, Rusia, Iran, Arab Saudi, Qatar,
dan Turki. Mereka menggunakan ”petarung” lokal di Suriah untuk menjamin
kepentingan mereka, mengamankan kepentingan nasional mereka. Meski
demikian, pendapat Biddle itu disanggah ilmuwan lain, seperti John
McLaughlin dari Johns Hopkins University dan Cliff Kupchan, analis dari
Eurasia Group.
Apa pun definisinya, yang pasti perang di Suriah yang menewaskan lebih
dari 200.000 orang memaksa jutaan orang mengungsi mencari tempat aman,
antara lain membanjiri negara-negara Eropa, ribuan lain terluka, dan
jutaan lainnya menderita dan tertutup masa depannya.
Apakah itu yang mereka cari? Demi kekuasaan, demi kepentingan nasional, orang tak berdosa menjadi korban.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Rusia, AS, dan Suriah".
No comments:
Post a Comment