BUDIARTO SHAMBAZY
Kompas Cetak |
Satu lagi buku menarik tentang Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) telah terbit, berjudul Biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba.
Judil menduduki posisi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia
(DM-UI) ketika ditangkap Orde Baru (Orba) karena didakwa terlibat
Malari.
Seperti halnya biografi, buku ini bercerita tentang sosok
Judil yang dikenal sebagai aktivis politik sejak mahasiswa sampai kini.
Ia konsisten mengkritisi Orba tidak hanya saat menimba ilmu kedokteran
di UI, tetapi juga setelah itu melalui Petisi 50.
Risiko dan
penderitaan yang ditanggung Judil bukan main! Ia bukan cuma dipenjara
atau dibuntuti aparat intelijen ke mana pun pergi, lisensi praktiknya
sebagai dokter pun dicabut.
Judil membuat gempar panggung politik
ketika mencalonkan diri sebagai presiden tahun 1978 menjadi pesaing
Presiden Soeharto. Bersama dengan sejumlah tokoh anti Orba, Judil
melanjutkan kiprah politik dengan mendirikan Partai Ummat Islam tahun
1998.
Sejak Malari sampai kini, Judil berhasil mencatatkan diri
sebagai aktivis/politisi yang tidak "menjual diri" yang terus berupaya
menjaga integritas. Seperti salah satu bab biografinya, Judil adalah
"Anak Tentara Besar di Sekolah Katolik dan Menjadi Aktivis HMI".
Nah,
latar belakang politik terjadinya Malari sampai kini masih gelap.
Kerusuhan itu memakan korban 11 orang tewas, 685 mobil hangus, 120 toko
hancur dan rusak, serta 128 korban luka berat dan ringan.
Proyek
Senen yang kala itu diperkirakan bernilai sekitar Rp 2,6 miliar terbakar
habis. Petang hari, Proyek Senen hangus dilalap api yang tak pernah
padam sampai esok paginya. Penjarah menghabisi Proyek Senen sampai
ludes. Mereka mencuri perhiasan emas dan permata, barang elektronik,
sampai pakaian atau mebel.
Peristiwa berawal dari apel ribuan
mahasiswa dan pelajar dari Kampus UI di Jalan Salemba menuju Kampus
Universitas Trisakti di bilangan Grogol pada tengah hari. Di situ
mahasiswa dan pelajar memaklumatkan Apel Tritura 1974, yang meminta
pemerintah menurunkan harga-harga, membubarkan lembaga Aspri (Asisten
Presiden), dan menggantung koruptor-koruptor.
Setelah apel bubar,
mahasiswa dan pelajar itu membakar patung Perdana Menteri Jepang Kakuei
Tanaka. Lalu, mereka menuju ke Istana dan coba menerobos masuk. Istana
ketika itu menjadi tempat pertemuan Presiden Soeharto dan PM Tanaka,
yang bertamu sejak 14 Januari 1974.
Entah siapa yang memulai,
demonstrasi murni anti dominasi ekonomi Jepang itu berubah menjadi
kerusuhan massal. Di berbagai jalan protokol, puluhan mobil dibakar
massa.
Gedung Astra di Jalan Jenderal Sudirman rusak berat
dilempari berbagai macam benda. Kerusuhan juga terjadi hampir di
sepanjang Jalan Gajah Mada serta Jalan Hayam Wuruk. Di daerah bisnis
Glodok, banyak para pengendara harus rela menyaksikan kendaraan mereka
dirampas, dirusak, sampai dibakari warga. Jakarta jadi wilayah tak
bertuan dan, seperti biasa, warga Tionghoa yang tak bersalah menjadi
korban amok.
Aparat keamanan baru mampu mengendalikan
keadaan sekitar waktu maghrib. Pemerintah segera memberlakukan jam
malam. Pada 16 Januari, kobaran api dan asap masih terlihat di beberapa
wilayah Ibu Kota. Namun, situasi dengan cepat kembali normal 17-18
Januari 1974 sehingga aturan jam malam dikurangi.
Bukan cerita
baru Malari meletus akibat persaingan antara Wapangab/Pangkopkamtib
Jenderal Soemitro dengan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Bidang Khusus
Mayjen Ali Moertopo. Tanggal 2 Januari 1974, Soemitro bersama Ali dan
Kepala Bakin Letjen Sutopo Juwono menemui Presiden Soeharto di Jalan
Cendana untuk membantah mereka terlibat persaingan.
Selesai
pertemuan, Soemitro kepada para wartawan membantah dirinya berniat
melancarkan makar terhadap Soeharto. "Kalau terus-terusan begini,
seolah-olah Pak Mitro akan mengadakan makar. Ini orang dua diadu terus.
Soemitro, Ali Moertopo, calon-calon presiden. Apa-apaan ini...," kata
Soemitro sambil menunjuk Ali.
Rumor tentang rencana makar oleh
Soemitro sebenarnya sudah beredar setahun sebelum Malari meletus. Ia
sering berkunjung ke kampus-kampus di Jawa dan mengintrodusir pernyataan
tentang kepemimpinan nasional yang dianggap membahayakan kekuasaan yang
sah.
Terlepas dari kebenaran rumor makar oleh Soemitro, suasana
politik sudah telanjur "membusuk" beberapa tahun sebelum terjadi Malari.
Tewasnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Rene Louis Conrad,
dalam "konfrontasi" mahasiswa melawan ABRI pada September 1970
merupakan salah satu insiden politik yang penting.
Masyarakat muak
menyaksikan Golkar memulai kebiasaan bermain curang untuk memenangi
secara mutlak Pemilu 1971. Kerusuhan di Bandung pada Agustus 1973
menjadi awal kemunculan sentimen anti Tionghoa.
Setelah meletusnya
kerusuhan Malari, lebih dari 50 pemimpin lembaga kemahasiswaan serta
para cendekiawan ditangkap. Beberapa surat kabar nasional diberedel.
Sempat
beredar kabar seram mantan Ketua MPRS Jenderal (Purn) AH Nasution pun
akan ditangkap, gosip yang tak menjadi kenyataan. Setelah Malari,
Soeharto tetap berdiri tegak. Jenderal demi jenderal, demonstrasi demi
demonstrasi, tak mampu menggoyahkannya.
Pelajaran dari Malari:
selalu ada pihak-pihak yang mengail di air keruh demi kekuasaan. Mereka
tega meletuskan kerusuhan massal, tak peduli dengan kerugian nyawa
ataupun harta yang biasanya hanya ditanggung rakyat biasa.
Dalam
acara peluncuran biografi Judil, Kamis (27/8), di Jakarta, aktivis yang
juga dipenjarakan karena Malari, Rahman Tolleng, menyebut Judil tokoh
anomali karena sikapnya idealistis. "Idealisme bagai seonggok debu di
atas batu yang akan hilang ditiup angin. Tapi, Judil tidak. Ia tidak
kenal menyerah memperjuangkan idealisme sampai era pasca Reformasi,"
ujar Tolleng.
Cuma sedikit aktivis atau politisi yang menempuh "jalan yang jarang dilalui" (the road less traveled)
yang butuh panduan moral dan stamina batin yang tak mudah ditundukkan
kekuasaan. Kita lebih banyak menjumpai aktivis dan politisi yang
menempuh jalan semrawut dan berisik.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2015, di halaman
No comments:
Post a Comment