Mengingat Tan
ASEP SALAHUDIN
Cetak |
Kalau ada manusia pergerakan yang menghabiskan seluruh usia untuk Indonesia yang diimpikannya, dia adalah Tan Malaka.
Seandainya ada the founding father yang tidak pernah mencicipi manisnya takhta kekuasaan, lagi-lagi dia adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka.
Bahkan boleh jadi dari sekian kaum pejuang yang riwayat hidupnya paling
tragis, lagi-lagi itu pasti merujuk kepada Ilyas Hussein, satu dari 23
nama samaran yang disandingnya.
Selama 20 tahun, hidup Tan Malaka berada dalam pengasingan. Ia
mengelilingi separuh dunia (1922-1942) di bawah bayang-bayang perburuan
intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda sebelum akhirnya mati
mengenaskan: pada 21 Februari 1949, tentara Republik Indonesia
mengeksekusinya di Desa Selapanggung dalam sebuah kemelut ideologis. Ia
dianggap menentang Soekarno-Hatta dan dipandang membahayakan Indonesia
yang baru saja diproklamasikan. Ironis, Tan Malaka menemui ajal bukan
oleh kaum kolonial, melainkan di tangan bangsanya sendiri.
Kalau hari ini banyak orang yang membaca kembali pikiran Tan Malaka,
mungkin benar apa yang pernah dikatakannya tahun 1948, ”Ingatlah bahwa
dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas Bumi.”
Ternyata Tan Malaka tidak pernah mati walau rezim Orde Baru mencoba
menghapus jejaknya dari sejarah perjuangan bangsa. Dia tidak ambil
bagian dalam hiruk-pikuk politik proklamasi 17 Agustus 1945, tetapi
semua kalangan tidak menyangsikan perannya dalam merumuskan konsep
keindonesiaan.
Mohammad Yamin menyebutnya sebagai ”Bapak Republik Indonesia”. Imaji keindonesiaan itu pertama kali muncul dalam risalah Naar de Republiek Indonesia (1925) sebelum Hatta menulis Indonesia Vrij (1928) dan Soekarno menyampaikan Menuju Indonesia Merdeka (1933) atau kaum muda lewat Sumpah Pemuda (1928).
Tan tidak hanya berjuang dengan ”tubuh” lewat kiprahnya di berbagai
organisasi sejak belia. Dimulai sebagai anggota Serikat Islam Semarang
(1921), Ketua Partai Komunis Indonesia (1921-1922), wakil komintern
untuk Asia Timur (1924), dan terakhir sebagai pendiri Partai Murba
(1948). Namun, ia juga berjuang dengan ”gagasan” dengan pikirannya yang
cemerlang, seperti tampak dari karya-karyanya: Parlemen atau Soviet (1929), SI Semarang dan Onderwijs (1921), Dasar Pendidikan (1921), Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924), Semangat Muda (1925), Massa Actie (1926), Local Actie dan National Actie (1926), Pari dan Nasionalisten (1927), Pari dan PKI (1927), Pari International (1927), Manifesto Bangkok (1927), Asia Bergabung (1943), Madilog (1943), Muslihat (1945), Rencana Ekonomi Berjuang (1945), Politik (1945) , Manifesto Jakarta (1945), Thesis (1946), Pidato Purwokerto (1946), Pidato Solo (1946), Gerpolek (1948), Pidato Kediri (1948), Pandangan Hidup (1948), Kuhandel di Kaliurang (1948), Dari Penjara ke Penjara (1948), serta Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaannya (1948).
Relevansi
Gagasan Tan Malaka hari ini menjadi relevan dipercakapkan justru di
tengah situasi politik kebangsaan yang sering tersekap defisit
moralitas, absennya prinsip-prinsip yang dikukuhi dan selebihnya
kerumunan politisi yang datang dengan kepala kosong dan hanya
mengandalkan kepalan tangan, retorika murahan, dan nafsu memburu
kekuasaan yang kelewat batas.
Tan hadir sebagai ”ideologi kritik” sekaligus kekuatan counter culture justru ketika politik minus ”politisi”, negara nirnegarawan, dan kekuasaan kehilangan jangkar moralitas.
Partai politik pasca reformasi lahir tak ubahnya jamur. Namun, nyaris
tidak ada garis demarkasi yang membedakan satu dengan yang lain.
Ideologinya seragam berujung pada pragmatisme. Tidak perlu heran kalau
para politisi dengan mudahnya melompat dari satu partai ke partai lain.
Dengan enteng bikin partai baru yang serupa dengan partai karatan
sebelumnya kecuali lambang dan namanya. Temanya ”restorasi”, tetapi
isinya sama: bancakan dana sosial.
Lembaga politik bukannya mendidik rakyat dan membangun massa agar
aktif, tetapi justru massa itu selama lima tahun sekali dihampiri dengan
pendekatan materi. Di pusaran ini dalam setiap pemilihan yang tercium
selalu politik transaksional, suara yang diperjualbelikan.
