Saturday, October 24, 2015

Warisan Kejujuran dan Kecurangan

Indra Tranggono

Bahkan para pencuri recehan sekalipun masih punya ”idealisme”. Mereka tak ingin anak dan cucunya jadi pencuri. Kaum koruptor, yang jauh lebih terdidik, berkuasa, dan ”terhormat” dibandingkan pencuri semestinya malu jika mewariskan tradisi kecurangan dan pencolongan kepada generasi penerus bangsa. 

Warisan terpenting bangsa bagi generasi penerus adalah kejujuran. Perubahan boleh saja terus terjadi, tetapi kejujuran tetap menjadi harta kekayaan nilai mental dan kultural bangsa yang mampu menembus ruang dan waktu. Para pendiri negara telah membuktikannya. Dengan kejujuran, negeri ini merdeka, berdaulat, dan mampu membangun peradaban sebelum akhirnya terpuruk seperti saat ini akibat maraknya korupsi.

Namun, kejujuran selalu menghadirkan kerumitan persoalan ketika berhubungan dengan kepentingan jangka pendek. Para nabi dan orang suci telah memperingatkan hal itu: kejujuran dan kebenaran itu pahit, tetapi harus dikatakan dan dijalani.

Sayangnya, tidak semua orang—termasuk para penyelenggara, wakil rakyat—mau mengikuti jejak para nabi dan orang suci. Kejujuran dianggap merugikan: menjadi penghambat bagi nafsu dalam meraih kepentingan demi kepuasan duniawi. Karena itu, kejujuran tak hanya dihindari, tetapi juga dibenci.

Kejujuran adalah seperangkat nilai ideal (etika, logika, estetika, moralitas) yang memberi orientasi perilaku manusia untuk berniat baik, berpikir benar, berperilaku benar, sehingga menghasilkan karya budaya yang memiliki dimensi kemanusiaan dan peradaban. Niat baik merupakan modal utama dalam berperilaku/bertindak yang menuntun seseorang menggunakan akal budi untuk mencari dan menemukan nilai-nilai kebenaran yang bermakna bagi kemanusiaan, masyarakat, dan negara. Dalam konteks bernegara, di titik kebenaran itulah seluruh kepentingan rakyat bermuara.

Ketika para penyelenggara membenci, mencampakkan kejujuran, dan berperilaku korup, terjadilah kehancuran nilai-nilai kebenaran. Negara pun bekerja dengan cacat moral dan hanya menghasilkan keburukan dan penderitaan rakyat. Negara yang hadir adalah negara semu. Rakyat kehilangan horizon harapan dan hilang kepercayaan atas negara.

Kekecewaan dan patah hati rakyat tak bisa ditebus dengan berbagai retorika dan akrobat politik atau teater-teater penuh spektakel dari penyelenggara negara. Rakyat melihat semua aksi teatrikal tak lebih dari ulah badut yang tragis: tak lucu dan mengenaskan. Kepada negara, rakyat bisa bilang, ”Uwis, kowe ora sah nglucu merga uripmu wis lucu (Sudahlah, kamu tak usah melucu karena hidupmu sudah lucu).”

Konser korupsi
Kelucuan menyedihkan itu juga muncul ketika hak inisiatif DPR untuk merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digulirkan. Revisi itu hanya memberi hak hidup KPK untuk 12 tahun lagi. Para pelaku dan pendukung revisi ini boleh saja beralasan bahwa KPK itu lembaga sementara dan karena ”diperkirakan” 12 tahun lagi Indonesia sudah bebas dari korupsi, KPK harus out dari negara.

Ada fungsionaris parpol yang bilang, justru dengan pembatasan usia KPK itu aksi pemberantasan korupsi bisa dipercepat hingga 12 tahun ke depan sehingga pada 2017 negeri ini merdeka dari korupsi. Orang Jawa bilang, ini omongan empuk eyup (penuh iming-iming kenikmatan). Siapa yang menjamin 12 tahun lagi duit negara tidak dicolong para koruptor?

