Kompas Cetak |
Krisis selalu berulang dengan pola sama meski
pemicunya berbeda. Namun, para pengambil kebijakan cenderung menolaknya,
dengan mengatakan kali ini pemicunya berbeda. Melalui bukunya, This Time is Different
(2009), Carmen M Reinhart dan Kenneth Rogoff mengingatkan sikap
penolakan ini sebagai ilusi berbahaya. Kendati transmisi dan
penggeraknya berbeda, krisis selalu punya akar masalah sama.
Namun,
tak berarti gejolak nilai tukar dan dinamika pasar modal dewasa ini
akan berujung sama seperti 1998. Bahkan, dibandingkan tahun 2008, ada
banyak perbedaan sehingga respons kebijakannya pun tak bisa disamakan.
Minggu
lalu, nilai tukar sempat hampir menyentuh Rp 14.200 per dollar AS
kendati di akhir pekan ditutup turun ke Rp 13.983 per dollar AS. Saat
gejolak 2008, nilai tukar melemah hingga mencapai titik terendah pada
November 2008, yakni Rp 12.400 per dollar AS. Adapun pada krisis 1998,
sesuai catatan Bank Indonesia, titik terendah pada akhir Juli, yakni Rp
14.900 per dollar AS.
Secara nominal, nilai rupiah kali ini
mendekati level terendah pada 1998. Namun, tingkat pelemahannya berbeda.
Jika diperhitungkan dari posisi setahun sebelumnya, nilai tukar pada
Juli 1998 terdepresiasi sekitar 125 persen dan pada 2008 sekitar 30
persen. Namun, pada Agustus 2015, depresiasi nilai tukar rupiah sekitar
19 persen dari tahun sebelumnya atau 11 persen dibandingkan dengan awal
tahun.
Dilihat dari indikator apa pun, situasi hari ini jauh
lebih baik dibandingkan dengan 1998. Adapun dibandingkan dengan 2008,
ada beberapa hal positif. Pertama, hingga pertengahan tahun ini tingkat
kecukupan modal perbankan masih sekitar 20 persen, sedangkan pada 2008
sekitar 16 persen. Kedua, kredit macet tahun ini sekitar 2,5 persen,
pada 2008 sebesar 3,8 persen. Ketiga, inflasi 2008 mencapai 11 persen,
sedangkan tahun 2015 hingga Juli 7,26 persen. Bahkan, pada akhir 2015
diperkirakan sekitar 5,5 persen.
Namun, ada beberapa indikator
negatif. Pertama, pertumbuhan ekonomi 2008 mencapai 6,1 persen, tahun
ini 4,5-4,8 persen. Kedua, defisit transaksi berjalan tahun ini sekitar
2,5 persen, 2008 sekitar 0,1 persen. Ketiga, defisit fiskal 2015
diperkirakan 2,3 persen, pada 2008 sekitar 0,1 persen.
Perbedaan
paling mencolok, kali ini situasi global dan regional jauh lebih rumit
dan tak menguntungkan. Begitu banyak kejutan yang menimbulkan variasi
ketidakpastian. Depresiasi mata uang yuan dan ketidakpastian kenaikan
suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) menjadi salah satu sumber gejolak.
Krisis ekonomi dan politik di Malaysia yang masih terus berlanjut
membebani pemulihan kawasan.
Di mana letak kesamaan berbagai
gejolak pada perekonomian kita? Salah satunya, ketergantungan pada
likuiditas asing. Pada 1998, ketergantungan pada modal asing terjadi
dalam bentuk utang luar negeri jangka pendek perusahaan domestik. Pada
2008 agak mirip dengan situasi sekarang, ketergantungan di pasar modal
dan obligasi pemerintah. Namun, dibandingkan 2008, situasi tahun ini
lebih rumit sebagai dampak dari ketergantungan kita pada komoditas
primer yang memperlemah daya saing industri berorientasi ekspor.
Akibatnya, meskipun rupiah terdepresiasi tajam, ekspor tetap lemah
karena harga komoditas juga turun. Kita nyaris tak mendapatkan berkah
apa pun dari pelemahan rupiah.
Karena itu, respons kebijakan kali
ini harus fokus pada kebijakan industrial yang bersifat sektoral
melalui orientasi peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas.
Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tengah
menyiapkan paket kebijakan komprehensif di berbagai sektor industri
melalui deregulasi besar-besaran. Kita berharap kebijakan tersebut
sungguh menjawab persoalan inti kita.
Paket kebijakan ini
diharapkan sekaligus mengusir kegalauan banyak pihak soal arah kebijakan
ekonomi domestik yang dianggap mengarah pada proteksionis, meskipun
sebenarnya kecenderungan proteksionis sudah dimulai sejak pemerintahan
sebelumnya. Ada banyak kebijakan pada masa lalu yang berciri inward looking,
mulai dari kebijakan hortikultura hingga pajak ekspor mineral mentah.
Memang, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kecenderungan itu
berlanjut, mulai dari kuota impor (sapi dan beras) hingga larangan impor
kapal dan penjualan minuman beralkohol.
Paket kebijakan
deregulasi perlu ditempatkan dalam konteks membangun basis industri
dalam iklim investasi yang semakin baik, seperti menurunkan biaya
logistik, khususnya di sektor kemaritiman. Tantangan kali ini jauh lebih
berat mengingat terjadi komplikasi antara gejolak nilai tukar tinggi,
harga komoditas yang rendah, dan daya saing ekspor yang lemah. Jika tak
ditangani dengan kebijakan industrial yang benar, kita akan
terperangkap dalam pola pertumbuhan ekonomi rendah.
Gejolak nilai
tukar dan pasar saham bukanlah tantangan sebenarnya meski kondisi itu
juga tak bisa diremehkan. Persoalan pokok ada pada jantung daya saing
industri kita. Jadi, tak perlu berspekulasi dengan kedatangan Direktur
Eksekutif IMF Christine Lagarde ke Jakarta, pekan ini. Sama sekali tak
ada kaitannya dengan situasi 1998, saat Presiden Soeharto menandatangani
kesepakatan pinjaman, disaksikan Direktur Eksekutif IMF Michel
Camdessus. Sungguh suatu kebetulan yang tak ada kaitannya.
A Prasetyantoko Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unika Atma Jaya, Jakarta
No comments:
Post a Comment