ANALISIS EKONOMI A Prasetyantoko
KOMPAS Cetak |
Banyak orang bertanya, kapan perekonomian mencapai titik nadir dan
kembali bangkit? Tak mudah menjawabnya. Dinamika pasar modal dan pasar
uang menunjukkan kita belum menyentuh dasarnya. Indeks Harga Saham
Gabungan pada akhir minggu lalu mulai naik ke level 4.800-an setelah
menyentuh level 4.700-an. Namun, tak ada yang bisa memastikan tak akan
melorot lagi. Sementara nilai tukar rupiah masih terus terdepresiasi
hingga menyentuh Rp 13.500-an per dollar AS pada akhir perdagangan pekan
lalu.
Meski dinamika perekonomian masih tak menentu, paling tidak persepsi
publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah mulai membaik.
Survei berkelanjutan Litbang Kompas yang dimuat secara serial
sejak Senin (27/7/2015) menunjukkan adanya ”titik balik” pemerintahan
Jokowi yang sempat merosot beberapa waktu lalu. Pada Januari 2015
tingkat kepuasan publik berada pada angka 61,7 persen, merosot menjadi
53 persen pada April dan kembali naik ke 57 persen pada survei bulan
Juli.
Citra Presiden juga mengalami pembalikan siklus. Jika pada Januari
angkanya 89,9 persen, pada April turun menjadi 65,2 persen, tetapi bulan
Juli kembali naik pada 80,5 persen. Dengan begitu, bisa dikatakan, di
mata publik, popularitas Jokowi yang sempat terpuruk perlahan mulai naik
kembali.
Secara lebih rinci, persepsi positif masyarakat terjadi akibat
perbaikan bidang politik dan keamanan serta kesejahteraan sosial.
Sementara masalah hukum dan ekonomi masih menjadi catatan buruk. Dari
situ, fokus agenda kerja ke depan sangat jelas arahnya, yaitu membenahi
sisi hukum dan ekonomi. Di bidang ekonomi, masalahnya memang kompleks.
Selain persoalan depresiasi nilai tukar dan gejolak di pasar modal,
persoalan di sektor riil juga semakin merisaukan.
Laporan keuangan semester I-2015, banyak perusahaan mengonfirmasi
pelambatan ekonomi. Di antara kelompok bank besar, PT Bank Negara
Indonesia Tbk (BBNI) mencatatkan penurunan kinerja paling besar dengan
penurunan laba 50,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun
lalu. Sementara laba PT Bank Mandiri (BMRI) Tbk hanya naik tipis 3,5
persen dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) hanya naik 1,19 persen.
Penjualan motor dan mobil terkoreksi tajam sehingga laba PT Astra
Internasional Tbk (ASII) turun 18 persen. Permintaan kebutuhan pangan
juga turun sehingga laba PT Indofood Sukses Makmur (INDF) terkoreksi
sekitar 25 persen. Bahkan, penjualan rokok pun melambat. Laba PT Gudang
Garam Tbk (GGRM) turun sekitar 11 persen.
Penurunan permintaan tak hanya dialami kelompok bawah, tetapi juga
menengah atas. PT Supra Boga Lestari Tbk (RANC), pemilik gerai Ranch
Market, Farmer Market, dan Ministop, mengalami penurunan laba 34 persen.
Jika kelompok atas saja melambat, apalagi permintaan kelompok menengah
bawah. PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), pemilik gerai Alfamart,
mengalami penurunan laba hingga 57 persen. Secara singkat, pelambatan
sudah menyentuh jantung perekonomian kita.
Dinamika pasar keuangan telah merembet ke sektor riil. Selain persoalan
stabilitas di pasar keuangan, pelambatan pertumbuhan ekonomi juga
menjadi tantangan amat serius bagi pemerintah. Seandainya belanja
pemerintah bisa didorong secara maksimal sekalipun, belum tentu
pertumbuhan akan terangkat tahun ini, mengingat guncangan pada sektor
keuangan masih terus terjadi. Konsekuensinya, pertumbuhan ekonomi tak
akan lebih dari 5 persen tahun ini.
Meski begitu, dalam survei Kompas ditunjukkan betapa
pemerintah di bawah Presiden Jokowi dianggap berhasil mengendalikan
harga, memeratakan pembangunan antarwilayah, mengembangkan pasar
tradisional, mewujudkan swasembada pangan, serta memberdayakan petani
dan nelayan. Sementara persoalan besar ada pada pengendalian nilai
tukar.
Bahkan, untuk variabel memeratakan pembangunan antarwilayah serta
mengembangkan pasar tradisional, angka kepuasannya melampaui angka
survei bulan Januari. Angka kepuasan dalam hal mengembangkan pasar
tradisional, jika bulan Januari berada pada 62,6 persen, sempat turun
sedikit menjadi 62 persen pada April dan melejit menjadi 68,9 persen
pada Juli. Artinya, masyarakat memberikan apresiasi positif terhadap
upaya pemerintah dalam program-program kesejahteraan rakyat. Dalam hal
ini, ”intervensi” yang dilakukan Jokowi berhasil baik.
Melihat fakta ini, tak berlebihan jika secara umum pemerintahan Jokowi
masih menjanjikan. Inilah momentum sangat baik bagi Jokowi untuk
mengonsolidasikan pemerintahan agar lebih solid, efektif, dan terus
menciptakan kinerja positif. Tantangan jangka pendek kenaikan suku bunga
The Fed yang diperkirakan akan terjadi pada September nanti menjadi
ujian penting. Jika berhasil dilalui, dan kecemasan pasar mereda, di
situlah ruang pelonggaran moneter terbuka. Suku bunga bisa sedikit
diturunkan dan pelambatan ekonomi tak berlanjut.
Harapannya, baik persepsi publik maupun pemburukan ekonomi sama-sama
telah melewati titik nadir. Sekarang saatnya berbenah menyiapkan
momentum 2016 di mana perekonomian bisa lebih ekspansif. Dalam konteks
inilah penataan ulang kabinet harus ditempatkan.
A Prasetyantoko, Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2015, di
halaman 15 dengan judul "Mencari Titik Nadir Perekonomian".
No comments:
Post a Comment