Logika gampangan itu menyamakan korupsi tak beda dengan penyakit ringan yang bisa dihilangkan dalam masa yang ditentukan. Para wakil rakyat sengaja alpa bahwa korupsi itu penyakit berat yang merusak mental dan moral bangsa, terutama bagi mereka yang memiliki kekuasaan, termasuk empat komunitas: politik, hukum, birokrasi, dan ekonomi. Mereka secara harmonis menggelar konser korupsi yang manis, melahirkan nada dan irama dahsyat, membahana, sehingga sendi-sendi kedaulatan negara dan kemakmuran bangsa rontok. Nada dan irama konser para koruptor itu berkekuatan ”gaib” dan mampu menjadikan bangsa kita miskin.

Sangat hebatnya hegemoni koruptor hingga muncul inisiasi pengampunan bagi mereka: diampuni asal mengembalikan uang hasil korupsi. Kenapa para penyelenggara negara menjadi begitu lunak dan lembek pada koruptor yang sangat jelas merupakan makhluk predator kekayaan negara-bangsa? Kenapa terhadap para maling mereka tetap berprasangka baik? Bukankah maling tetaplah maling meskipun ia menutupi dirinya dengan rumbai-rumbai kekayaan dan kebaikan?

KPK telah jadi harapan rakyat dalam melibas koruptor. Membunuh KPK sama dengan membunuh harapan rakyat. Jika hal ini terjadi, nilai macam apa yang hendak kita warisan kepada generasi penerus? Secara budaya, pewarisan nilai kebenaran, kebaikan, dan kejujuran berlangsung melalui kebiasaan: perilaku baik yang konstan dan selalu berulang dan membangun tradisi.

Melenyapkan korupsi melalui efektivitas kinerja KPK bukan hanya menjadi bagian dari penegakan hukum, melainkan juga penanaman nilai kebaikan, kebenaran, dan kejujuran bagi publik, terutama generasi penerus. Sayangnya, nilai-nilai ideal itu kini justru sedang akan dihancurkan. Ke depan, generasi penerus mendapat apa? Teknik canggih colong-mencolong?

Kehancuran nilai-nilai ideal adalah awal kehancuran kebudayaan dan peradaban bangsa. Semoga masih banyak petinggi negeri yang mampu memperjuangkan masa depan bangsa.

Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Warisan Kejujuran dan Kecurangan"

Mengingat Tan

Mengingat Tan

Kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka. 

Seandainya ada the founding father yang tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat hidupnya paling tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk kepada Ilyas Hussein, satu dari 23 nama samaran yang disandingnya.

Selama 20 tahun, hidup Tan Malaka berada dalam pengasingan. Ia mengelilingi separuh dunia (1922-1942) di bawah bayang-bayang perburuan intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda sebelum akhirnya mati mengenaskan: pada 21 Februari 1949, tentara Republik Indonesia mengeksekusinya di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Ia dianggap menentang Soekarno-Hatta dan dipandang membahayakan Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Ironis, Tan Malaka menemui ajal bukan oleh kaum kolonial, melainkan di tangan bangsanya sendiri.

Kalau hari ini banyak orang yang membaca kembali pikiran Tan Malaka, mungkin benar apa yang pernah dikatakannya tahun 1948, ”Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas Bumi.”

Jokowi dan Dunia Riset Indonesia

Wasisto Raharjo Jati
Sama seperti pada penyelenggaraan acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia, 24 Maret 2015, pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, 8-11 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo juga tidak hadir. 

Ketidakhadiran seorang presiden dalam acara temu ilmiah menjadi pertanyaan penting mengenai keberpihakan pemerintah dalam kebijakan riset. Dengan kata lain, riset masih menjadi anak tiri dalam kebijakan pemerintahan Jokowi setahun ini.

Hal tersebut berbeda dengan sikap Presiden Tiongkok, Perdana Menteri Jepang, ataupun Kanselir Jerman yang langsung mengiyakan datang dalam acara serupa di negaranya. Mereka datang dan bertemu untuk mendiskusikan hasil riset yang sudah dikerjakan dan dihasilkan untuk disalurkan kepada pemerintah.

