Tuesday, September 8, 2015

Jack Ma, Tak Pernah Juara di Sekolah, Kini Orang Terkaya di Tiongkok



ROBERT ADHI KSP
KOMPAS Siang | 10 Juni 2015 16:50 WIB 

Jack Ma (50) tidak pernah menjadi juara di sekolah. Dia berulang kali mengalami penolakan. Dia pernah ditolak masuk universitas. Berulang kali pula dia melamar pekerjaan dan ditolak berbagai perusahaan. Tak seorang pun yakin dengan masa depan Jack Ma. Namun, lelaki kelahiran Hangzhou, Tiongkok, ini tidak pernah menyerah.
Jack Ma, pendiri dan Pemimpin Alibaba.com, perusahaan e-dagang asal Tiongkok, menjadi orang terkaya di Tiongkok setelah penjualan saham perdana Alibaba di bursa Amerika Serikat mencatat rekor 25 miliar dollar AS pada September 2014. Dia menjadi orang Tiongkok daratan pertama yang masuk dalam daftar orang terkaya dunia versi majalah Forbes.
Jack Ma kini menjadi contoh inspirasi bagi banyak orang yang memulai e-dagang. Pelajaran yang dapat dipetik dari seorang Jack Ma adalah dia tumbuh dari kehidupan yang sangat miskin dan dia bukan seorang juara di sekolahnya. Dia pernah tiga kali gagal masuk ke universitas, namun terus mencobanya sampai berhasil.

Enam Biang Kerok Perlambatan Ekonomi

Kamis 03 Sep 2015, 10:36 WIB

Kolom

Enam Biang Kerok Perlambatan Ekonomi

Enny Sri Hartati - detikNews

Tidak dapat dimungkiri, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor konsumsi, yaitu sekitar 62,62 persen. Sampai triwulan II 2015, berdasarkan harga konstan 2010, porsi peran konsumsi rumah tangga masih sangat dominan, 54,67 persen, pemerintah 7,9 persen, dan lembaga nonprofit 1,08 persen. Sementara, porsi investasi yang tercermin dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 31,69 persen, ekspor 22,56 persen, dan impor 21,13 persen, sehingga porsi net ekspor sebesar 1,43 persen.

Dari data tersebut, sangat gamblang untuk mendeteksi sumber utama penyakit yang menjadi "biang kerok" perlambatan ekonomi.

Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi


analisis ekonomi Enny Sri Hartati

Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi

Perayaan hari raya Idul Fitri atau biasa disebut Lebaran di Indonesia bisa dibilang cukup unik. Lebaran tidak hanya berdimensi religius, tetapi juga sangat kental dengan dimensi sosial, budaya, dan ekonomi. Eratnya sistem kekerabatan dan hubungan kekeluargaan menjadikan Lebaran sekaligus sebagai momentum silaturahim ”massal”.
Budaya saling berkunjung antarsanak saudara dan handai tolan memiliki implikasi langsung terhadap kegiatan ekonomi. Bagaimana tidak, hampir setiap rumah tangga seolah ”wajib” menyediakan berbagai hidangan khas Lebaran. Bukan itu saja, Lebaran juga sering identik dengan baju baru, bahkan tak jarang berbagai perlengkapan rumah tangga yang harus baru sampai kendaraan baru. Karena itu, tak jarang pada saat Lebaran kegiatan pegadaian dan pembiayaan kredit mengalami peningkatan cukup signifikan.
Sebenarnya, meningkatnya berbagai kebutuhan masyarakat tersebut semestinya justru dapat dimanfaatkan sebagai sumber peningkatan produktivitas nasional. Apalagi jika pemerintah mampu memberikan berbagai stimulus dan insentif kepada dunia usaha, tentu akan semakin mendorong efisiensi sehingga mampu memacu produksi. Demikian juga jika terdapat langkah-langkah antisipatif guna mendorong ketersediaan berbagai komoditas pangan penting. Terutama bahan pangan yang permintaannya pasti meningkat saat Lebaran, seperti beras, gula, cabai, daging, dan telur.
Dengan demikian, meningkatnya permintaan masyarakat setiap Ramadhan dan Lebaran tidak akan diikuti fluktuasi harga. Alhasil, Lebaran justru menjadi momentum peningkatan produktivitas, tetapi tanpa harus disertai tekanan inflasi. Lebaran justru memacu kinerja sektor riil dan momentum mengurangi ketergantungan impor.
Lebaran yang juga selalu diikuti oleh tradisi mudik terus berlangsung turun-temurun. Jumlah pemudik Lebaran kali ini diperkirakan mencapai 20 juta orang. Tradisi mudik merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pemusatan kegiatan pembangunan yang terkonsentrasi di kota-kota besar telah mendorong arus urbanisasi dari seluruh pelosok negeri menyerbu kota-kota besar. Hampir semua sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tidak ada yang tertinggal di desa. Akibatnya, desa dan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah justru tertinggal. Terbatasnya SDM berkualitas di desa memicu ketimpangan pembangunan desa-kota semakin melebar.
Jembatan mengurai kesenjangan
Momentum mudik mestinya dapat menjadi jembatan untuk mengurai kesenjangan pembangunan desa-kota. Para urban yang telah berhasil di kota-kota besar dapat memberikan transfer informasi, pengetahuan, dan berinvestasi di kampung halamannya melalui usaha-usaha produktif. Setidaknya, Lebaran 2015, Bank Indonesia telah mengeluarkan uang tunai baru sekitar Rp 125 triliun. Artinya, terdapat perputaran uang tunai dan potensi transfer dana dari kota ke desa yang mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Sayangnya, perputaran uang itu hanya untuk kegiatan yang bersifat konsumtif belaka. Bahkan, sebagian besar tersedot untuk memenuhi kebutuhan transportasi dan pengeluaran bahan bakar minyak (BBM) karena tradisi kemacetan arus mudik yang tak kunjung terselesaikan. Keberhasilan pembangunan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sekalipun ternyata belum mampu memutus persoalan pemborosan konsumsi BBM akibat kemacetan arus mudik di jalur pantai utara Jawa.
Semestinya pemerintah mengantisipasinya dengan menyediakan sarana transportasi yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Minimal berbagai alat transportasi yang di bawah kendali BUMN dapat dioptimalkan, seperti PT Kereta Api Indonesia, Damri, Pelni, dan Garuda Indonesia, justru diberikan insentif, bukan malah ikut dinaikkan. Strategi ini minimal akan menekan kenaikan ongkos transportasi angkutan Lebaran, terutama mengendalikan kenaikan ongkos transportasi yang dilakukan angkutan swasta. Artinya, laju inflasi yang disumbang dari transportasi dapat dikendalikan. Tidak hanya itu, jika porsi pengeluaran pemudik untuk transpor dapat dikurangi, tentu potensi peningkatan daya beli masyarakat untuk menggerakkan sektor produksi akan semakin meningkat.
Pengeluaran pemudik di desa mempunyai dampak langsung menggerakkan ekonomi desa. Apalagi jika pemerintah daerah mempunyai cukup kreativitas mengoptimalkan sumber daya pemudik sebagai putra daerah untuk membangun kampung halamannya melalui investasi jangka panjang. Ketersediaan dana desa yang akan digelontorkan kepada setiap desa dapat menjadi modal awal untuk meningkatkan kapasitas ekonomi di desa. Dana tersebut akan semakin optimal jika pemerintah daerah atau desa dapat menggandeng putra daerah untuk menumbuhkan berbagai usaha produktif di desa. Jika potensi ekonomi desa dapat dikelola dan dibangun, bukan hal mustahil segera akan terjadi arus reurbanisasi dari kota ke desa.
Sayangnya, pengelolaan tradisi Lebaran sampai tahun ini sama sekali belum ada perubahan. Sejak menjelang Ramadhan, berita utama yang menghiasi semua media tetap saja kenaikan harga berbagai kebutuhan bahan pokok. Padahal, jika stabilisasi harga kebutuhan pokok dapat dijaga, niscaya daya beli masyarakat dapat meningkat sehingga dapat mengembalikan kemampuan konsumsi rumah tangga. Lebaran dapat dijadikan momentum untuk kembali menggairahkan kelesuan ekonomi.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2015, di halaman 15 dengan judul "Momentum untuk Menggerakkan Ekonomi".
  • 0
  • 0

Revisi Peraturan Pemerintah

ANALISIS POLITIK

Presiden Joko Widodo agaknya kembali melakukan kebijakan yang bagi sebagian kalangan disebut blunder. Kali ini ketika Jokowi memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu belum lama ditandatangani Presiden, persisnya 30 Juni 2015.
Revisi PP JHT tampaknya terkait erat dengan protes dan demonstrasi kaum pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka berdemo tidak hanya di tengah puasa Ramadhan yang panas, tetapi juga mengancam bakal mengerahkan massa besar awal Agustus 2015.

Pilkada Serentak Kembalikan ke Khitah!


