KORAN TEMPO, Jum'at, 23 Desember 2016 | 23:37 WIB
Fenomena membunyikan klakson yang kemudian dikenal dengan irama
telolet sudah ada sejak setahun lalu. Bahkan lebih. Sekelompok anak-anak
di jalur Pantai Utara Jawa iseng merekam suara klakson bus antarkota
dengan handphone-nya. Rekaman ini kemudian dikirim ke teman-temannya,
lalu menyebar. Terjadi kelatahan, ramai-ramai berburu klakson. Adapun
sopir bus, yang ternyata tak keberatan, memasang variasi bunyi klakson
agar tambah seru.
Begitulah sejarah lahirnya telolet. Antara keisengan dan
kecanggihan teknologi handphone, plus sambutan bersahabat para sopir.
Kini telolet mewabah di mana-mana. Anak-anak dan remaja tanggung siap
berburu telolet sambil mengacungkan poster yang berbunyi "Om Telolet
Om". Aksara di poster itu lalu menjadi trending topic dunia. Berbagai
variasi musik dengan inspirasi telolet lahir. Ini kesuksesan besar
bangsa Indonesia yang berhasil mengekspor produk keisengannya yang
bernama Om Telolet Om.
Kenapa penemuan unik ini baru meledak sekarang? Mungkin kita lagi
bosan dengan kejenuhan politik yang tiap hari mengobarkan permusuhan di
media sosial. Kita bosan dengan ujaran kebencian dan rekayasa informasi
yang seenaknya merendahkan orang lain yang kita posisikan sebagai
lawan. Kita bosan dengan aktivitas politik yang dibungkus agama. Adapun
pemimpin agama tak bisa dijadikan teladan bagaimana kita bergaul dalam
kebinekaan suku, budaya, dan agama. Di tengah kebisingan itu, ada orang
yang jeli menjual telolet ke media sosial. Kesederhanaan anak-anak
tanggung di jalur Pantura dalam mencari kegirangan dengan biaya murah
diunggah ke media sosial dengan penyedap berbagai rasa. Om Telolet Om.
Apakah telolet perlu dilarang? Kalau dilarang, alasan apa yang
paling baik digunakan? Polisi memang repot untuk mengingatkan anak-anak
jalanan itu saat meminta sopir bus antarkota membunyikan telolet. Mereka
bisa keseruduk. Tapi, ya, tak apa-apa. Ini pekerjaan lebih ringan
dibanding polisi mengamankan ormas radikal yang sweeping topi Santa.
Telolet ini mencairkan ketegangan kita yang tak perlu menjelang
Natal hari-hari ini. Ketegangan karena hari suci umat Kristiani ternyata
membuat sibuk umat yang lain. Sibuk melarang memakai atribut Natal bagi
warga muslim. Kalau atribut itu berkaitan dengan akidah, barangkali
tepat diharamkan. Tapi kalau hanya produk budaya, sejauh itukah sampai
merusak akidah? Padahal, dalam sejarah perjalanan agama-agama di
Nusantara, budaya yang berbeda menjadi inspirasi untuk kebersamaan. Tak
jarang pula budaya lokal itu justru dimanfaatkan untuk penyebaran agama.
Wali Songo menyebarkan Islam di Jawa dengan meminjam budaya Hindu
seperti wayang. Padahal, cerita wayang pada awalnya adalah kisah
tentang penjabaran kitab suci Hindu yang dikenal dengan istilah Ithiasa.
Syekh Jafar Sodiq yang lebih terkenal disebut Sunan Kudus membangun
masjid dengan memanfaatkan peninggalan candi Hindu untuk menaranya pada
1549. Sampai sekarang tak ada yang mengharamkan masjid di tengah-tengah
kota Kudus itu.
Apakah umat Kristiani di Bali dilarang menggunakan destar (ikat
kepala) untuk merayakan Natal? Atau muslim di Pegayaman, Bali Utara,
diharamkan memakai nama Putu, Nengah, Ketut, Wayan, dan seterusnya
karena nama itu dipakai orang Bali yang Hindu? Ternyata tidak, destar
ataupun nama-nama itu hanyalah produk budaya. Ah, kita capek setiap hari
disuguhi berita sekitar ini, maka Om Telolet Om jadi pilihan untuk
hiburan sehat. Selamat Natal bagi sahabat Kristiani dan mari kita
menikmati telolet.
No comments:
Post a Comment