Jack Ma (50) tidak pernah menjadi juara di sekolah.
Dia berulang kali mengalami penolakan. Dia pernah ditolak masuk universitas.
Berulang kali pula dia melamar pekerjaan dan ditolak berbagai perusahaan. Tak
seorang pun yakin dengan masa depan Jack Ma. Namun, lelaki kelahiran Hangzhou,
Tiongkok, ini tidak pernah menyerah.
Jack Ma, pendiri dan Pemimpin Alibaba.com, perusahaan
e-dagang asal Tiongkok, menjadi orang terkaya di Tiongkok setelah penjualan
saham perdana Alibaba di bursa Amerika Serikat mencatat rekor 25 miliar dollar
AS pada September 2014. Dia menjadi orang Tiongkok daratan pertama yang masuk
dalam daftar orang terkaya dunia versi majalah Forbes.
Jack Ma kini menjadi contoh inspirasi bagi banyak
orang yang memulai e-dagang. Pelajaran yang dapat dipetik dari seorang Jack Ma
adalah dia tumbuh dari kehidupan yang sangat miskin dan dia bukan seorang juara
di sekolahnya. Dia pernah tiga kali gagal masuk ke universitas, namun terus
mencobanya sampai berhasil.
Jakarta - Penurunan kinerja ekonomi dan perlambatan pertumbuhan
ekonomi global memang terjadi di hampir semua negara. Namun apakah
perlambatan ekonomi Indonesia semata-mata hanya disebabkan oleh pengaruh
faktor eksternal atau karena adanya salah kelola dari sisi internal?
Tidak
dapat dimungkiri, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor
konsumsi, yaitu sekitar 62,62 persen. Sampai triwulan II 2015,
berdasarkan harga konstan 2010, porsi peran konsumsi rumah tangga masih
sangat dominan, 54,67 persen, pemerintah 7,9 persen, dan lembaga
nonprofit 1,08 persen. Sementara, porsi investasi yang tercermin dari
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 31,69 persen, ekspor 22,56 persen,
dan impor 21,13 persen, sehingga porsi net ekspor sebesar 1,43 persen.
Dari data tersebut, sangat gamblang untuk mendeteksi sumber utama penyakit yang menjadi "biang kerok" perlambatan ekonomi.
Perayaan hari raya Idul Fitri atau biasa disebut Lebaran di Indonesia
bisa dibilang cukup unik. Lebaran tidak hanya berdimensi religius,
tetapi juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, dan ekonomi.
Eratnya sistem kekerabatan dan hubungan kekeluargaan menjadikan Lebaran
sekaligus sebagai momentum silaturahim ”massal”.
Budaya saling berkunjung antarsanak saudara dan handai tolan memiliki
implikasi langsung terhadap kegiatan ekonomi. Bagaimana tidak, hampir
setiap rumah tangga seolah ”wajib” menyediakan berbagai hidangan khas
Lebaran. Bukan itu saja, Lebaran juga sering identik dengan baju baru,
bahkan tak jarang berbagai perlengkapan rumah tangga yang harus baru
sampai kendaraan baru. Karena itu, tak jarang pada saat Lebaran kegiatan
pegadaian dan pembiayaan kredit mengalami peningkatan cukup signifikan.
Sebenarnya, meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat tersebut
semestinya justru dapat dimanfaatkan sebagai sumber peningkatan
produktivitas nasional. Apalagi jika pemerintah mampu memberikan
berbagai stimulus dan insentif kepada dunia usaha, tentu akan semakin
mendorong efisiensi sehingga mampu memacu produksi. Demikian juga jika
terdapat langkah-langkah antisipatif guna mendorong ketersediaan
berbagai komoditas pangan penting. Terutama bahan pangan yang
permintaannya pasti meningkat saat Lebaran, seperti beras, gula, cabai,
daging, dan telur.
Dengan demikian, meningkatnya permintaan masyarakat setiap Ramadhan dan
Lebaran tidak akan diikuti fluktuasi harga. Alhasil, Lebaran justru
menjadi momentum peningkatan produktivitas, tetapi tanpa harus disertai
tekanan inflasi. Lebaran justru memacu kinerja sektor riil dan momentum
mengurangi ketergantungan impor.