Perdebatan menjemukan pemilihan kepala daerah serentak dewasa ini terjebak hanya di sekitar masalah yang berkaitan dengan intrik politik, seperti dugaan upaya mengganjal pilkada karena partai belum siap akibat kepengurusan rangkap; usul agar pilkada ditunda karena pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum di daerah tidak beres, anggaran yang belum keluar, dan isu yang paling panas adalah fenomena calon tunggal. Membiarkan perdebatan terperangkap pada isu periferi akan semakin membuat perpolitikan nasional masuk dalam pusaran turbulensi politik yang mengacaukan kiblat politik. Arah perdebatan menjadi pragmatis sensasional, bukan substansi yang seharusnya menjadi arah penyempurnaan penyelenggaraan pilkada yang komprehensif.
Oleh sebab itu, sebaiknya perbincangan harus mengacu kembali kepada khitah atau garis haluan perjuangan bangsa sehingga pilkada dapat dilakukan secara langsung. Pertama, pilkada mewujudkan pemerintahan daerah yang efektif, melembagakan dan memperdalam demokrasi lokal. Pemilu lokal bukan sekadar demokrasi ritual yang memuja prosedur politik melegitimasi penguasa, melainkan bagian dari pendidikan politik rakyat. Publik pun semakin sadar bahwa hak memilih selalu sejalan dengan kewajiban dan kemampuan mengontrol penguasa daerah secara terus-menerus.

Empat Jurus Mengatasi Empat Problem Krusial


Analisis Ekonomi Enny Sri Hartati

Pada 5 Agustus 2015, banyak pihak cukup terkejut dengan rilis dari Badan Pusat Statistik. Optimisme masyarakat terhadap perbaikan kinerja ekonomi pada triwulan II-2015 pupus sudah. Padahal, banyak kalangan meyakini, kendati pertumbuhan triwulan II-2015 sulit mencapai 5 persen, setidaknya akan lebih baik daripada triwulan I-2015.
Minimal ada empat alasan potensi perbaikan ekonomi pada triwulan II-2015. Pertama, anggaran pemerintah sudah selesai dibahas pada akhir April 2015 dan pemerintah sudah berjanji akan mempercepat anggaran sejak Mei 2015.

Mencari Titik Nadir Perekonomian

ANALISIS EKONOMI A Prasetyantoko


Banyak orang bertanya, kapan perekonomian mencapai titik nadir dan kembali bangkit? Tak mudah menjawabnya. Dinamika pasar modal dan pasar uang menunjukkan kita belum menyentuh dasarnya. Indeks Harga Saham Gabungan pada akhir minggu lalu mulai naik ke level 4.800-an setelah menyentuh level 4.700-an. Namun, tak ada yang bisa memastikan tak akan melorot lagi. Sementara nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi hingga menyentuh Rp 13.500-an per dollar AS pada akhir perdagangan pekan lalu. 

Meski dinamika perekonomian masih tak menentu, paling tidak persepsi publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai membaik. Survei berkelanjutan Litbang Kompas yang dimuat secara serial sejak Senin (27/7/2015) menunjukkan adanya ”titik balik” pemerintahan Jokowi yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Pada Januari 2015 tingkat kepuasan publik berada pada angka 61,7 persen, merosot menjadi 53 persen pada April dan kembali naik ke 57 persen pada survei bulan Juli.

Citra Presiden juga mengalami pembalikan siklus. Jika pada Januari angkanya 89,9 persen, pada April turun menjadi 65,2 persen, tetapi bulan Juli kembali naik pada 80,5 persen. Dengan begitu, bisa dikatakan, di mata publik, popularitas Jokowi yang sempat terpuruk perlahan mulai naik kembali.