Berbasis riset
Dalam kasus Indonesia, pengedepanan hasil kebijakan berbasis riset (policy-based research) dan hasil kajian berbasis riset (evidence-based research) belum mendapatkan perhatian lebih. Implikasinya, kebijakan pemerintah yang dihasilkan selama ini dibuat berdasarkan nalar by agenda dan by issue, bukan by research. Kondisi itulah yang menyebabkan hasil riset bertumpuk di gudang kantor pemerintah.

Fungsi litbang yang sejatinya sebagai lembaga penelitian dan pengembangan justru dipelesetkan menjadi lembaga sulit berkembang. Munculnya akronim itu menunjukkan bahwa riset adalah dunia satire dan ironi.
Meskipun kini Dikti sudah digabung dengan Kemenristek, belum tampak ada gebrakan. Upaya menyinergikan riset yang dikomandoi Dikti melalui PTN, PTS, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menjadi koordinator litbang di setiap kementerian dan nonkementerian belum menunjukkan hasil signifikan.

Perumusan kebijakan
Dunia riset seharusnya menjadi arena strategis bagi perumus kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah dibangun melalui proses agenda setting oleh para stakeholder yang ingin kepentingannya dipenuhi dengan mengatasnamakan kepentingan publik. Adanya subyektivitas personal dan kolektif yang dipilih dalam merumuskan kebijakan publik menyebabkan dimensi kemaslahatan kebijakan tidak dirasakan merata oleh masyarakat. Kebijakan tanpa didasari hasil riset hanya berujung pada pemborosan anggaran karena tidak ada dasar obyektivitas ilmiah yang dijadikan parameter.

Meski demikian, bicara dunia riset di Indonesia adalah suatu keprihatinan klasik yang selalu berulang. Salah satunya, masalah anggaran riset yang hanya 0,9 persen dari APBN, padahal idealnya 1,5 persen. Selain itu, redistribusi hasil riset dari lembaga penelitian yang tidak merata dan hanya menumpuk di gudang, birokratisasi ilmu pengetahuan sehingga menjadikan peneliti seperti dalam penjara panopticon negara karena selalu diawasi secara sadar dan tidak sadar, dan masalah kesejahteraan peneliti yang dirasa kurang dibandingkan dengan rekan sejawat peneliti di negara-negara lain.

Implikasinya bisa kita simak bahwa pola brain drain akan selalu berulang setiap tahun daripada kita berharap brain gain tanpa ada perbaikan internal di dalamnya. Kenyataan bahwa Presiden berhalangan hadir membuka acara Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 2015 sudah menyimbolkan bahwa kajian riset masih dianaktirikan. Sebaiknya Presiden memang hadir dalam acara Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) di LIPI jika masih peduli dengan ilmu pengetahuan.

Menurut rilis R&D Magazine pada 2014, posisi Indonesia berada di bawah 1 persen dalam pengembangan riset. Artinya, masyarakat Indonesia berada dalam masyarakat tanpa pengetahuan karena minimnya ilmu pengetahuan yang diolah dan diterapkan.

Secara politis, pemilihan LIPI sebagai tuan rumah Kipnas ke-11 juga mengandung pesan simbolis kepada pemerintah. Pertama, penguatan lembaga penelitian jadi lembaga penelitian dan pengembangan. Selama ini posisi sebagai lembaga penelitian dinilai tidak bisa bergerak bebas dalam menyebarkan hasil kajian riset. Riset itu hanya dilakukan secara internal, hasilnya untuk internal dan menjadi buku, tanpa masyarakat sebagai user mengerti proses terciptanya ilmu pengetahuan.

Bebas dan meluas
Adanya nuansa mendakik dan menukik itulah yang menjadikan lembaga penelitian tidak membumi dan familiar di kalangan masyarakat. Maka, dengan adanya dimensi pengembangan, ilmu pengetahuan itu secara independen bisa mengembangkan ilmu pengetahuan secara bebas dan meluas.

