Indra Tranggono
Cetak |
Bahkan para pencuri recehan
sekalipun masih punya ”idealisme”. Mereka tak ingin anak dan cucunya
jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh lebih terdidik, berkuasa, dan
”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya malu jika mewariskan tradisi
kecurangan dan pencolongan kepada generasi penerus bangsa.
Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah kejujuran.
Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi harta
kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan
waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran,
negeri ini merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum
akhirnya terpuruk seperti saat ini akibat maraknya korupsi.
Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika
berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci
telah memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi
harus dikatakan dan dijalani.
Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil
rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap
merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi
kepuasan duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga
dibenci.
Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika, estetika,
moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat baik,
berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya
yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan
modal utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang
menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran
yang bermakna bagi kemanusiaan, masyarakat, dan negara. Dalam konteks
bernegara, di titik kebenaran itulah seluruh kepentingan rakyat
bermuara.
Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan
berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara
pun bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan
penderitaan rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat
kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas negara.
Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan berbagai
retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari
penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari
ulah badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat
bisa bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”
Konser korupsi
Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR untuk
merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu
hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan
pendukung revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga
sementara dan karena ”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas
dari korupsi, KPK harus out dari negara.
Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan usia KPK
itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke depan
sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang,
ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12 tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?
Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit ringan
yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat
sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan
moral bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk
empat komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara
harmonis menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama
dahsyat, membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan
kemakmuran bangsa rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu
berkekuatan ”gaib” dan mampu menjadikan bangsa kita miskin.
Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi pengampunan
bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi. Kenapa para
penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada koruptor yang
sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa? Kenapa
terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling
tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai
kekayaan dan kebaikan?
KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh KPK sama
dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam apa
yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya,
pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui
kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun
tradisi.
Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya menjadi
bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan,
kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus.
Sayangnya, nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke
depan, generasi penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?
Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan dan
peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu
memperjuangkan masa depan bangsa.
Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di
halaman 7 dengan judul "Warisan Kejujuran dan Kecurangan"