Monday, August 10, 2015

Antara Pembantu dan Penentu (I-V)

Catatan Jelang Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar)
Antara Pembantu dan Penentu (I)
Selasa, 16 Juni 2015, 06:00 WIB

Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif
Professor Ahmad Syafii Maarif
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Bila tidak ada aral melintang, Muhammadiyah akan menyelenggarakan muktamarnya yang ke-47 di Makassar pada 3-7 Agustus 2015. Berbagai persiapan telah dilakukan sehingga diharapkan muktamar akan berjalan lancar dan produktif, sekalipun bendahara panitia Ir H Dasron Hamid MSc telah wafat pada 24 April 2015 di RS PKU Gamping, Yogyakarta.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, semoga sahabat kita ini mendapatkan husnu al-khatimah di akhir hayatnya, amin. Kematian Dasron memang sebuah kehilangan besar bagi Muhammadiyah, tetapi agama mengajarkan agar orang tidak boleh larut dalam suasana duka, betapa pun berat dirasakan.

Gagasan Kebangsaan NU


Koran SINDO
Jum'at, 31 Juli 2015 − 08:14 WIB

Anna Luthfie
Alumni Pondok Pesantren Al-Amin Gaprang Blitar


Nahdlatul Ulama (NU) dan gagasan tentang kebangsaan bagaikan dua keping mata uang yang tidak terpisahkan.

Bagaimana tidak, NU lahir sebagai upaya merajut kepentingan umat yang tetap tidak terpisahkan dari kepentingan kebangsaan. Dari mulai era prakemerdekaan sampai era digital saat ini komitmen kebangsaan tetap melekat dalam organisasi kemasyarakatan terbesar tersebut. Sumbangsih NU dalam merajut nilai-nilai kebangsaan tentu telah tercatat dengan apik dan rapi di dalam sejarah negeri ini, meskipun kemudian di sejarah perjalanan Orde Baru NU seakan menjadi anak tiri yang terasingkan dalam proses sosial politik.

Mengharap Terobosan (Baru) NU dan Muhammadiyah


Koran SINDO
Sabtu, 1 Agustus 2015 − 09:38 WIB

DRS H TAUFIQ R ABDULLAH
Anggota FPKB DPR RI,
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Periode 1999–2010


Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menggelar perhelatan tahunan pada waktu yang hampir bersamaan.

Muktamar Ke-33 NU digelar pada 1- 5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. Adapun Muktamar ke-47 Muhammadiyah digelar pada 3-6 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Inilah peristiwa penting dalam sejarah gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Publik Indonesia dan dunia tentu menunggu keputusan dan terobosan yang akan diambil kedua organisasi terbesar tersebut.

Trisula Abad Kedua


Koran SINDO
Selasa, 4 Agustus 2015 − 08:30 WIB
Trisula Abad Kedua
BENNI SETIAWAN 

Abad kedua penuh tantangan. Tantangan itu masih terkait dengan etos pembaruan yang telah lama menjadi ciri Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada 1912 ini.

Pembaruan Muhammadiyah abad pertama melalui pembangunan basis kesadaran dan kecerdasan melalui sekolah, penyantunan yang lemah melalui Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan Roemah Miskin, telah menjadi milik bangsa. Bangsa dan gerakan lain telah meniru langkah pembaruan Muhammadiyah itu melalui pembangun sekolah dengan berbagai model, lembaga penyantunan yatim piatu, dan gerakan-gerakan pendampingan terhadap kaum mustadh’afin (miskin).

Harapan terhadap Muhammadiyah


Koran SINDO
Senin, 3 Agustus 2015 − 10:29 WIB
Harapan terhadap Muhammadiyah
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, Wakil Ketua Fokal IMM


Sejumlah harapan mengemuka menyambut Muktamar Ke-4 Muhammadiyah, 3-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Publik memberikan sambutan yang cukup antusias.

Selama kurang lebih sebulan sebelum muktamar, setiap hari ada berita atau isu yang muncul terkait Muktamar Muhammadiyah. Berbagai pemikiran dan gagasan (baik yang benar-benar baru maupun lama, tapi diperbarui) untuk memajukan Muhammadiyah bermunculan dari kalangan akademisi dan cendekiawan, baik dari mereka yang merasa dirinya punya attachment dengan Muhammadiyah ataupun tidak.

Momentum Kesadaran Teknokratis Muhammadiyah


Koran SINDO
Sabtu, 1 Agustus 2015 − 09:38 WIB
Momentum Kesadaran Teknokratis Muhammadiyah
M MUCHLAS ROWI
Aktivis Muhammadiyah

Dalam belantara diskursus dan pewacanaan kebangsaan, terutama ketika mendekati pemilu atau pun ajang muktamar, Muhammadiyah kerap diperhadapkan dengan adanya dua desakan, baik berasal dari publik maupun kadernya sendiri.

