Oligarki Politik dan Kerangkeng Demokrasi |
![]() |
|
||
Oleh: Max Regus
|
||||
|
||||
LIMA jari, bahkan 10 jari, tangan sudah tidak cukup
untuk menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas sederetan
kebijakan-kebijakan politik kontroversial hingga saat ini. Simbolisme
`tangan'-Persetujuan Anggaran Hambalang Ajaib--yang judul menjadi berita
utama Media Indonesia (31/5) menunjukkan ketidakjelasan keseluruhan
akuntabilitas proyek pembangunan yang sudah menguras uang negara. Pertama,
kita bisa lihat bagaimana tiap tokoh politik dan pemerintahan memiliki
jawaban masing-masing untuk satu titik masalah rawan yang menyimpan banyak
kejanggalan.
Kedua, ada soal lain yang lebih serius. Apa yang dikemukakan Media Indonesia dalam simbolisme tangan yang terbuka itu mirip sebuah ucapan selamat tinggal. Sesungguhnya, ada indikasi bagaimana kekuasaan dengan beragam persoalan korupsi sedang mengucapkan salam perpisahan dengan publik. Proyek pembangunan yang menelan uang negara dengan kualifikasi yang masih dalam tanda tanya sebentar lagi akan melenyap dari pandangan kritis publik. Itu akan menambah daftar panjang kisah kejahatan politik yang sirna dari jangkauan keadilan publik. Ketiga, demokrasi, yang dipenuhi begitu banyak janji politik masa lalu, kecurangan pada level-level utama kekuasaan, dan prospek keadilan sosial yang semakin suram, mengerut di tangan rakus para penguasa. Itu makna lain simbolisme tangan Media Indonesia. |
Wednesday, November 11, 2015
Lumpuhnya Parpol
KOMPAS 03 Okt 12
|
|
Oleh: Arie
Sujito
|
|
|
|
Lengkap sudah jawaban atas
sinyalemen yang berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami
kelumpuhan akut.
Selama lebih dari satu dekade sejak Reformasi, publik begitu risau atas ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, serta ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini. Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja usai jadi bukti pelengkap betapa parpol mengalami krisis fungsi. Terbukti, perolehan jumlah kursi di parlemen tidak berbanding lurus dengan perolehan suara di pilkada. |
Regenerasi Kepemimpinan Politik
Regenerasi Kepemimpinan Politik
KOMPAS, Kamis, 30 Juli 2009 | 03:04 WIB
Oleh: Arie Sujito
Seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden, kita perlu
menatap agenda ke depan. Salah satu hal yang penting dipikirkan adalah
regenerasi kepemimpinan politik, terutama menyambut 2014.
Selama ini, organisasi sosial politik (orsospol) sebagai institusi
strategis yang bertugas menyiapkan kader dalam rotasi kekuasaan kurang
mampu menjalankan fungsinya. Kaderisasi macet, daya orsospol sebagai
mesin pencetak kaum idealis dengan tumpuan ideologi kian menyusut.
Kondisi ini ironis.
Pada zaman Orde Baru, organisasi formal terjebak desain korporatik.
Para kader dituntut loyal kepada kekuasaan. Di sisi lain, karena sistem
politik yang otoriter, berkembang kaderisasi secara sembunyi-sembunyi,
kaderisasi ”bawah tanah”, toh melahirkan aktivis kritis dengan daya
volutarisme kuat. Spirit perjuangan melawan otoriterisme negara, saat
itu, tumbuh. Sebaliknya, pada era reformasi yang seharusnya mendapat
keleluasaan mengembangkan organisasi dan aktivitas berpolitik,
kaderisasi kurang diperhatikan.
Pencitraan dan Emansipasi Pemilih
Arie Sujito ; Sosiolog; Dosen Fisipol UGM
KOMPAS, 18 Oktober 2013
POLITIK pencitraan berbasis
survei makin populer karena dua hal. Pertama, kemampuan rekayasa dan
analisis olah realitas melalui ”angka”, seperti produk survei dan
polling atas suatu kandidat. Kedua, pemanfaatan media massa yang masif
dengan membangun citra, mampu merebut ruang ”diskursus”.
Politik
pencitraan berbasis survei biasanya juga mengandalkan bumbu analisis
bombastis, melampaui realitas sesungguhnya. Cara semacam itu masih terus
digandrungi banyak politisi dan tim sukses dalam meraup dukungan dalam
elektoral.
Namun,
politik pencitraan berbasis survei atau polling yang ngetren itu juga
memiliki dua kelemahan mendasar. Pertama, pola itu tidak mampu mengubah
harapan demokrasi yang berkualitas. Itu karena kekuasaan yang terbangun
hasil ”olah angka” biasanya tak sehebat yang dicitrakan: kenyataan tak
seindah tafsir angka. Kedua, pemilih yang kian jenuh dalam menyaksikan
kepalsuan politik. Mereka kadang memiliki nalar yang berbeda dengan
politisi, terutama ketika menemukan alternatif baru dalam figur
perubahan.
Atas
dasar itulah, kemungkinan pada Pemilu 2014 akan banyak muncul
tanda-tanda ”kehausan” politik berkualitas berbasis pemilih berdaya.
Dalam cara pandang kritis, tantangan untuk menjawab pembenahan elektoral
dan demokrasi makin relevan dijawab, yakni perlunya menyajikan
pendekatan baru atau metodologi yang lebih emansipatif dalam membangun
politik pencitraan. Dengan begitu, jika akan terus dipakai, politik
pencitraan sebagai gejala umum modernisasi kampanye harus mampu menjawab
tuntutan orientasi pemilu yang berkualitas dan demokrasi yang bermakna.