Secara lebih rinci, persepsi positif masyarakat terjadi akibat perbaikan bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial. Sementara masalah hukum dan ekonomi masih menjadi catatan buruk. Dari situ, fokus agenda kerja ke depan sangat jelas arahnya, yaitu membenahi sisi hukum dan ekonomi. Di bidang ekonomi, masalahnya memang kompleks. Selain persoalan depresiasi nilai tukar dan gejolak di pasar modal, persoalan di sektor riil juga semakin merisaukan.
Laporan keuangan semester I-2015, banyak perusahaan mengonfirmasi pelambatan ekonomi. Di antara kelompok bank besar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan penurunan kinerja paling besar dengan penurunan laba 50,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara laba PT Bank Mandiri (BMRI) Tbk hanya naik tipis 3,5 persen dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hanya naik 1,19 persen.
Penjualan motor dan mobil terkoreksi tajam sehingga laba PT Astra Internasional Tbk (ASII) turun 18 persen. Permintaan kebutuhan pangan juga turun sehingga laba PT Indofood Sukses Makmur (INDF) terkoreksi sekitar 25 persen. Bahkan, penjualan rokok pun melambat. Laba PT Gudang Garam Tbk (GGRM) turun sekitar 11 persen.
Penurunan permintaan tak hanya dialami kelompok bawah, tetapi juga menengah atas. PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik gerai Ranch Market, Farmer Market, dan Ministop, mengalami penurunan laba 34 persen. Jika kelompok atas saja melambat, apalagi permintaan kelompok menengah bawah. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pemilik gerai Alfamart, mengalami penurunan laba hingga 57 persen. Secara singkat, pelambatan sudah menyentuh jantung perekonomian kita.
Dinamika pasar keuangan telah merembet ke sektor riil. Selain persoalan stabilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan ekonomi juga menjadi tantangan amat serius bagi pemerintah. Seandainya belanja pemerintah bisa didorong secara maksimal sekalipun, belum tentu pertumbuhan akan terangkat tahun ini, mengingat guncangan pada sektor keuangan masih terus terjadi. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tak akan lebih dari 5 persen tahun ini.
Meski begitu, dalam survei Kompas ditunjukkan betapa pemerintah di bawah Presiden Jokowi dianggap berhasil mengendalikan harga, memeratakan pembangunan antarwilayah, mengembangkan pasar tradisional, mewujudkan swasembada pangan, serta memberdayakan petani dan nelayan. Sementara persoalan besar ada pada pengendalian nilai tukar.
Bahkan, untuk variabel memeratakan pembangunan antarwilayah serta mengembangkan pasar tradisional, angka kepuasannya melampaui angka survei bulan Januari. Angka kepuasan dalam hal mengembangkan pasar tradisional, jika bulan Januari berada pada 62,6 persen, sempat turun sedikit menjadi 62 persen pada April dan melejit menjadi 68,9 persen pada Juli. Artinya, masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap upaya pemerintah dalam program-program kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, ”intervensi” yang dilakukan Jokowi berhasil baik.
Melihat fakta ini, tak berlebihan jika secara umum pemerintahan Jokowi masih menjanjikan. Inilah momentum sangat baik bagi Jokowi untuk mengonsolidasikan pemerintahan agar lebih solid, efektif, dan terus menciptakan kinerja positif. Tantangan jangka pendek kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan terjadi pada September nanti menjadi ujian penting. Jika berhasil dilalui, dan kecemasan pasar mereda, di situlah ruang pelonggaran moneter terbuka. Suku bunga bisa sedikit diturunkan dan pelambatan ekonomi tak berlanjut.
Harapannya, baik persepsi publik maupun pemburukan ekonomi sama-sama telah melewati titik nadir. Sekarang saatnya berbenah menyiapkan momentum 2016 di mana perekonomian bisa lebih ekspansif. Dalam konteks inilah penataan ulang kabinet harus ditempatkan.
A Prasetyantoko, Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul "Mencari Titik Nadir Perekonomian".

Judil dan Malari

BUDIARTO SHAMBAZY
Satu lagi buku menarik tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba. Judil menduduki posisi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru (Orba) karena didakwa terlibat Malari.
Seperti halnya biografi, buku ini bercerita tentang sosok Judil yang dikenal sebagai aktivis politik sejak mahasiswa sampai kini. Ia konsisten mengkritisi Orba tidak hanya saat menimba ilmu kedokteran di UI, tetapi juga setelah itu melalui Petisi 50.
Risiko dan penderitaan yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara atau dibuntuti aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya sebagai dokter pun dicabut.
Judil membuat gempar panggung politik ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi pesaing Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun 1998.

Keluar dari Belitan Krisis

Krisis selalu berulang dengan pola sama meski pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya, dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya, This Time is Different (2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama. 

Namun, tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan. 

Minggu lalu, nilai tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS kendati di akhir pekan ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat gejolak 2008, nilai tukar melemah hingga mencapai titik terendah pada November 2008, yakni Rp 12.400 per dollar AS. Adapun pada krisis 1998, sesuai catatan Bank Indonesia, titik terendah pada akhir Juli, yakni Rp 14.900 per dollar AS. 

