Monday, January 25, 2016

Konsultan politik dalam demokrasi kita

Koran SINDO


Ilustrasi
A+ A-
DIPLOMAT Prancis Maurice de Talleyarand (1754- 1838) mendefinisikan pertarungan dalam  dengan sangat simpel yaitu apa yang diyakini lebih penting daripada kenyataannya. 

Tentu moralitas pernyataan tersebut bukan menasihatkan politisi dan partai politik cukup bekerja sekadar untuk meyakinkan publik atas apa yang ingin mereka komunikasikan (janji dalam bentuk program politik) sekaligus tidak peduli apakah janji tersebut akan mereka realisasikan atau tidak (aktualisasi janji-janji politik). 

Pernyataan Talleyranditubila kita korelasikan dengan fungsi konsultan politik adalah bagaimana mereka mendesain formulasi dan strategi kampanye agar kandidat maupun partai politik yang menggunakan jasanya dalam kontestasi-kompetisi pemilu (pileg dan pilpres) mampu merebut keyakinan publik. 

Fenomena konsultan politik yang belakangan marak merupakan sesuatu yang hadir dengan sendirinya bersamaan dengan—terutama—demokrasi kita yang mengadopsi format pemilihan langsung. Pada pileg yang lalu jasa konsultasi politik sangat terasa sekalipun menurut konstitusi kita UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 E Ayat (3) sebenarnya peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. 

Teroris Bukan Jihadis


Republika, Jumat, 15 Januari 2016

Teror bom mengguncang Ibu Kota. Sentral perbelanjaan Sarinah menjadi sasaran teroris. Laporan sementara, enam orang meninggal. Beberapa titik bom juga meledak. Bahkan, isu yang disebar di berbagai grup WA, ada beberapa titik sentral mal yang menjadi target serangan kelompok teroris.
Peristiwa Kamis siang ini sungguh memilukan. Peristiwa itu seakan menjadi bukti bahwa jaringan teroris masih tetap ada dan berkembang. Mereka terus menebar teror sembari memanfaatkan jejaring media. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa aksi biadab seperti ini masih terjadi di bumi nusantara?

Warsito, Kusrin, dan Hukum Responsif

Koran Republika, Kamis, 21 Januari 2016, 12:00 WIB

"Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Dengan adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita." (Warsito P Taruno, Republika, 1/12/2015)

Bahwasanya teknologi dan inovasi sering tidak sejalan dengan hukum dan kebijakan. Sementara, teknologi, inovasi, dan ekonomi begitu deras melaju, hukum dan perundang-undangan sering kali terengah-engah mengejar ketertinggalan.

Sayangnya juga, tidak semua hukum dan kebijakan bersifat responsif dan akomodatif. Alih-alih mengakomodasi perkembangan teknologi, acap kali hukum malah bersifat terlalu rigid, kaku, dan positivis, dengan mengatasnamakan kepastian hukum dan formalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.