Lebaran yang juga selalu diikuti oleh tradisi mudik terus berlangsung
turun-temurun. Jumlah pemudik Lebaran kali ini diperkirakan mencapai 20
juta orang. Tradisi mudik merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Pemusatan kegiatan pembangunan yang terkonsentrasi di kota-kota besar
telah mendorong arus urbanisasi dari seluruh pelosok negeri menyerbu
kota-kota besar. Hampir semua sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
tidak ada yang tertinggal di desa. Akibatnya, desa dan daerah yang
memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah justru tertinggal.
Terbatasnya SDM berkualitas di desa memicu ketimpangan pembangunan
desa-kota semakin melebar.
Jembatan mengurai kesenjangan
Momentum mudik mestinya dapat menjadi jembatan untuk mengurai
kesenjangan pembangunan desa-kota. Para urban yang telah berhasil di
kota-kota besar dapat memberikan transfer informasi, pengetahuan, dan
berinvestasi di kampung halamannya melalui usaha-usaha produktif.
Setidaknya, Lebaran 2015, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang tunai
baru sekitar Rp 125 triliun. Artinya, terdapat perputaran uang tunai dan
potensi transfer dana dari kota ke desa yang mencapai lebih dari Rp 100
triliun. Sayangnya, perputaran uang itu hanya untuk kegiatan yang
bersifat konsumtif belaka. Bahkan, sebagian besar tersedot untuk
memenuhi kebutuhan transportasi dan pengeluaran bahan bakar minyak (BBM)
karena tradisi kemacetan arus mudik yang tak kunjung terselesaikan.
Keberhasilan pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sekalipun
ternyata belum mampu memutus persoalan pemborosan konsumsi BBM akibat
kemacetan arus mudik di jalur pantai utara Jawa.
Semestinya pemerintah mengantisipasinya dengan menyediakan sarana
transportasi yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Minimal berbagai
alat transportasi yang di bawah kendali BUMN dapat dioptimalkan, seperti
PT Kereta Api Indonesia, Damri, Pelni, dan Garuda Indonesia, justru
diberikan insentif, bukan malah ikut dinaikkan. Strategi ini minimal
akan menekan kenaikan ongkos transportasi angkutan Lebaran, terutama
mengendalikan kenaikan ongkos transportasi yang dilakukan angkutan
swasta. Artinya, laju inflasi yang disumbang dari transportasi dapat
dikendalikan. Tidak hanya itu, jika porsi pengeluaran pemudik untuk
transpor dapat dikurangi, tentu potensi peningkatan daya beli masyarakat
untuk menggerakkan sektor produksi akan semakin meningkat.
Pengeluaran pemudik di desa mempunyai dampak langsung menggerakkan
ekonomi desa. Apalagi jika pemerintah daerah mempunyai cukup kreativitas
mengoptimalkan sumber daya pemudik sebagai putra daerah untuk membangun
kampung halamannya melalui investasi jangka panjang. Ketersediaan dana
desa yang akan digelontorkan kepada setiap desa dapat menjadi modal awal
untuk meningkatkan kapasitas ekonomi di desa. Dana tersebut akan
semakin optimal jika pemerintah daerah atau desa dapat menggandeng putra
daerah untuk menumbuhkan berbagai usaha produktif di desa. Jika potensi
ekonomi desa dapat dikelola dan dibangun, bukan hal mustahil segera
akan terjadi arus reurbanisasi dari kota ke desa.
Sayangnya, pengelolaan tradisi Lebaran sampai tahun ini sama sekali
belum ada perubahan. Sejak menjelang Ramadhan, berita utama yang
menghiasi semua media tetap saja kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan
pokok. Padahal, jika stabilisasi harga kebutuhan pokok dapat dijaga,
niscaya daya beli masyarakat dapat meningkat sehingga dapat
mengembalikan kemampuan konsumsi rumah tangga. Lebaran dapat dijadikan
momentum untuk kembali menggairahkan kelesuan ekonomi.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di
halaman 15 dengan judul "Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi".
Presiden Joko Widodo agaknya kembali melakukan kebijakan yang bagi
sebagian kalangan disebut blunder. Kali ini ketika Jokowi memerintahkan
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama BPJS
Ketenagakerjaan Elvyn Masassya (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian
tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan
Hari Tua. Padahal, PP itu belum lama ditandatangani Presiden, persisnya
30 Juni 2015.
Revisi PP JHT tampaknya terkait erat dengan protes dan demonstrasi kaum
pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka
berdemo tidak hanya di tengah puasa Ramadhan yang panas, tetapi juga
mengancam bakal mengerahkan massa besar awal Agustus 2015.
