Friday, December 30, 2016

Catatan Akhir Tahun Pertanian

Dwi Andreas Santosa

Sekalipun kerja keras sudah dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya, pertumbuhan sektor pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank Indonesia dalam laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.
Pada 2014 pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02 persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y). Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen, triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34 menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.
Ekspor komoditas pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari 3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6 miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS, November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di tahun 2016.
Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum, jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi 844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober 2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari 466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar 21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai, sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar AS.
Harga pangan dan kesejahteraan petani

Pencitraan

KORAN TEMPO, Sabtu, 22 Oktober 2016 | 00:12 WIB

Putu Setia
@mpujayaprema
Tulisan "padepokan" di beranda rumah Romo Imam sudah tak ada lagi. Kata Romo, sejak ada kasus di Padepokan Dimas Kanjeng, ia merasa tak enak dengan kata "padepokan" itu. "Tadinya saya pikir diganti dengan tulisan Rumah Budaya," kata Romo.
"Itu bagus. Apalagi ada perpustakaan dan sering orang kumpul-kumpul di sini," kata saya. Tapi Romo menjawab: "Saya takut dituduh pencitraan. Kata ini sudah mendapat label negatif. Padahal setiap orang wajar ingin mengubah citranya menjadi lebih baik. Pencitraan itu positif; berlomba untuk kebaikan itu mulia."
Saya katakan: "Jangan terpengaruh omongan para politikus, Romo. Mereka selalu menuduh Presiden Jokowi melakukan pencitraan, bahkan selama dua tahun menjabat pencitraan melulu. Penilaian itu pangkalnya ada kekecewaan akut karena kalah dalam pemilihan presiden tempo hari. Ada kejengkelan yang tak sembuh-sembuh. Apa pun yang dilakukan Jokowi pasti disebut pencitraan."
Romo mengangguk. "Pencitraan atau tidak juga menyangkut budaya dan kebiasaan hidup seseorang," katanya. "Selama ini seorang presiden pasti mendapat pelayanan yang luar biasa. Gerimis sedikit ada yang memayungi. Kacamatanya dibawa ajudan. Tak ada pula presiden yang melangkah di jalan becek, apalagi naik tangga periksa bak air. Berpakaian selalu rapi, bagaimana berjalan, berbicara, gerak tangannya seperti apa, semuanya dikelola berdasarkan etika yang ada bukunya. Ibu calon Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno punya kursus untuk pencitraan itu."

Mendorong Efisiensi Ekonomi

Mendorong Efisiensi Ekonomi

Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak, perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini, suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen.
Kita masih beruntung karena hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti negara maju. Bahkan, lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch), beberapa hari lalu telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari stabil menjadi positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai turun, baik di pasar sekunder maupun primer.

Anti-Santa

Anti-Santa

MAJALAH TEMPO, CAPING Senin, 26 Desember 2016 
 
Menjelang Natal 1951, di Kota Dijon, Prancis, para pastor memutuskan menggantung patung Père Noël, alias Sinterklas, alias Santa Klaus, di halaman Katedral. Kemudian jenggotnya dibakar. Kemudian seluruh tubuhnya dimakan api.
Sebanyak 250 anak diundang buat menyaksikan upacara itu. Gereja menjelaskan alasannya dalam sebuah siaran pers, mengisyaratkan bahwa Sinterklas adalah dusta dan "dusta tak mampu membangunkan rasa keagamaan pada diri anak".
Kata para padri Dijon pula: "Bagi kita yang Kristiani, hari raya Natal harus tetap merupakan hari lahir Juru Selamat kita."
Di Indonesia, sebagian orang Islam dengan konyol masih percaya, Sinterklas dan topinya yang berbentuk kantong merah-putih itu penanda "Kristen". Mereka tak menelaah sejarah: di negeri Nasrani sendiri bahkan seluruh perayaan Natal pernah diharamkan, dan acara Sinterklas—dengan keramaiannya yang tak religius dan perdagangannya—dikecam. Tak amat mengherankan jika para pastor di Dijon ingin meniadakan tokoh ganjil yang disebut "Bapa Kermis" itu dari fantasi anak-anak.
Pada mulanya para anti-Santa bukan penganut Katolik. Pada mulanya—sebelum Sinterklas jadi tokoh sentral di Hari Natal—yang kuat adalah anti-Natal.
Di Skotlandia, hari Natal telah dihapuskan pada 1560-an oleh penguasa Protestan. Pada Januari 1645, di London, parlemen mengumumkan Directory for the Public Worship of God, arahan bagi orang yang akan beribadah di tempat umum. Parlemen, yang dikuasai kaum Puritan yang anti-gereja dan memusuhi segala ornamen dan kemeriahan ala Katolik, menganggap Natal tak perlu dirayakan, apalagi dengan disertai wanton Bacchanalian feast, "pesta binal mabuk-mabukan".

