Mendorong Efisiensi Ekonomi
Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak,
perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini,
suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak
menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu.
Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa
waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja
memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam
suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun
melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari
5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus
lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3
persen menjadi 5,1 persen.
Kita masih beruntung karena hanya
mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti negara maju. Bahkan,
lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch), beberapa hari lalu
telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari stabil menjadi
positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai turun,
baik di pasar sekunder maupun primer.
Meski demikian, bukan
berarti tantangannya lebih ringan. Di negara maju sekarang ini tengah
dilakukan berbagai upaya restrukturisasi secara masif, khususnya inovasi
berbasis digital. Maka, kita pun tak boleh membuang waktu dengan
mengarahkan kebijakan ekonomi 2017 lebih fokus pada upaya
restrukturisasi.
Pelambatan ekonomi global bagaimanapun
mempersempit ruang gerak aktivitas ekonomi sehingga tensi persaingan
dipastikan meningkat. Di dalam negeri, menyempitnya ruang persaingan
masih ditambah dengan inefisiensi di segala lini dan sektor, yang
ditandai ekonomi biaya tinggi.
Laporan Daya Saing Global
2016-2017 menyoroti penurunan tingkat keterbukaan ekonomi. Hal ini
diyakini akan merugikan persaingan serta mengakibatkan pertumbuhan
inklusif dan berkelanjutan sulit diciptakan. Dalam laporan tersebut,
Indonesia menempati peringkat ke-41 atau turun dari tahun sebelumnya,
yakni di peringkat ke-37. Kendati berbagai upaya transformasi terus
dilakukan, khususnya di bidang infrastruktur, bidang lain masih
menyimpan potensi inefisiensi serius.
Jika pada tahun sebelumnya
masalah infrastruktur menempati peringkat pertama sebagai faktor yang
menghambat bisnis, survei tahun ini menempatkan korupsi dan inefisiensi
pemerintah sebagai dua masalah pokok. Dengan demikian, agenda ke depan
cukup jelas, yaitu mempercepat transformasi birokrasi dan fokus pada
faktor penopang produktivitas ekonomi, seperti kesehatan masyarakat dan
pendidikan.
Kesiapan teknologi justru melorot 6 peringkat menjadi
posisi ke-91, karena penetrasi teknologi informasi dan komunikasi yang
masih rendah. Hanya seperlima populasi yang sudah memiliki akses
internet dan hanya 1 koneksi pita lebar untuk setiap 100 penduduk. Ruang
perbaikan bisa dilakukan dengan menggabungkan pembangunan infrastruktur
teknologi informasi dan komunikasi untuk memperbaiki kinerja pemerintah
dan dunia usaha.
Paket kebijakan ekonomi XIV mengenai
perdagangan elektronik atau e-dagang bisa menjadi momentum untuk menata
struktur ekonomi agar lebih efisien. Inovasi membutuhkan ekosistem yang
baik, mulai dari aspek pendanaan, regulasi, hingga kapasitas manusianya.
Untuk itu, perlu langkah lanjutan agar inovasi terus dilanjutkan,
seperti insentif pajak bagi perusahaan yang mengalokasikan dana untuk
penelitian dan pengembangan.
Transformasi memang menjadi salah satu kunci pemerintahan Presiden Joko Widodo. Majalah The Economist
(edisi 10-16/12, 2016) menyoroti kembalinya menteri reformis. Pada
level daerah, ada beberapa kisah sukses yang menjanjikan. Kabupaten
Banyuwangi di Jawa Timur yang dulunya terpencil dan tak diperhitungkan
kini memainkan peran sangat penting karena kemampuan menggabungkan aspek
kewirausahaan dan teknologi digital. Tidak hanya memfasilitasi dunia
bisnis, tetapi juga memaksa pelayanan birokrasi menjadi lebih efisien
dan transparan.
Elemen penting dari kesuksesan tersebut adalah
kepemimpinan pemerintah dan kebiasaan yang berubah dari berbagai lapisan
masyarakat. Teknologi hanyalah faktor pendukung. Semangat birokrasi
yang membuka diri pada prinsip kewirausahaan penting direplikasi, baik
untuk daerah lain maupun pada level nasional.
Mengawali tahun
2017 perlu diupayakan semangat kewirausahaan dari kalangan birokrat
dengan bantuan teknologi digital. Arahnya, membuat proses bisnis menjadi
lebih efisien, baik pada level pemerintah maupun swasta. Jika
transformasi dilakukan pada semakin banyak kalangan di berbagai
tingkatan, niscaya perekonomian kita akan berjalan lebih baik meskipun
di bawah tekanan yang lebih berat.
A Prasetyantoko Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Desember 2016, di
halaman 15 dengan judul "Mendorong Efisiensi Ekonomi".
No comments:
Post a Comment