Dwi Andreas Santosa
Sekalipun kerja keras sudah
dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan jajarannya, pertumbuhan sektor
pertanian tampaknya masih belum menggembirakan. Bank Indonesia dalam
laporan November 2016 menyatakan pertumbuhan sektor pertanian,
kehutanan, dan perikanan terus mengalami pelambatan.
Pada 2014
pertumbuhan sektor tersebut masih 4,24 persen dan menurun menjadi 4,02
persen di 2015. Pada 2016 terjadi pelambatan pertumbuhan yang tajam di
seluruh triwulan (I hingga III) jika dibandingkan 2015 (y-on-y).
Pada triwulan I pertumbuhan menurun dari 4,01 menjadi 1,77 persen,
triwulan II dari 6,86 menjadi 3,35 persen, dan triwulan III dari 3,34
menjadi 2,81 persen. Sektor pertanian mengalami pelambatan laju
pertumbuhan selama dua tahun terakhir ini.
Ekspor komoditas
pertanian pada Januari hingga Oktober 2016 menurun cukup tajam dari
3,1 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,7 miliar dollar AS atau
penurunan sebesar 13,8 persen. Adapun ekspor lemak dan minyak
hewan/nabati yang didominasi produk kelapa sawit juga menurun dari 15,6
miliar dollar AS menjadi 13,9 miliar dollar AS atau 11,1 persen (BPS,
November 2016). Nilai ekspor kelapa sawit, karet, dan teh terus menurun
dari tahun 2014 hingga saat ini. Sementara ekspor kopi, kakao, dan lada
meningkat di tahun 2015 dibandingkan 2014 dan kemudian menurun tajam di
tahun 2016.
Sebaliknya impor komoditas pertanian masih sulit
untuk ditekan. Total impor biji-bijian (serelia), di antaranya gandum,
jagung, dan beras, pada periode Januari-Oktober 2016 justru meningkat
dari 2,48 miliar dollar AS di 2015 menjadi 2,75 miliar dollar AS atau
meningkat 10,75 persen. Khusus untuk impor beras terus terjadi
peningkatan tiga tahun terakhir, dari 472.000 ton di 2013 menjadi
844.000 ton (2014), 862.000 ton (2015), dan 1.163 ton (hingga Oktober
2016) (BPS, November 2016). Impor kelompok sayuran juga meningkat dari
466 juta dollar AS menjadi 567 juta dollar AS atau meningkat sebesar
21,69 persen. Sementara impor biji-bijian berminyak, terutama kedelai,
sedikit menurun dari 1,08 miliar dollar AS menjadi 1,02 miliar dollar
AS.
Harga pangan dan kesejahteraan petani
Harga
beras pada 2016 relatif stabil dengan fluktuasi rendah yang
menunjukkan produksi dan stok yang memadai di tahun ini. Perbedaan harga
terendah dan tertinggi untuk beras medium rata-rata nasional hanya Rp
355 per kilogram dibandingkan Rp 1.027 per kilogram di 2015. Rata-rata
harga beras medium nasional naik 5,4 persen dari Rp 10.153 di 2015
menjadi Rp 10.705 di 2016, jauh lebih rendah dibandingkan kenaikan di
2015 sebesar 13,5 persen (Kemendag, 2015-2016).
Produk dengan
persentase impor sangat tinggi yaitu gandum dan kedelai, harganya di
pasar domestik menurun karena turunnya harga kedua komoditas ini di
pasar dunia. Untuk jagung dan gula yang persentase impornya juga cukup
tinggi harganya di 2016 ini meningkat justru ketika harga di pasar
internasional menurun. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kebijakan
pemerintah yang membatasi impor jagung dan kesalahan prediksi produksi
gula nasional sehingga impor terlambat dilakukan. Harga bawang merah
juga meningkat tajam di tahun ini karena kebijakan pembatasan impor.
Harga daging sapi masih sangat tinggi mendekati Rp 115.000 per kilogram,
tetapi fluktuasi dan kenaikan harganya relatif rendah dibandingkan
tahun 2015. Sumber protein lain, yaitu daging dan telur ayam ras,
mengikuti pola fluktuasi tahunan dengan harga rata-rata yang lebih
tinggi dibandingkan tahun 2015.
Hal penting lain adalah
kesejahteraan petani. Salah satu indikator kesejahteraan petani adalah
nilai tukar petani (NTP). Meskipun NTP Gabungan Nasional masih berada di
atas 100, nilai tersebut mengalami penurunan dari 102,03 (2014) menjadi
101,61 (2015) dan 101,67 (hingga November 2016). NTP tanaman pangan
mengalami peningkatan dari 98,88 di 2014 menjadi 100,35 di 2015.
Peningkatan NTP disebabkan harga beras yang melonjak tinggi di tahun
tersebut. Pada 2016 NTP tanaman pangan terus menurun dari 103,94 di
bulan Januari 2016 menjadi 98,17 di bulan November 2016.