Telolet

KORAN TEMPO, Jum'at, 23 Desember 2016 | 23:37 WIB

Fenomena membunyikan klakson yang kemudian dikenal dengan irama telolet sudah ada sejak setahun lalu. Bahkan lebih. Sekelompok anak-anak di jalur Pantai Utara Jawa iseng merekam suara klakson bus antarkota dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian dikirim ke teman-temannya, lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu klakson. Adapun sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi klakson agar tambah seru.

Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara keisengan dan kecanggihan teknologi handphone, plus sambutan bersahabat para sopir. Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung siap berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om Telolet Om". Aksara di poster itu lalu menjadi trending topic dunia. Berbagai variasi musik dengan inspirasi telolet lahir. Ini kesuksesan besar bangsa Indonesia yang berhasil mengekspor produk keisengannya yang bernama Om Telolet Om.

Kenapa penemuan unik ini baru meledak sekarang? Mungkin kita lagi bosan dengan kejenuhan politik yang tiap hari mengobarkan permusuhan di media sosial. Kita bosan dengan ujaran kebencian dan rekayasa informasi yang seenaknya merendahkan orang lain yang kita posisikan sebagai lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus agama. Adapun pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita bergaul dalam kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu, ada orang yang jeli menjual telolet ke media sosial. Kesederhanaan anak-anak tanggung di jalur Pantura dalam mencari kegirangan dengan biaya murah diunggah ke media sosial dengan penyedap berbagai rasa. Om Telolet Om.

Perempuan Bergerak

KORAN TEMPO, Kamis, 22 Desember 2016 | 00:56 WIB

Shelly Adelina
Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia

Pujian rutin akan peran domestik ibu "bertebaran" setiap 22 Desember. Apakah cara memaknai peringatan Hari Ibu masih sejalan dengan peristiwa yang terjadi pada 22 Desember 1928?

Tentu saja tidaklah salah menghargai ibu yang telah berjasa melaksanakan perannya di ranah domestik. Tapi tidak tepat jika peringatan 22 Desember menjadi terlepas jauh dari konteks sosio-historisnya. Generasi muda kini dengan mudah saja mengucapkan selamat Hari Ibu semirip-miripnya dengan mother's day di negara-negara Barat. Telah banyak tulisan yang menggugat hal itu, tapi situasi tidak berubah. Mari kita mengulik sejarah peristiwa 22 Desember 1928 agar lebih paham cikal-bakal gerakan perempuan Indonesia.

Gedung Mandala Bhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta, menjadi saksi bisu saat para pejuang perempuan Indonesia berkumpul. Mereka berasal dari 30 organisasi perempuan di 12 kota di Jawa dan Sumatera. Hari itu mereka bersama-sama berada di ruang publik, keluar dari ruang domestik mereka, untuk melangsungkan "aksi politis". Di antara mereka yang hadir, tidak melulu perempuan ibu rumah tangga, tapi ada juga perempuan lajang. Mereka menggelar kongres nasional untuk pertama kalinya.

Kepedulian dan kegelisahan yang sama di dalam dada para perempuan Indonesia kala itu menyebabkan mereka memutuskan untuk berkongres. Mereka menyadari kemerdekaan akan sulit diraih jika para perempuan tidak ikut serta berjuang dan nasib perempuan terpuruk. Kesadaran kritis tentang hak dan kewajiban serta pentingnya partisipasi mereka secara substansial di ranah publik telah tumbuh.