Perdebatan menjemukan pemilihan kepala daerah serentak dewasa ini
terjebak hanya di sekitar masalah yang berkaitan dengan intrik politik,
seperti dugaan upaya mengganjal pilkada karena partai belum siap akibat
kepengurusan rangkap; usul agar pilkada ditunda karena
pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum di daerah tidak beres, anggaran
yang belum keluar, dan isu yang paling panas adalah fenomena calon
tunggal. Membiarkan perdebatan terperangkap pada isu periferi akan
semakin membuat perpolitikan nasional masuk dalam pusaran turbulensi
politik yang mengacaukan kiblat politik. Arah perdebatan menjadi
pragmatis sensasional, bukan substansi yang seharusnya menjadi arah
penyempurnaan penyelenggaraan pilkada yang komprehensif.
Oleh sebab itu, sebaiknya perbincangan harus mengacu kembali kepada
khitah atau garis haluan perjuangan bangsa sehingga pilkada dapat
dilakukan secara langsung. Pertama, pilkada mewujudkan pemerintahan
daerah yang efektif, melembagakan dan memperdalam demokrasi lokal.
Pemilu lokal bukan sekadar demokrasi ritual yang memuja prosedur politik
melegitimasi penguasa, melainkan bagian dari pendidikan politik rakyat.
Publik pun semakin sadar bahwa hak memilih selalu sejalan dengan
kewajiban dan kemampuan mengontrol penguasa daerah secara terus-menerus.
Pada 5 Agustus 2015, banyak pihak cukup terkejut dengan rilis dari
Badan Pusat Statistik. Optimisme masyarakat terhadap perbaikan kinerja
ekonomi pada triwulan II-2015 pupus sudah. Padahal, banyak kalangan
meyakini, kendati pertumbuhan triwulan II-2015 sulit mencapai 5 persen,
setidaknya akan lebih baik daripada triwulan I-2015.
Minimal ada empat alasan potensi perbaikan ekonomi pada triwulan
II-2015. Pertama, anggaran pemerintah sudah selesai dibahas pada akhir
April 2015 dan pemerintah sudah berjanji akan mempercepat anggaran sejak
Mei 2015.
Banyak orang bertanya, kapan perekonomian mencapai titik nadir dan
kembali bangkit? Tak mudah menjawabnya. Dinamika pasar modal dan pasar
uang menunjukkan kita belum menyentuh dasarnya. Indeks Harga Saham
Gabungan pada akhir minggu lalu mulai naik ke level 4.800-an setelah
menyentuh level 4.700-an. Namun, tak ada yang bisa memastikan tak akan
melorot lagi. Sementara nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi
hingga menyentuh Rp 13.500-an per dollar AS pada akhir perdagangan pekan
lalu.
Meski dinamika perekonomian masih tak menentu, paling tidak persepsi
publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai membaik.
Survei berkelanjutan Litbang Kompas yang dimuat secara serial
sejak Senin (27/7/2015) menunjukkan adanya ”titik balik” pemerintahan
Jokowi yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Pada Januari 2015
tingkat kepuasan publik berada pada angka 61,7 persen, merosot menjadi
53 persen pada April dan kembali naik ke 57 persen pada survei bulan
Juli.
Citra Presiden juga mengalami pembalikan siklus. Jika pada Januari
angkanya 89,9 persen, pada April turun menjadi 65,2 persen, tetapi bulan
Juli kembali naik pada 80,5 persen. Dengan begitu, bisa dikatakan, di
mata publik, popularitas Jokowi yang sempat terpuruk perlahan mulai naik
kembali.
Secara lebih rinci, persepsi positif masyarakat terjadi akibat
perbaikan bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial.
Sementara masalah hukum dan ekonomi masih menjadi catatan buruk. Dari
situ, fokus agenda kerja ke depan sangat jelas arahnya, yaitu membenahi
sisi hukum dan ekonomi. Di bidang ekonomi, masalahnya memang kompleks.
Selain persoalan depresiasi nilai tukar dan gejolak di pasar modal,
persoalan di sektor riil juga semakin merisaukan.