Mengarusutamakan Wong Cilik

Oleh : Budiman Sudjatmiko

Petani sebagai pemegang saham mayoritas bangsa tidak terwakili dalam sistem politik Indonesia.
Ini tergambar dari sedikitnya 15 undang-undang yang melawan kepentingan petani, dan hanya satu undang-undang yang jelas- jelas berpihak kepada petani, dengan nasibnya yang tersia-sia.Inilah penyebab utama kemiskinan dan pemiskinan petani.Karena itu, diperlukan revolusi dalam sistem perwakilan kita.
UU yang memiskinkan
Berita utama Kompas, 26/4/ 2010, pernah mengungkapkan anjloknya nilai tukar petani yang disertai dengan menurunnya penguasaan lahan. Padahal, ada sekitar 25 juta rumah tangga petani yang memproduksi nilai tidak kurang dari Rp 258,2 triliun per tahun melalui produk pangan, seperti padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan sebagainya.
Banyak petani menengah dengan rata-rata penguasaan lahan 2 hektar jatuh menjadi petani miskin dengan rata-rata penguasaan lahan kurang dari setengah hektar.Pada gilirannya, petani yang miskin ini pun terperosok menjadi buruh tani.

Sisi Gelap dari Penjualan Tanker Pertamina

Analisis Faisal Basri

Tulisan ini diambil dari Kompas, 21 Juni 2004

Seandainya korupsi di Indonesia tidak parah, seandainya perusahaan-perusahaan milik negara tidak dijadikan sapi perah oleh para politikus, seandainya para direksi dan komisaris Pertamina memiliki rekam jejak yang tak tercela, maka penjualan tanker raksasa Pertamina adalah perkara jamak.

Seandainya para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama ini berperilaku terpuji, seandainya mereka tak kerap bepergian ke luar negeri yang lebih banyak unsur melancongnya ketimbang mengemban tugas negara, seandainya mereka tak pernah menerima amplop, maka kunjungan anggota DPR ke Korea Selatan dan Hongkong niscaya tak perlu diusik.

Saatnya Memacu Produksi

Analisis Ekonomi

 Enny Sri Hartati

248
Di tengah integrasi perekonomian dunia, tentu tidak ada satu negara pun yang mampu mengisolasi diri dari berbagai dampak pelambatan ekonomi global. Besar transmisi pada gejolak perekonomian domestik tergantung dari struktur ekonomi, karakteristik, dan daya tahan setiap negara. Faktor yang tak kalah menentukan adalah respons kebijakan dan strategi memanfaatkan peluang. Menghadapi pelemahan nilai tukar, misalnya, beberapa negara, seperti Tiongkok dan Vietnam, justru memanfaatkannya sebagai strategi memitigasi pelambatan pertumbuhan ekonomidomestik melalui momentum mendorong ekspor.
Hal yang sama semestinya dapat dilakukan Indonesia. Penurunan harga komoditas harus segera dimanfaatkan untuk mendorong industri pengolahan. Saatnya Indonesia menghentikan menjual komoditas primer dan fokus membangun industri hulu, industri substitusi impor, dan industri hilir. Anjloknya harga komoditas pertanian, perkebunan, dan perikanan dapat dioptimalkan untuk melakukan hilirisasi industri. Sementara rendahnya harga komoditas pertambangan merupakan momentum memperkuat industri hulu atau industri dasar. Jika segera dilakukan, tidak hanya melepaskan ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor, tetapi sekaligus dapat mengubah kiblat kebijakan industri. Ke depan, Indonesia berpeluang menjadi negara industri berbasis daya saing yang tinggi.

Ketua DPR RI dan Pilpres AS


ANALISIS POLITIK AZYUMARDI AZRA

 
Pertemuan Ketua DPR Setya Novanto beserta sejumlah anggota parlemen Indonesia dengan bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, Kamis (3/9), patut disesal- kan. Memperkenalkan Setya dalam konferensi pers di New York, Trump merasa mendapatkan dukungan (endorsement) ”sahabatnya yang merupakan salah satu di antara orang sangat berkuasa” dari Indonesia.
Dukungan itu agaknya penting bagi Trump, terutama bukan dalam konteks politik pilpres AS, tetapi lebih terkait bisnis yang sedang dia garap di Indonesia. Kalah atau menang dalam pilpres nanti, Trump yang aslinya pebisnis real estate, hotel, dan kasino, juga aktor reality show TV melalui Trump Hotel Collection bekerja sama dengan MNC Group pimpinan Hary Tanoesoedibjo mengembangkan the largest integrated resort’ di Bali dan Lido, Sukabumi.

Dalam konteks pilpres AS, pertemuan Setya-Trump bisa disebut sebagai dukungan secara tersirat (tacit endorsement), mencerminkan sikap partisan. Sebagai pejabat tinggi yang membawa nama dan lembaga terhormat Indonesia, jika tidak mau partisan, Setya sepatutnya bertemu tak hanya dengan bakal calon presiden dari Partai Republik, tetapi juga dari Partai Demokrat.