Keterbukaan Peta Hutan


KORAN TEMPO Rabu, 14 Desember 2016 | 00:50 WIB
LEONARD SIMANJUNTAK
Kepala Greenpeace Indonesia

Di Indonesia, transparansi masih menjadi barang langka. Baru saja Komisi Informasi Pusat (KIP) memberikan angin segar bagi masyarakat Indonesia. Pada akhir Oktober lalu, KIP memutuskan data peta tutupan lahan hutan dan peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, serta pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dalam format shapefile terbuka untuk publik. Sebagai tergugat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan data tersebut.

Namun KLHK me-ngatakan pemerintah tidak menerima keputusan KIP karena Undang-Undang Informasi Geospasial mengharuskan informasi geospasial disahkan sebelum diumumkan dan shapefile tidak memiliki cara untuk memuat digital signature. Kementerian berencana mengajukan banding, meski majelis KIP sudah menolak dalil ini karena informasi tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam format lain. Permohonan banding KLHK ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Nawa Cita, yang dibacakan saat pelantikan Jokowi sebagai Presiden, menegaskan bahwa pemerintahannya berniat membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat dipercaya.

Apalagi, Indonesia merupakan satu dari delapan negara pendiri The Open Government Partnership pada 2011, bahkan sempat memimpin gerakan ini pada 2013. Fondasi peme-rintahan terbuka juga sudah dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Masalah RUU Penyelenggaraan Pemilu

 KORAN TEMPO Selasa, 27 Desember 2016 

Khoirunnisa Nur Agustyati
Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu telah dibentuk dan siap bekerja. Berdasarkan jadwal yang disusun Pansus, pembahasan akan diakhiri pada 28 April 2017. Artinya, DPR dan pemerintah hanya memiliki waktu kurang dari lima bulan untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Berkaca dari pembahasan undang-undang pemilu sebelumnya, undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu 2009 disahkan oleh DPR dan pemerintah pada 2008. Dengan demikian, penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, hanya memiliki waktu kurang dari 12 bulan untuk menyelenggarakan pemilu 2009.

Adapun untuk Pemilu 2014, undang-undang penyelenggaraan pemilu telah disahkan pada 2012. Artinya, KPU dan Bawaslu yang dilantik pada 2012 memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan Pemilu 2014. Meski masih ada kekurangan, secara keseluruhan penyelenggaraan Pemilu 2014 berjalan dengan baik.

Jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, penyelenggaraan Pemilu 2019 dilakukan secara serentak, baik pemilu legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Dengan demikian, penyelenggara pemilu akan menghadapi tahapan yang lebih kompleks dibanding sebelumnya. Untuk itulah, dibutuhkan undang-undang pemilu yang sudah matang dan disahkan paling lambat pertengahan 2017 agar penyelenggara pemilu memiliki cukup waktu untuk menyelenggarakan Pemilu 2019.

Manuver Ekonomi di Tengah Ancaman Global


KORAN TEMPO, Kamis, 29 Desember 2016 | 01:11 WIB
Latif Adam
Ekonom LIPI

Tahun 2017, masyarakat ingin ada pembuktian bahwa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih baik dibanding pemerintahan sebelumnya. Pemerintah dituntut tidak hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, tapi juga menata polanya, sehingga tingkat kemiskinan dan pengangguran bisa berkurang.

Permasalahannya, upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan akan mendapat tantangan. Dari sisi eksternal, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45 yang pro-proteksionisme akan semakin meningkatkan ketidakpastian dan memperlambat laju perdagangan global.

Karena itu, sisi ekspor tetap akan menjadi titik lemah dari kinerja perekonomian Indonesia. Target ekspor non-migas 2017 sebesar 10,4 persen terkesan ambisius. Sebab, selain AS, beberapa negara tujuan ekspor, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Cina, masih berkutat dengan persoalan internal. Pertumbuhan ekonomi Cina menurun, bahkan terendah dalam 25 tahun terakhir. Demikian halnya, pasca-Brexit, beberapa negara Uni Eropa seperti Prancis menghadapi isu anti-globalisasi dan mendukung pembatasan tenaga kerja migran.

