Oleh : Budiman Sudjatmiko
Petani sebagai pemegang saham mayoritas bangsa tidak
terwakili dalam sistem politik Indonesia.
Ini tergambar dari sedikitnya 15 undang-undang yang
melawan kepentingan petani, dan hanya satu undang-undang yang jelas- jelas
berpihak kepada petani, dengan nasibnya yang tersia-sia.Inilah penyebab utama
kemiskinan dan pemiskinan petani.Karena itu, diperlukan revolusi dalam sistem
perwakilan kita.
UU yang memiskinkan
Berita utama Kompas, 26/4/ 2010, pernah mengungkapkan
anjloknya nilai tukar petani yang disertai dengan menurunnya penguasaan lahan.
Padahal, ada sekitar 25 juta rumah tangga petani yang memproduksi nilai tidak
kurang dari Rp 258,2 triliun per tahun melalui produk pangan, seperti padi,
jagung, kedelai, ubi kayu, dan sebagainya.
Banyak petani menengah dengan rata-rata penguasaan
lahan 2 hektar jatuh menjadi petani miskin dengan rata-rata penguasaan lahan
kurang dari setengah hektar.Pada gilirannya, petani yang miskin ini pun
terperosok menjadi buruh tani.
Kemiskinan juga masif di kawasan hutan Indonesia.
Dalam diskusi yang bertajuk ”Pembangunan Hutan dan Kehutanan” pada Juli 2009
terungkap fakta bahwa ada sekitar 50 juta rakyat Indonesia yang tinggal di
sekitar wilayah hutan, di mana 10 juta di antaranya berada dalam kondisi sangat
miskin.
Apa sumber kemiskinan di perdesaan dan kawasan hutan
ini?Jawabnya adalah sistem ekonomi yang tidak manusiawi (terhadap manusia
petani dan alam) yang dipikul struktur kekuasaan politik.
Pada gilirannya, struktur kekuasaan ekonomi politik
tersebut akan melahirkan sejumlah undang-undang ataupun regulasi yang malah
menjadikan petani sebagai ”musuh” di tanah air mereka sendiri.
Setidaknya ada lima belas undang-undang yang saya
identifikasi telah menempatkan petani sebagai pihak yang dirugikan, di
antaranya adalah UU tentang Pangan yang melegalisasi impor sehingga merugikan
petani produsen karena menjatuhkan harga produksi; UU tentang Sumber Daya Air
yang merugikan petani karena privatisasi di mana petani harus berebut sumber
daya air (untuk mengairi sawah mereka) dengan industri air kemasan; UU
Perkebunan yang menyebabkan petani berebut akses lahan karena terkonsentrasinya
lahan pada beberapa orang yang telah memicu konflik agraria dengan mencapai
sekitar 7.000 kasus yang terdaftar di Mahkamah Agung; UU Kehutanan yang
menyebabkan petani berebut akses lahan dengan Perhutani; UU Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal di mana penanaman modal asing dan dalam negeri tidak
dibedakan sehingga di semua sektor diperbolehkan dikuasai 100 persen modal
asing (meskipun sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa UU ini
bertentangan dengan UUD 1945, tetapi belum direvisi sampai sekarang); UU
Budidaya Tanaman yang melegalisasi benih transgenik sehingga berpotensi
mematikan kemampuan benih lokal dan akses atas benih serta banyak lagi UU yang
lain.
Semua UU di atas merupakan produk politik yang
memiskinkan petani. Dengan begitu, semua UU tersebut bisa dikatakan ikut
bertanggung jawab dalam menempatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
di urutan 111, di bawah Teritori Palestina yang diduduki Israel, yang berada di
urutan 110!
IPM ini memiliki sejumlah ukuran perbandingan yang
terdiri dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup.