Laporan keuangan semester I-2015, banyak perusahaan mengonfirmasi
pelambatan ekonomi. Di antara kelompok bank besar, PT Bank Negara
Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan penurunan kinerja paling besar dengan
penurunan laba 50,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Sementara laba PT Bank Mandiri (BMRI) Tbk hanya naik tipis 3,5
persen dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hanya naik 1,19 persen.
Penjualan motor dan mobil terkoreksi tajam sehingga laba PT Astra
Internasional Tbk (ASII) turun 18 persen. Permintaan kebutuhan pangan
juga turun sehingga laba PT Indofood Sukses Makmur (INDF) terkoreksi
sekitar 25 persen. Bahkan, penjualan rokok pun melambat. Laba PT Gudang
Garam Tbk (GGRM) turun sekitar 11 persen.
Penurunan permintaan tak hanya dialami kelompok bawah, tetapi juga
menengah atas. PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik gerai Ranch
Market, Farmer Market, dan Ministop, mengalami penurunan laba 34 persen.
Jika kelompok atas saja melambat, apalagi permintaan kelompok menengah
bawah. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pemilik gerai Alfamart,
mengalami penurunan laba hingga 57 persen. Secara singkat, pelambatan
sudah menyentuh jantung perekonomian kita.
Dinamika pasar keuangan telah merembet ke sektor riil. Selain persoalan
stabilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan ekonomi juga
menjadi tantangan amat serius bagi pemerintah. Seandainya belanja
pemerintah bisa didorong secara maksimal sekalipun, belum tentu
pertumbuhan akan terangkat tahun ini, mengingat guncangan pada sektor
keuangan masih terus terjadi. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tak
akan lebih dari 5 persen tahun ini.
Meski begitu, dalam survei Kompas ditunjukkan betapa
pemerintah di bawah Presiden Jokowi dianggap berhasil mengendalikan
harga, memeratakan pembangunan antarwilayah, mengembangkan pasar
tradisional, mewujudkan swasembada pangan, serta memberdayakan petani
dan nelayan. Sementara persoalan besar ada pada pengendalian nilai
tukar.
Bahkan, untuk variabel memeratakan pembangunan antarwilayah serta
mengembangkan pasar tradisional, angka kepuasannya melampaui angka
survei bulan Januari. Angka kepuasan dalam hal mengembangkan pasar
tradisional, jika bulan Januari berada pada 62,6 persen, sempat turun
sedikit menjadi 62 persen pada April dan melejit menjadi 68,9 persen
pada Juli. Artinya, masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap
upaya pemerintah dalam program-program kesejahteraan rakyat. Dalam hal
ini, ”intervensi” yang dilakukan Jokowi berhasil baik.
Melihat fakta ini, tak berlebihan jika secara umum pemerintahan Jokowi
masih menjanjikan. Inilah momentum sangat baik bagi Jokowi untuk
mengonsolidasikan pemerintahan agar lebih solid, efektif, dan terus
menciptakan kinerja positif. Tantangan jangka pendek kenaikan suku bunga
The Fed yang diperkirakan akan terjadi pada September nanti menjadi
ujian penting. Jika berhasil dilalui, dan kecemasan pasar mereda, di
situlah ruang pelonggaran moneter terbuka. Suku bunga bisa sedikit
diturunkan dan pelambatan ekonomi tak berlanjut.
Harapannya, baik persepsi publik maupun pemburukan ekonomi sama-sama
telah melewati titik nadir. Sekarang saatnya berbenah menyiapkan
momentum 2016 di mana perekonomian bisa lebih ekspansif. Dalam konteks
inilah penataan ulang kabinet harus ditempatkan.
A Prasetyantoko, Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2015, di
halaman 15 dengan judul "Mencari Titik Nadir Perekonomian".
Satu lagi buku menarik tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba.
Judil menduduki posisi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia
(DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru (Orba) karena didakwa terlibat
Malari.
Seperti halnya biografi, buku ini bercerita tentang sosok
Judil yang dikenal sebagai aktivis politik sejak mahasiswa sampai kini.
Ia konsisten mengkritisi Orba tidak hanya saat menimba ilmu kedokteran
di UI, tetapi juga setelah itu melalui Petisi 50.
Risiko dan
penderitaan yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara
atau dibuntuti aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya
sebagai dokter pun dicabut.
Judil membuat gempar panggung politik
ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi pesaing
Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil
melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun
1998.