Namun Indonesia bisa bermanuver untuk keluar dari problema global. Simulasi yang dilakukan Pusat Peneliti Ekonomi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E-LIPI) memperlihatkan, jika Indonesia mampu mengoptimalkan modal yang dimilikinya, pertumbuhan ekonomi 2017 bisa mencapai 5,5 persen.

Demokrasi Indonesia dalam Ujian


Demokrasi Indonesia dalam Ujian

BUDIMAN TANUREDJO
Kalender hanyalah pagar yang kita tancapkan pada sang waktu. Sabtu, 31 Desember, adalah hari terakhir di tahun 2016 dan akan kita masuki fajar baru 2017. Jika harian ini menyebut tahun 2015 sebagai annus horribilis yang berhasil dilalui, 2016 menjadi tahun penuh ujian. Ujian terhadap demokrasi, ujian terhadap konstitusi, dan ujian terhadap eksistensi negara hukum.
Dunia memasuki tahun ketidakpastian. Dunia menantikan formasi kabinet Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Apakah sosok kabinet Trump akan mengubah AS beralih menuju proteksionisme atau tetap mendukung globalisme. Kebangkitan terorisme global menambah ketidakpastian baru dunia. Kejahatan terhadap negara dan kemanusiaan terjadi di berbagai belahan dunia. Aksi teror terjadi di sejumlah tempat. Terakhir, Duta Besar Rusia untuk Turki ditembak mati oleh polisi Turki. Dunia masih direpotkan dengan sepak terjang Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Tahun 2016 ditandai dengan penuh amarah. Amarah terhadap globalisasi, amarah terhadap demokrasi, amarah terhadap kemapanan, amarah terhadap keteraturan informasi. Melalui jalan demokrasi, mayoritas rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa. Melalui jalur demokrasi, mayoritas rakyat AS memilih Donald Trump sebagai presiden. Sebuah tindakan politik yang kadang sama sekali tak terduga. Atas nama demokrasi dan kebebasan berekspresi, demokratisasi media pun menemui bentuknya yang nyata.

Serangan Jantung Budaya



Yudi Latif
Mental primordial budaya Nusantara itu punya daya lenting seluas dan sedalam samudra, yang bisa menyerap unsur-unsur budaya luar tanpa mencemari dan melenyapkan jati dirinya.
Pada 1927, pemikir dan sastrawan India paling terkenal Rabindranath Tagore berkunjung ke Pulau Jawa dan Bali. Di sana ia menemukan bayangan India yang tenteram dalam pangkuan Nusantara. Memandang Candi Borobudur secara keseluruhan, ia merasa seperti melihat India, yang tidak menimbulkan kesan mendalam. Begitu memasuki teras candi paling bawah, ia terpukau dengan relief-relief Jataka karena keindahan dan jiwa spiritualitas yang terpancar darinya.
Menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana dan Mahabharata, Tagore menyatakan, "Orang Jawa lebih pandai mewujudkan cerita Hindu sebagai tonil daripada orang Hindu sendiri." Lantas ia simpulkan, "Aku melihat India di mana-mana di Pulau Jawa, tetapi tidak tahu di mana sisi India yang sesungguhnya" (Das Gupta, 2002). Arkeolog Belanda ternama, FDK Bosch (1946), melukiskan genius Nusantara sebagai kemampuan mengawinkan cerlang budaya luar dengan cerlang warisan budaya lokal yang membentuk suatu kebaruan dan entitas harmonis, yang berujung kelahiran tipe peradaban yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Lebih lanjut, Bosch menjelaskan, pengaruh India di Nusantara bukan melalui kedatangan para ksatria dari India; tidak pula tersebar oleh koloni-koloni dagang India. Pengaruh India itu tampak dalam pengadopsian bahasa Sanskerta; bahasa suci dan ilmiah, yang orang-orang awam India sendiri belum tentu menguasainya. Alhasil, proses indianisasi itu ditransmisikan melalui ranah intelektual, utamanya dalam domain keagamaan, dengan inisiatif para klerikus Nusantara menyerap cerlang budaya-spiritualitas dari India.