Tidak hanya dalam pemilihan legislatif, tetapi juga pemilihan
eksekutif, mulai presiden sampai kepala desa. Rakyat digiring ke
lapangan bukan untuk menyimak pidato politik mencerahkan, melainkan
hanya diseru goyang bersama pedangdut sintal. Tidak ada rapat akbar
layaknya di Ikada—ketika Soekarno dan kawan-kawan menyuntikkan kesadaran
berbangsa. Sekarang yang ditemukan sekadar teriakan politisi yang
meminta-minta untuk dicoblos dengan menjual isu primitif politik
partisan, kesukuan, ataupun fantasi arkaik keagamaan abad pertengahan.
Maka, bagi saya, dalam situasi politik jahiliah macam begini, jangan
terlampau mengharap lahir negarawan sekelas Tan Malaka. Toh kenyataannya
malah selepas menjabat (atau sedang menjabat) tidak sedikit politisi
yang harus berurusan dengan KPK dan berujung di balik terali besi.
Mereka hidup dari penjara ke penjara (dari Cipinang ke Sukamiskin) bukan
sebagai manusia yang memperjuangkan prinsip demi menghadirkan Indonesia
sejahtera, melainkan demi keluarga dan kelompoknya dengan cara-cara
yang hina.
Coba sesekali saat hari libur ke Bandung, jangan melulu memburu
makanan, tetapi tengoklah penjara Sukamiskin. Lihatlah mulai dari camat,
bupati, wali kota, sekretaris daerah, gubernur, menteri, hingga
pimpinan partai, mereka mendekam atas pasal tindak pidana korupsi.
Berbanding terbalik, dahulu di Bandung, akhir Desember 1929, Soekarno
yang menjabat Ketua PNI dijebloskan ke Ruang TA 01 di lantai 2 Lapas
Sukamiskin atas tuduhan menghina Hindia Belanda dan menyusun pleidoinya
yang terkenal, Indonesie Klaagt Aan (Indonesia Menggugat).
Soekarno dengan wajah tengadah berkata, ”Tak usah kami uraikan lagi
bahwa proses ini adalah proses politik. Ia, oleh karena itu, di dalam
pemeriksaannya tidak boleh dipisahkan dari soal-soal politik yang
menjadi sifat dan asas pergerakan kami dan yang menjadi nyawa
pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan kami....”
Menurut saya, ketimbang para anggota Dewan terhormat menghabiskan uang
miliaran rupiah untuk kunjungan studi banding ke luar negeri dan
lainnya, jauh akan lebih berfaedah jika studi bandingnya melihat para
penghuni Lapas Sukamiskin. Agar kesalahan yang sama tidak mereka
lakukan, supaya kebodohan itu tidak terulang.
Tantangan juga untuk wali kota flamboyan Bandung, Ridwan Kamil,
bagaimana menjadikan Lapas Sukamiskin sebagai obyek wisata rohaniah,
tentu jauh akan lebih bermanfaat ketimbang terus-menerus bikin taman dan
menanam rumput.
Kalau dahulu pada awal-awal proklamasi Tan Malaka menolak tawaran
yuniornya, Hatta, untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan, hari ini jangan
harap ada cerita politisi menampik tawaran kursi kekuasaan.
Kenyataannya, mereka malah menghalalkan segala cara agar dapat menjadi
bagian dari lingkaran kuasa. Bahkan, mereka yang sebelumnya sangat vokal
mencerca penguasa ketika ditawari takhta dengan sigap menerima.
Warisan pemikiran
Seandainya dari Tan Malaka lahir banyak kitab yang berisi gagasan untuk
kemajuan bangsanya, bahkan mengilhami kaum pergerakan untuk tidak
pernah lelah merawat mimpi Indonesia masa depan, hari ini kita tak perlu
ketemu buku yang hanya berisi biografi politisi: diluncurkan di hotel
mewah, tetapi isi tak lebih hanya foto-foto kunjungan ke daerah, selfie
di luar negeri, kutipan dari sekian pendapat orang, dan sisanya
testimoni pesanan yang penuh puja-puji dari kerabat atau ”cendekiawan”.
Buku dengan kualitas alay dan lebay.
Dari Tan Malaka juga kita mewarisi sikap jujur, tidak mata duitan,
berani, sekaligus sikap pergaulan yang inklusif. Pada masanya, Partai
Komunis Indonesia berniat diperkuat kembali perkawanannya dengan Serikat
Islam. Pernah pula pimpinan Muhammadiyah hendak mengundang Tan Malaka
untuk berpidato tentang kemungkinan komunisme bersatu dengan Pan
Islamisme dan dia telah menyanggupi, tetapi keburu ditangkap Hindia
Belanda.
Bagi Tan Malaka, komunisme dan Pan Islamisme harus beraliansi menjadi
sebuah kekuatan besar menghadapi kolonial, bukan terus bersengketa yang
malah akan menguntungkan kaum penjajah.
Memang zaman sudah berubah, sayang perubahan itu menjurus ke arah rute
politik gelap. Zaman pergerakan hanya menyisakan gema yang kian lamat
terdengar, kita lebih bernafsu bergerak menuju perburuan benda dengan
cara bernegara yang koruptif.
Mungkin menjadi sangat berarti merenungkan penggalan pidato Tan Malaka
pada rapat pertama Persatuan Perjuangan, ”Orang tak akan berunding
dengan maling di rumahnya.”
Asep Salahudin, Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya; Dosen di FISS Universitas Pasundan, Bandung
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Mengingat Tan".
No comments:
Post a Comment