Kedua, penguatan LIPI sebagai lembaga koordinator institusi riset di seluruh Indonesia perlu ditegakkan. Selama ini, peran dan hasil riset setiap lembaga penelitian tidak terkoordinasi dengan baik sehingga menciptakan kontestasi antarlembaga. Hal itu sebenarnya karena setiap lembaga penelitian ingin mendapatkan pamor dan panggung dengan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai komoditas isu. Pola itulah yang harus diberantas dengan LIPI berperan sebagai mediator dan koordinator bagi semua lembaga riset, bahwa riset untuk kemajuan jauh lebih penting daripada riset untuk persaingan.

Adanya UU Peneliti dan Penelitian Ilmu Pengetahuan yang masuk Program Legislasi Nasional 2015 perlu diadvokasi dan disahkan guna memastikan masa depan ilmu pengetahuan yang cerah. Ketiga, LIPI berupaya menagih janji Presiden Jokowi untuk menaikkan anggaran riset karena setahun lalu Jokowi berjanji akan menaikkan anggaran riset menjadi 1 persen. Dalam Nawacita disebutkan bahwa ilmu pengetahuan menjadi pilar penting pembangunan negara.

Ketiga pesan simbolis tersebut merupakan upaya menjembatani dunia riset dengan dunia kebijakan yang belum terhubung. Kebijakan tanpa dasar ilmiah adalah pembohongan dan riset tanpa disertai kebijakan adalah kemunafikan. Oleh karena itulah, kedua arena tersebut perlu dihubungkan bahwa bahasa riset yang menukik dan mendakik itu bisa dijelaskan secara awam dalam bahasa kebijakan dan bahasa kebijakan yang serba teknis itu jelas dasarnya dari proses ilmiah. Maka, Kipnas di LIPI pada 8-11 Oktober 2015 menjadi ajang penting dalam menyinergikan riset dalam kebijakan.
Wasisto Raharjo Jati, Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman

Kedaulatan Energi dan Listrik

Mudrajad Kuncoro

Pemerintah akan memangkas target proyek pembangkit listrik dari 35.000 megawatt menjadi 16.000 megawatt. 

Pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, ini bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang bersikukuh tetap akan menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW.

Kontroversi semacam itu jelas "tidak menyejukkan", kontraproduktif, dan dinilai memberikan sentimen negatif bagi iklim investasi di Indonesia. Apakah ini cermin dari kebijakan energi nasional yang tidak jelas arah dan targetnya? Ataukah memang kedaulatan energi dan listrik hanya cita-cita?

Pertumbuhan rendah
Perekonomian Indonesia pada triwulan II-2015 tumbuh 4,67 persen (year on year), melambat dibandingkan triwulan II-2014 yang tumbuh 5,03 persen. 

Pada triwulan I-2015, ekonomi Indonesia tumbuh 4,72 persen. Pertumbuhan ini didorong oleh semua lapangan usaha kecuali pertambangan dan penggalian. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh jasa pendidikan yang tumbuh 12,16 persen, diikuti oleh informasi dan komunikasi (9,56 persen), jasa kesehatan dan kegiatan sosial (8,16 persen), pertanian (6,64 persen), dan industri pengolahan (4,42 persen). Kendati demikian, sektor pertambangan dan penggalian mengalami kontraksi tajam atau tumbuh negatif 5,87 persen.

Dengan kata lain, melambatnya pertumbuhan ekonomi terutama akibat sektor pertambangan yang mengalami pertumbuhan negatif. Ini diperparah dengan pengadaan listrik dan gas yang tumbuh rendah hanya 0,5 persen. Anjloknya nilai rupiah, menurunnya semua harga komoditas tambang, serta tingginya komponen impor bahan baku dan penolong merupakan akar masalah buruknya pertumbuhan kedua sektor ini.