Rekomendasi
Meskipun
upaya keras membangun sektor pertanian masih menghadapi berbagai
tantangan, sektor tersebut sangat penting bagi Indonesia dan masih
menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB, menurut lapangan usaha)
terbesar kedua setelah industri pengolahan. Hingga triwulan III-2016,
PDB dari sektor ini sudah Rp 463,2 triliun. Distribusi sektor ini
terhadap PDB menurut lapangan usaha juga terus meningkat dari tahun ke
tahun, yaitu 13,34 persen di 2014 menjadi 13,52 persen di 2015 dan di
atas 14,0 persen di 2016 (BPS, November 2016).
Sektor pertanian
juga tetap penyumbang lapangan pekerjaan terbesar dengan jumlah pekerja
di Agustus 2016 mencapai 37,77 juta orang meskipun sudah menurun lebih
dari 1 juta orang dibandingkan Agustus 2014 (38,97 juta orang). Jumlah
ini jauh melampaui sektor perdagangan (26,69 juta orang), jasa (19,46
juta orang), dan industri (15,54 juta orang).
Mengarusutamakan
pembangunan sektor pertanian dan pangan memiliki dampak yang strategis
bagi keberlanjutan pembangunan, termasuk pembangunan sumber daya manusia
di Indonesia. Apalagi dari hasil kajian Indeks Kelaparan Global (IKG)
2016 dari International Food Policy Research Institute (IFPRI), posisi
Indonesia masih terpuruk (IFPRI, Oktober 2016). Skor IKG Indonesia di
tahun 2016 sebesar 21,9 yang menurun dari 28,6 di tahun 2008. Skor
tersebut masih masuk dalam kategori "skala kelaparan serius" (skala
20,0-34,9). Di antara para tetangga di Asia, Indonesia berada di bawah
Tiongkok (7,7), Malaysia (9,7), Thailand (11,8), Vietnam (14,5),
Filipina (19,9), dan Kamboja (21,7), tetapi lebih baik daripada Myanmar
(22,0) dan Sri Lanka (25,5).
Terdapat tiga dimensi IKG, yaitu
persentase ketidakcukupan pasokan pangan, persentase anak kekurangan
gizi, dan persentase kematian anak di bawah lima tahun. Pembangunan
pertanian sangat terkait dengan pemenuhan kebutuhan kalori dan gizi
masyarakat sehingga dapat menurunkan skala ketiga dimensi IKG tersebut.
Pemusatan
perhatian yang terlalu berlebih pada program Pajale (Padi, Jagung, dan
Kedelai) selama dua tahun terakhir ini mendistorsi pembangunan di
subsektor lain yang penting dalam peningkatan devisa dan ekspor.
Pemerintah perlu mulai memperhatikan sektor lain, terutama perkebunan
rakyat yang NTP-nya terus menurun dan untuk tahun ini hanya berada di
kisaran 96,14 (terendah) dan 98,91 (tertinggi). Pada kondisi saat ini,
program pertanian tanpa reforma agraria adalah upaya "menjaring angin".
Semua upaya peningkatan produksi hanya akan berada di atas kertas belaka
dan defisit pangan dan impor pangan akan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Redistribusi lahan untuk petani kecil sebagaimana yang
diamanatkan dalam Nawacita harus benar-benar serius dilakukan.
Tata
kelola pangan sangat terkait dengan ketersediaan data yang akurat
terutama data produksi dan stok. Ketidakakuratan data menyebabkan
kebijakan pangan bermasalah dan menimbulkan fluktuasi harga yang
merugikan petani dan konsumen. Gejolak harga di tahun 2015 seharusnya
menyadarkan kita bersama bahwa ada masalah serius terkait data.
Terakhir,
peningkatan kesejahteraan petani harus menjadi fokus utama pembangunan
pertanian. Kebijakan tata kelola pangan yang selama ini fokus ke
kepentingan konsumen perlu diubah menjadi fokus ke kepentingan petani
dengan menjamin harga yang menguntungkan di tingkat usaha tani. Pola
subsidi (benih dan pupuk) dan berbagai bantuan yang selama ini terbukti
tidak efektif perlu diubah menjadi pembayaran langsung dan subsidi output.
Diharapkan melalui perubahan kebijakan yang mendasar terjadi
peningkatan kesejahteraan petani dan meningkatkan ketertarikan generasi
muda di bidang pertanian. Peningkatan produksi hanyalah buah dari upaya
keras meningkatkan kesejahteraan petani dan bukan sebaliknya.
Dwi Andreas Santosa
Guru
Besar Fakultas Pertanian IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan
Teknologi Tani Indonesia/AB2TI, dan Center of Reform on Economics (CORE)
Indonesia
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2016, di
halaman 6 dengan judul "Catatan Akhir Tahun Pertanian".
No comments:
Post a Comment