Wednesday, November 11, 2015



Oligarki Politik dan Kerangkeng Demokrasi
http://www.unisosdem.org/images/spacer.gif


Oleh: Max Regus



LIMA jari, bahkan 10 jari, tangan sudah tidak cukup untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas sederetan kebijakan-kebijakan politik kontroversial hingga saat ini. Simbolisme `tangan'-Persetujuan Anggaran Hambalang Ajaib--yang judul menjadi berita utama Media Indonesia (31/5) menunjukkan ketidakjelasan keseluruhan akuntabilitas proyek pembangunan yang sudah menguras uang negara. Pertama, kita bisa lihat bagaimana tiap tokoh politik dan pemerintahan memiliki jawaban masing-masing untuk satu titik masalah rawan yang menyimpan banyak kejanggalan.

Kedua, ada soal lain yang lebih serius. Apa yang dikemukakan Media Indonesia dalam simbolisme tangan yang terbuka itu mirip sebuah ucapan selamat tinggal. Sesungguhnya, ada indikasi bagaimana kekuasaan dengan beragam persoalan korupsi sedang mengucapkan salam perpisahan dengan publik. Proyek pembangunan yang menelan uang negara dengan kualifikasi yang masih dalam tanda tanya sebentar lagi akan melenyap dari pandangan kritis publik.

Itu akan menambah daftar panjang kisah kejahatan politik yang sirna dari jangkauan keadilan publik.

Ketiga, demokrasi, yang dipenuhi begitu banyak janji politik masa lalu, kecurangan pada level-level utama kekuasaan, dan prospek keadilan sosial yang semakin suram, mengerut di tangan rakus para penguasa. Itu makna lain simbolisme tangan Media Indonesia.

Lumpuhnya Parpol


KOMPAS 03 Okt 12

Oleh: Arie Sujito



Lengkap sudah jawaban atas sinyalemen yang berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami kelumpuhan akut.

Selama lebih dari satu dekade sejak Reformasi, publik begitu risau atas ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, serta ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini.

Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja usai jadi bukti pelengkap betapa parpol mengalami krisis fungsi. Terbukti, perolehan jumlah kursi di parlemen tidak berbanding lurus dengan perolehan suara di pilkada.

Regenerasi Kepemimpinan Politik

Regenerasi Kepemimpinan Politik
KOMPAS, Kamis, 30 Juli 2009 | 03:04 WIB
Oleh: Arie Sujito 
 
Seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden, kita perlu menatap agenda ke depan. Salah satu hal yang penting dipikirkan adalah regenerasi kepemimpinan politik, terutama menyambut 2014.

Selama ini, organisasi sosial politik (orsospol) sebagai institusi strategis yang bertugas menyiapkan kader dalam rotasi kekuasaan kurang mampu menjalankan fungsinya. Kaderisasi macet, daya orsospol sebagai mesin pencetak kaum idealis dengan tumpuan ideologi kian menyusut. Kondisi ini ironis.

Pada zaman Orde Baru, organisasi formal terjebak desain korporatik. Para kader dituntut loyal kepada kekuasaan. Di sisi lain, karena sistem politik yang otoriter, berkembang kaderisasi secara sembunyi-sembunyi, kaderisasi ”bawah tanah”, toh melahirkan aktivis kritis dengan daya volutarisme kuat. Spirit perjuangan melawan otoriterisme negara, saat itu, tumbuh. Sebaliknya, pada era reformasi yang seharusnya mendapat keleluasaan mengembangkan organisasi dan aktivitas berpolitik, kaderisasi kurang diperhatikan.

Pencitraan dan Emansipasi Pemilih

Arie Sujito  ;  Sosiolog; Dosen Fisipol UGM
KOMPAS, 18 Oktober 2013

POLITIK pencitraan berbasis survei makin populer karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan analisis olah realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan polling atas suatu kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif dengan membangun citra, mampu merebut ruang ”diskursus”.
 
Politik pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis bombastis, melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus digandrungi banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam elektoral.
 
Namun, politik pencitraan berbasis survei atau polling yang ngetren itu juga memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun hasil ”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak seindah tafsir angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan kepalsuan politik. Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan politisi, terutama ketika menemukan alternatif baru dalam figur perubahan.
 
Atas dasar itulah, kemungkinan pada Pemilu 2014 akan banyak muncul tanda-tanda ”kehausan” politik berkualitas berbasis pemilih berdaya. Dalam cara pandang kritis, tantangan untuk menjawab pembenahan elektoral dan demokrasi makin relevan dijawab, yakni perlunya menyajikan pendekatan baru atau metodologi yang lebih emansipatif dalam membangun politik pencitraan. Dengan begitu, jika akan terus dipakai, politik pencitraan sebagai gejala umum modernisasi kampanye harus mampu menjawab tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang bermakna. Ini boleh disebut ”pencitraan plus”.
 
Ada beberapa asumsi dasar yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada kecenderungan ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan parpol makin terasa dan tidak bisa dibantah. Fenomena tersebut ditandai dengan pragmatisme pemilih, bahkan apatisme.
 