Menteri ESDM Sudirman Said menjelaskan, arah paket kebijakan ESDM adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menjamin kepastian hukum, memudahkan investasi, menggerakkan sektor riil, dan memperkuat industri hilir. Menteri ESDM juga telah mengeluarkan tiga peraturan menteri terkait pendelegasian wewenang pemberian izin di bidang ketenagalistrikan (Permen ESDM No 35/2014), bidang migas (Permen ESDM No 23/2015), dan bidang minerba (Permen ESDM No 25/2015) ke Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 

Kementerian ESDM memangkas perizinan sampai 60 persen dalam enam bulan. Jika tahun 2014 ESDM memegang 218 perizinan, sejak awal 2015 jumlah ini menyusut menjadi 89 perizinan, dengan 63 perizinan telah didelegasikan ke PTSP di BKPM.

Langkah positif tersebut agaknya belum cukup. Masalah mendasar energi adalah posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada 2014. Peringkat itu melorot tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada 2011 turun ke peringkat ke-47. 

Indonesia akan terus menjadi net importer minyak jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Dengan diimpornya 60 persen kebutuhan BBM nasional dan semakin besar jumlahnya, akan semakin besar pula ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Khusus gas, masalah utama terjadi kenaikan permintaan gas yang melebihi pasokan. Hingga 2012 memang ekspor lebih banyak daripada kebutuhan domestik. Namun, dengan tren permintaan gas domestik lebih dari 6 persen per tahun, sejak 2013 konsumsi domestik melebihi ekspor. Tahun 2014, defisit gas mencapai 1,773 MMSCF per hari.
Sektor industri, pupuk, dan listrik mulai berteriak kekurangan pasokan gas di hampir semua provinsi. Sungguh ironis ketika PT Pupuk Kaltim mengeluh kekurangan gas, padahal LNG Badak berada di kota yang sama. Atau rakyat Madura yang kekurangan gas ketika tambang gas ada di pulau tersebut.

Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyadari urgensi masalah energi ini. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, kedaulatan energi dan ketenagalistrikan masuk prioritas ke-7 Nawacita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan energi merupakan sasaran sektor ESDM dengan target pendapatan pemerintah Rp 1.994 triliun. Total investasi dan pendanaan pada sektor energi dan sumber daya mineral tahun 2015-2019 ditargetkan 273 miliar dollar AS dengan pendanaan APBN pada Kementerian ESDM Rp 71,5 triliun.

Prioritas kebijakan
Tidak mudah mewujudkan Nawacita ke-7 ini. Kedaulatan energi adalah kemampuan bangsa untuk menetapkan kebijakan, mengawasi pelaksanaannya, dan memastikan jaminan ketersediaan energi dengan harga terjangkau dan mudah diakses, baik rumah tangga, industri, maupun kementerian/lembaga/pemda.
Untuk itu, perlu prioritas kebijakan energi dan ketenagalistrikan berikut ini.

Pertama, realisasi produksi minyak bumi tahun 2009 sampai tahun 2015 selalu lebih rendah daripada target APBN-P. Akibatnya, makin lama impor minyak makin tinggi dan kita menjadi net importer minyak. Permasalahan yang menyebabkan target produksi minyak dan gas bumi tidak tercapai perlu dicari solusinya.
Kenyataannya, makin sulit mencari minyak dan gas di wilayah daratan, laut dangkal, dan Indonesia barat dengan biaya rendah. Insentif berupa pengurangan, apalagi penghapusan, Pajak Pertambahan Nilai untuk eksplorasi ladang migas baru perlu diterapkan. Insentif fiskal bagi mobil, bus, truk, serta sepeda motor hibrida dan listrik sudah saatnya dicoba. Di Inggris dan negara Eropa, tarif pajak untuk moda transportasi berbasis listrik dan hibrida jauh lebih murah daripada BBM.

Kedua, pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik harus diutamakan. Ini perlu karena tanpa domestic obligation yang pasti, industri dan rakyat akan terus kekurangan gas. Defisit gas dialami oleh sejumlah provinsi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Maluku. Potensi cadangan gas yang akan dikembangkan terletak jauh dari pusat konsumen/industri dan kebanyakan di laut dalam di kawasan timur Indonesia. 

Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat: (1) pembangunan floating storage regasification unit (FSRU) atau terminal LNG yang berada di lepas pantai untuk mengatasi sulitnya pembebasan lahan di daratan, (2) pembangunan pipa gas dengan total panjang 6.362 kilometer, (3) pembangunan 118 SPBG, serta (4) kontrak jangka panjang batubara sebagai energi primer PLTU dan pemberian insentif bagi industri batubara yang melambat akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, India, dan negara mitra dagang utama.

Debirokratisasi
Ketiga, deregulasi dan debirokratisasi perlu terus dilanjutkan agar investasi di sektor energi dan listrik bergairah di tengah pelambatan ekonomi dunia dan nasional. Birokrasi di industri migas pasca UU migas baru dengan adanya perluasan wewenang Direktorat Jenderal Migas dan dibentuknya SKK Migas memunculkan berbagai birokrasi tambahan. Langkah Menteri ESDM memangkas perizinan dan mendelegasikan izin ke PTSP di BKPM perlu diapresiasi dan dilanjutkan untuk menurunkan "biaya birokrasi".

Keempat, sektor kelistrikan pemerintah harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan serta mendorong pembangkit listrik berbasis gas, bukan diesel. Untuk itu, dibutuhkan insentif bagi pembangkit listrik berbasis gas, surya, angin, air, dan lain-lain dengan memberi kelonggaran regulasi, insentif fiskal, dan moneter untuk mempercepat kenaikan rasio elektrifikasi, khususnya di kawasan timur Indonesia dan daerah/desa tertinggal. 

Hingga kini, FSRU baru segelintir serta terpusat di Lampung dan Jawa Barat. Dengan konsentrasi penduduk dan industri di Jawa dan Sumatera, perluasan jalur pipa gas hingga pelosok desa mutlak diperlukan. Kawasan timur Indonesia butuh lebih banyak FSRU dengan jaringan LNG mengambang berbasis tol laut.
Kelima, perlu sinergi kebijakan energi dengan kebijakan industri dan BUMN. PGN, Pertamina, Pelindo, dan PLN perlu menyusun peta jalan agar tak berebut "kue" di hulu dan hilir sektor energi, listrik, dan distribusinya. Strategi coopetition, yaitu mengawinkan strategi bekerja sama dan sekaligus bersaing di industri hulu dan hilir energi, amat relevan agar perusahaan pelat merah menomorsatukan kepentingan nasional. Alternatifnya, barangkali perlu dijajaki merger antara BUMN di bidang energi, khususnya PGN dan Pertamina ataupun Pelindo dan PLN, mengingat kesamaan jenis bisnis dan sinergi yang meningkatkan jika perusahaan pelat merah "dikawinkan".

Percepatan pembangkit listrik 35.000 MW perlu dilakukan dengan program aksi dengan target yang jelas. Sudah tidak saatnya berwacana, mulailah bekerja. Semoga kedaulatan energi dan listrik bukan hanya cita-cita, melainkan menjadi realitas yang dinanti rakyat.
Mudrajad Kuncoro
Guru Besar FEB UGM

Tugas Paling Sulit Seorang Hakim

Adi Andojo Soetjipto
- The most difficult question a judge has to decide is what sentence he should impose on an offender he found guilty -

Ungkapan tersebut pernah diucapkan oleh seorang hakim, saya lupa namanya, yang melekat di benak saya sampai sekarang.

Sebagai seorang mantan hakim yang pernah bertugas di pengadilan paling bawah (pengadilan negeri) sampai paling atas (Mahkamah Agung) selama 40 tahun, saya sangat setuju dan bisa meresapi apa yang diucapkan oleh hakim tersebut. Memang, yang paling sulit yang dihadapi seorang hakim dalam melaksanakan tugas adalah ketika dia harus menjatuhkan putusan hukuman apa dan berapa berat terhadap terdakwa yang telah dinyatakan terbukti bersalah.

Di sinilah indra keenam hakim akan turut bicara. Dia akan mempertimbangkan banyak sekali hal, seperti umur terdakwa, profesinya, jenis kelaminnya, motifnya apa, dan banyak lagi. Dari situlah dia akan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.