Artinya, nomor urut 111 tadi harus dijelaskan seperti apa? Tak lain ia harus
diartikan bahwa dalam konteks hidup sehat dan panjang umur masyarakat Indonesia
yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran; pengetahuan yang diukur dengan
angka tingkat baca tulis orang dewasa; serta standar kehidupan layak yang
diukur dengan produk domestik bruto dalam paritas daya beli, maka IP Manusia
Indonesia yang sudah merdeka 65 tahun ini masih di bawah bangsa Palestina yang
bahkan negara yang merdeka (dan perdamaian abadi) sekalipun belum mereka miliki
sampai hari ini!
Karena itu, kita memerlukan revolusi dalam penataan
aktor- aktor politik pembuat kebijakan publik.
Politik representatif
Politik adalah hal ihwal yang mengatur hubungan
kekuasaan di antara sektor-sektor masyarakat yang berkait erat dengan alokasi
sumber daya.Diharapkan, kekuasaan politik dan tingkat keterwakilan
sektor-sektor masyarakat dalam sistem dan struktur kekuasaan menentukan
kesejahteraan dari sektor-sektor yang terwakili tersebut.
Sebuah kelompok masyarakat yang meskipun jumlahnya
mayoritas di sebuah negeri, belum tentu akan beroleh alokasi sumber daya
kesejahteraan yang memadai jika representasinya dalam sistem dan struktur
politik tidak sebanding dalam bobot-nya (magnitude). Dituntut keterwakilan yang
efektif dan bukan sekadar normatif.
Artinya, keterwakilan sebuah kelompok besar rakyat
Indonesia yang hidup di perdesaan dan dari sektor pertanian tidak cukup hanya
tertulis dalam Pembukaan ataupun Batang Tubuh UUD 1945 atau sekadar platform
tertulis partai-partai politik.
Sudah 65 tahun kita merdeka dan 12 tahun kita menjalani
reformasi, representasi yang normatif itu rupanya hanya menghasilkan satu UU
yang berpihak kepada petani (yaitu UU Pokok Agraria 1960) yang itu pun lumpuh
karena diringkus oleh setidaknya 15 UU yang menyingkirkan petani dari sumber
daya ekonomi dan budaya mereka.
Untuk mengatasi kemiskinan buatan manusia ini, solusi
yang paling mungkin adalah meningkatkan keterwakilan petani (dan sektor-sektor
marjinal lainnya) dalam struktur politik. Proses ini saya namai sebagai
pengarusutamaan ”wong cilik” atau sektor-sektor rakyat (popular sectors
mainstreaming) di kelembagaan DPR hingga DPRD.
Artinya, perlu penjatahan wakil-wakil sektor marjinal
dalam penyusunan daftar caleg untuk Pemilu 2014.
Tidaklah berlebihan jika sekurang-kurangnya lima belas
persen daftar caleg setiap partai untuk DPR hingga DPRD (terutama dari wilayah
pertanian) mengakomodasi kalangan petani, terutama yang kepemilikan tanahnya 2
hektar ke bawah, yang merepresentasikan petani menengah ke bawah. Ini mesti
diatur dalam UU Pemilu.
Ini dikandung maksud agar demokrasi kita mengalami
pendalaman efektif (effective deepening democracy) dari yang sifatnya
prosedural menjadi substantif sehingga lolos dari penelikungan plutokrasi
(kekuasaan oleh para petarung kapital saja).
Proses tersebut pasti akan mengukuhkan pelaksanaan
tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang akan mengakselerasi
target pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) tahun 2015 untuk
mengalahkan kemiskinan dan kelaparan ekstrem. Hanya ini cara yang tersisa bagi
kita untuk mengatasi kemiskinan dengan cara-cara yang demokratis dan patriotis.
* Budiman Sudjatmiko Anggota
Komisi 2 DPR dari F-PDIP; Pembina Utama Parade Nusantara (Persatuan Rakyat Desa
Nusantara)
Artikel ini pernah dimuat di Harian KOMPAS - Senin,
10 Mei 2010
No comments:
Post a Comment