Desakan agar Muhammadiyah mulai melek secara politik di satu sisi, dan di sisi lain desakan agar Muhammadiyah tetap pada khitahnya dengan berada pada jalur dakwah kultural. Dua hal ini pun terkadang makin ramai diperbincangkan, manakala kader-kader Muhammadiyah harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa kian minimnya jumlah kader persyarikatan yang masuk dalam kontestasi politik dan pemerintahan.

Wasiat Pendiri Muhammadiyah

Wasiat Pendiri Muhammadiyah
Koran SINDO
Kamis, 6 Agustus 2015 − 08:15 WIB

Muhbib Abdul Wahab 

“Muhammadiyah pada masa sekarang ini berbeda dengan Muhammadiyah pada masa mendatang. Karena itu, warga mudamudi Muhammadiyah hendaklah terus menjalani dan menempuh pendidikan serta menuntut ilmu pengetahuan (dan teknologi) di mana dan ke mana saja.

Menjadilah dokter sesudah itu kembalilah kepada Muhammadiyah. Jadilah master, insinyur, dan profesional lalu kembalilah kepada Muhammadiyah sesudah itu.” (KH Ahmad Dahlan).

Wasiat visioner pendiri Muhammadiyah tersebut menginspirasi kita semua dan menarik direnungkan bersama, terutama oleh warga Muhammadiyah. Pertama, Muhammadiyah didirikan bukan untuk satu atau dua generasi, melainkan lintas generasi dan sepanjang masa.

Internasionalisasi Pendidikan Muhammadiyah


Koran SINDO
Jum'at, 31 Juli 2015 − 08:15 WIB

Abdul Mu’ti
Sekretaris PP Muhammadiyah, Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Muhammadiyah adalah gerakan yang identik dengan pendidikan. KH Ahmad Dahlan memulai gerakan pembaharuan Islam melalui pendidikan.

Pertama, KH Ahmad Dahlan meletakkan model pendidikan agama nonformal dengan memberikan ceramah agama sebelum rapat resmi Budi Utomo. Kedua, mengajarkan Islam sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler Sekolah Guru Yogyakarta dan Sekolah Pamong Praja (OSVIA) Magelang. Selain siswa muslim, para siswa nonmuslim juga tertarik mengikuti studi Islam (Sudja, 2010). Ketiga, mendirikan Madrasah QismulArqa di teras rumahnya di Kauman, Yogyakarta.

Membangun Jembatan antara Dua Gajah

Membangun Jembatan antara Dua Gajah
Koran SINDO
Rabu, 5 Agustus 2015 − 08:05 WIB 

 
DR MOHAMMAD NASIH
Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh al-Quran Darun Nashihah,
Ngaliyan Semarang


Di sebagian kalangan ”akar rumput” dan sesungguhnya juga elite warga Muhammadiyah dan NU, perbedaan afiliasi organisasi keagamaan Islam tersebut seringkali menyebabkan masalah yang kecil atau besar bisa mengganggu dalam konteks persatuan umat Islam.

Muhammadiyah dan NU didirikan dengan niat awal mempersatukan kekuatan untuk memperjuangkan Islam dan umat Islam secara optimal dengan desain membangun jamaah (kelompok) dalam bentuk jamjamiyyah (organisasi). Perjuangan besar dan berat tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri. Perlu jamaah yang kuat yang di dalamnya terdapat banyak elemen yang bisa melakukan sinergi.

Muhammadiyah dan Pesantren


Koran SINDO
Sabtu, 8 Agustus 2015 − 10:17 WIB
  AZAKI KHOIRUDIN 

Perhelatan akbar lima tahunan Muktamar Ke- 47 Makasar sudah selesai kemarin. Pada muktamar kali ini Muhammadiyah membawa ide “Islam Berkemajuan” dan tegaskan dirinya sebagai “Gerakan Pencerahan”.

Artinya, jati diri Muhammadiyah lekat sekali antara “Islam” dan “kemajuan”. Tema ini begitu berat, sangat relevan dengan kondisi bangsa, bahkan dunia saat ini. Untuk mematangkan gagasan tersebut, Prof Din Syamsuddin mengadakan “Silatul Fikri” di Puncak Bogor, 24-26Juli2015. Kegiatandiikuti 60 intelektual Muhammadiyah dari berbagai bidang keilmuan.

Muhammadiyah Mencari Ketua Umum Baru

Minggu, 26 Juli 2015
Antara

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ridho Al-Hamdi/Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Jerman Raya, Studi S3 Ilmu Politik di TU Dortmund University

Hampir dipastikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar, 3-7 Agustus 2015, organisasi yang telah berusia lebih dari satu abad ini akan memilih ketua umum (ketum) baru beserta jajaran pimpinan lainnya. Din Syamsuddin yang telah memimpin selama dua periode (2005-2015) dipastikan tak bersedia dicalonkan lagi menjadi ketua umum maupun pimpinan di tingkat pusat. Dalam berbagai kesempatan, Din yang kini masih menjabat sebagai ketua umum MUI justru bangga ingin menjadi ketua Ranting Muhammadiyah.