Krisis selalu berulang dengan pola sama meski
pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya,
dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya, This Time is Different
(2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap
penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan
penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama.
Namun,
tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini
akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada
banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.
Minggu
lalu, nilai tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS
kendati di akhir pekan ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat
gejolak 2008, nilai tukar melemah hingga mencapai titik terendah pada
November 2008, yakni Rp 12.400 per dollar AS. Adapun pada krisis 1998,
sesuai catatan Bank Indonesia, titik terendah pada akhir Juli, yakni Rp
14.900 per dollar AS.
Petani sebagai pemegang saham mayoritas bangsa tidak
terwakili dalam sistem politik Indonesia.
Ini tergambar dari sedikitnya 15 undang-undang yang
melawan kepentingan petani, dan hanya satu undang-undang yang jelas- jelas
berpihak kepada petani, dengan nasibnya yang tersia-sia.Inilah penyebab utama
kemiskinan dan pemiskinan petani.Karena itu, diperlukan revolusi dalam sistem
perwakilan kita.
UU yang memiskinkan
Berita utama Kompas, 26/4/ 2010, pernah mengungkapkan
anjloknya nilai tukar petani yang disertai dengan menurunnya penguasaan lahan.
Padahal, ada sekitar 25 juta rumah tangga petani yang memproduksi nilai tidak
kurang dari Rp 258,2 triliun per tahun melalui produk pangan, seperti padi,
jagung, kedelai, ubi kayu, dan sebagainya.
Banyak petani menengah dengan rata-rata penguasaan
lahan 2 hektar jatuh menjadi petani miskin dengan rata-rata penguasaan lahan
kurang dari setengah hektar.Pada gilirannya, petani yang miskin ini pun
terperosok menjadi buruh tani.
Seandainya
korupsi di Indonesia tidak parah, seandainya perusahaan-perusahaan
milik negara tidak dijadikan sapi perah oleh para politikus, seandainya
para direksi dan komisaris Pertamina memiliki rekam jejak yang tak
tercela, maka penjualan tanker raksasa Pertamina adalah perkara jamak.
Seandainya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini
berperilaku terpuji, seandainya mereka tak kerap bepergian ke luar
negeri yang lebih banyak unsur melancongnya ketimbang mengemban tugas
negara, seandainya mereka tak pernah menerima amplop, maka kunjungan
anggota DPR ke Korea Selatan dan Hongkong niscaya tak perlu diusik.
Di tengah integrasi perekonomian dunia, tentu tidak ada satu negara pun
yang mampu mengisolasi diri dari berbagai dampak pelambatan ekonomi
global. Besar transmisi pada gejolak perekonomian domestik tergantung
dari struktur ekonomi, karakteristik, dan daya tahan setiap negara.
Faktor yang tak kalah menentukan adalah respons kebijakan dan strategi
memanfaatkan peluang. Menghadapi pelemahan nilai tukar, misalnya,
beberapa negara, seperti Tiongkok dan Vietnam, justru memanfaatkannya
sebagai strategi memitigasi pelambatan pertumbuhan ekonomidomestik
melalui momentum mendorong ekspor.
Hal yang sama semestinya dapat dilakukan Indonesia. Penurunan harga
komoditas harus segera dimanfaatkan untuk mendorong industri pengolahan.
Saatnya Indonesia menghentikan menjual komoditas primer dan fokus
membangun industri hulu, industri substitusi impor, dan industri hilir.
Anjloknya harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat
dioptimalkan untuk melakukan hilirisasi industri. Sementara rendahnya
harga komoditas pertambangan merupakan momentum memperkuat industri hulu
atau industri dasar. Jika segera dilakukan, tidak hanya melepaskan
ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor, tetapi
sekaligus dapat mengubah kiblat kebijakan industri. Ke depan, Indonesia
berpeluang menjadi negara industri berbasis daya saing yang tinggi.
Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota parlemen
Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai
Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesal- kan. Memperkenalkan
Setya dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan
dukungan (endorsement) ”sahabatnya yang merupakan salah satu di antara orang sangat berkuasa” dari Indonesia.
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam konteks
politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap di
Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya
pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary Tanoesoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.
Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement),
mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang membawa nama
dan lembaga terhormat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya
sepatutnya bertemu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai
Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.