Ini boleh disebut ”pencitraan plus”.
Ada
beberapa asumsi dasar yang perlu dipertimbangkan. Pertama, ada
kecenderungan ketidakpercayaan masyarakat kepada politisi dan parpol
makin terasa dan tidak bisa dibantah. Fenomena tersebut ditandai dengan
pragmatisme pemilih, bahkan apatisme.
Hal
itu jadi masalah serius, melihat tren pemilu dan pilkada di mana
partisipasi pemilih makin menyusut. Kedua, keengganan parpol mereformasi
diri jadi problem krusial yang berdampak perluasan penyakit oligarki,
korupsi, dan perpecahan dalam organisasi politik itu.
Pendekatan baru
Jika
dikalkulasi berdasarkan kesempatan untuk membenahi keadaan, lebih
penting memprioritaskan membenahi pemilih dibandingkan dengan berharap
parpol berubah. Tujuannya adalah menjadikan pemilih sebagai subyek yang
cerdas, memiliki kemampuan kritis saat memanfaatkan hak partisipasi
pemilu. Bahkan meyakinkan kembali bahwa seburuk apa pun kondisi
demokrasi kita, pemilu tetap harus dimanfaatkan dengan cara baru,
berbeda dibandingkan dengan sebelumnya, agar suara pemilih tidak
sia-sia.
Konsekuensi
atas itu semua, metodologi membangun pencitraan harus bertumpu pada
penggalian nalar, perspektif dan persepsi, serta kualitas argumen
pemilih dalam memanfaatkan hak mereka atas suara dalam pemilu. Di
sinilah pentingnya mengeksplorasi dan menelaah pengetahuan dan cara
pandang pemilih atas situasi politik, figur, atau parpol dan segala
seluk-beluk elemen demokrasi. Termasuk melakukan riset mendalam untuk
membangun pencitraan berbasis konstruksi sosial pemilih, dengan segala
harapan yang melekat di dalamnya, dengan kedalaman bukti dan argumen.
Untuk
pemilu presiden misalnya, tidak lagi kita melulu mendiagnosis dengan
potret cepat atas lapis permukaan pemilih, atau cara kilat survei
model polling yang di dalamnya sekadar menguantifikasi harapan, juga
pilihan dan orientasi yang bisa dijawab dengan instan atas kandidat.
Hasil semacam itu hanya menemukan derajat popularitas dan elektabilitas.
Sebaliknya,
yang diperlukan lebih dari itu, yaitu penggalian kualitatif, melacak
nalar pemilih, menggali, dan menganalisis alasan-alasan kunci dengan
temuan lebih dalam dan lengkap. Itu yang disebut menembus jantung
pikiran dan hati rakyat sebagai pemilih. Rakyat perlu diketahui dan
dipahami sebagai subyek pemilu.
Cara
ini tentu lebih berbobot karena cenderung tidak serampangan atau
generik. Tantangan metodologi penggalian nalar ini adalah kebutuhan
data, waktu, dan kapasitas analisis yang tidak asal-asalan. Namun,
pendekatan inilah yang justru mampu menghasilkan narasi bermakna yang
dapat dimanfaatkan membenahi demokrasi ke depan, bahkan mampu menemukan
potret sesungguhnya pemilih dengan segala argumen dukungan.
Pemilih sebagai subyek
Beberapa
waktu lalu Lembaga Intrans sempat merilis pendekatan argumen pemilih
mirip gagasan tersebut. Adalah pendekatan kualitatif dalam membangun
citra politik dalam pemilu. Jika menemukan narasi berisi nalar dan
argumen pemilih, kemungkinan menghasilkan perdebatan yang lebih
substansial.
Terkait
dengan hal itu, poin kunci yang perlu diperdalam, di antaranya,
pertama, bagaimana memetakan pemilih di Indonesia yang beragam dan tentu
memiliki derajat kesadaran dan pengetahuan politik tidak sama. Kita
perlu data yang cukup baik dan memadai sebagai modal atau dasar awal
untuk melacak mereka lebih jauh. Hal ini membutuhkan metode, tools, atau
instrumen yang memadai.
Kedua,
perumusan dan penyusunan konsep dan indikator persepsi pemilih atas
kandidat harus mencerminkan konstruksi berpikir dan realitas sosial
pemilih, tidak sekadar dibangun dengan cara-cara nalar asumsi dari
sekadar sang peneliti, tim sukses, atau kandidat.
Ketiga,
perspektif dan kerangka analisis yang mampu menjadikan pemilih sebagai
subyek sangat diperlukan. Ini akan menentukan, apakah hasil riset itu
mencerminkan potret dan narasi yang mendalam atas situasi nyata ataukah
dangkal sama sekali.
Konteks
itu menjadi dasar perlunya membawa orientasi pada perspektif baru
mendorong diskursus substansial tentang elektoral dan bahkan kekuasaan
ke depan. Bagaimanapun, kegalauan situasi politik saat ini bisa berulang
jika tidak beranjak dan mengubah diri dari cara lama yang makin dangkal
itu, yang kebetulan digandrungi karena mudah dikerjakan.
Ke
depan, jika metodologi persepsi, cara pandang, dan orientasi pemilih
atas kandidat ini bisa dioperasikan dengan baik dan pandangan kritis,
hal ini akan menjadi sumbangan berharga atas kegalauan politik yang kian
dangkal. Pemilih harus diposisikan sebagai subyek, pendekatan
emansipasi agar warga kian berdaya dalam pemilu.
Itulah dasar utama terjadinya transformasi politik warga yang bermakna, salah satu penanda demokrasi substansial. ●
Subscribe to:
Posts (Atom)