Hal itu jadi masalah serius, melihat tren pemilu dan pilkada di mana partisipasi pemilih makin menyusut. Kedua, keengganan parpol mereformasi diri jadi problem krusial yang berdampak perluasan penyakit oligarki, korupsi, dan perpecahan dalam organisasi politik itu.
 
Pendekatan baru
Jika dikalkulasi berdasarkan kesempatan untuk membenahi keadaan, lebih penting memprioritaskan membenahi pemilih dibandingkan dengan berharap parpol berubah. Tujuannya adalah menjadikan pemilih sebagai subyek yang cerdas, memiliki kemampuan kritis saat memanfaatkan hak partisipasi pemilu. Bahkan meyakinkan kembali bahwa seburuk apa pun kondisi demokrasi kita, pemilu tetap harus dimanfaatkan dengan cara baru, berbeda dibandingkan dengan sebelumnya, agar suara pemilih tidak sia-sia.
 
Konsekuensi atas itu semua, metodologi membangun pencitraan harus bertumpu pada penggalian nalar, perspektif dan persepsi, serta kualitas argumen pemilih dalam memanfaatkan hak mereka atas suara dalam pemilu. Di sinilah pentingnya mengeksplorasi dan menelaah pengetahuan dan cara pandang pemilih atas situasi politik, figur, atau parpol dan segala seluk-beluk elemen demokrasi. Termasuk melakukan riset mendalam untuk membangun pencitraan berbasis konstruksi sosial pemilih, dengan segala harapan yang melekat di dalamnya, dengan kedalaman bukti dan argumen.
 
Untuk pemilu presiden misalnya, tidak lagi kita melulu mendiagnosis dengan potret cepat atas lapis permukaan pemilih, atau cara kilat survei model polling yang di dalamnya sekadar menguantifikasi harapan, juga pilihan dan orientasi yang bisa dijawab dengan instan atas kandidat. Hasil semacam itu hanya menemukan derajat popularitas dan elektabilitas.
 
Sebaliknya, yang diperlukan lebih dari itu, yaitu penggalian kualitatif, melacak nalar pemilih, menggali, dan menganalisis alasan-alasan kunci dengan temuan lebih dalam dan lengkap. Itu yang disebut menembus jantung pikiran dan hati rakyat sebagai pemilih. Rakyat perlu diketahui dan dipahami sebagai subyek pemilu.
 
Cara ini tentu lebih berbobot karena cenderung tidak serampangan atau generik. Tantangan metodologi penggalian nalar ini adalah kebutuhan data, waktu, dan kapasitas analisis yang tidak asal-asalan. Namun, pendekatan inilah yang justru mampu menghasilkan narasi bermakna yang dapat dimanfaatkan membenahi demokrasi ke depan, bahkan mampu menemukan potret sesungguhnya pemilih dengan segala argumen dukungan.
Pemilih sebagai subyek
Beberapa waktu lalu Lembaga Intrans sempat merilis pendekatan argumen pemilih mirip gagasan tersebut. Adalah pendekatan kualitatif dalam membangun citra politik dalam pemilu. Jika menemukan narasi berisi nalar dan argumen pemilih, kemungkinan menghasilkan perdebatan yang lebih substansial.
 
Terkait dengan hal itu, poin kunci yang perlu diperdalam, di antaranya, pertama, bagaimana memetakan pemilih di Indonesia yang beragam dan tentu memiliki derajat kesadaran dan pengetahuan politik tidak sama. Kita perlu data yang cukup baik dan memadai sebagai modal atau dasar awal untuk melacak mereka lebih jauh. Hal ini membutuhkan metode, tools, atau instrumen yang memadai.
 
Kedua, perumusan dan penyusunan konsep dan indikator persepsi pemilih atas kandidat harus mencerminkan konstruksi berpikir dan realitas sosial pemilih, tidak sekadar dibangun dengan cara-cara nalar asumsi dari sekadar sang peneliti, tim sukses, atau kandidat.
 
Ketiga, perspektif dan kerangka analisis yang mampu menjadikan pemilih sebagai subyek sangat diperlukan. Ini akan menentukan, apakah hasil riset itu mencerminkan potret dan narasi yang mendalam atas situasi nyata ataukah dangkal sama sekali.
 
Konteks itu menjadi dasar perlunya membawa orientasi pada perspektif baru mendorong diskursus substansial tentang elektoral dan bahkan kekuasaan ke depan. Bagaimanapun, kegalauan situasi politik saat ini bisa berulang jika tidak beranjak dan mengubah diri dari cara lama yang makin dangkal itu, yang kebetulan digandrungi karena mudah dikerjakan.
 
Ke depan, jika metodologi persepsi, cara pandang, dan orientasi pemilih atas kandidat ini bisa dioperasikan dengan baik dan pandangan kritis, hal ini akan menjadi sumbangan berharga atas kegalauan politik yang kian dangkal. Pemilih harus diposisikan sebagai subyek, pendekatan emansipasi agar warga kian berdaya dalam pemilu.
Itulah dasar utama terjadinya transformasi politik warga yang bermakna, salah satu penanda demokrasi substansial. ●