Lengkap sudah jawaban atas
sinyalemen yang berkembang sejauh ini bahwa partai politik tengah mengalami
kelumpuhan akut.
Selama lebih dari satu dekade sejak Reformasi, publik begitu risau atas
ingar-bingar dan kontroversi terkait sepak terjang parpol. Kekecewaan demi
kekecewaan bermunculan terkait perilaku parpol yang dinilai buruk. Kasus
korupsi, oligarki, konflik dan kekerasan, sengketa hukum, pencitraan, serta
ragam masalah sejenis akhirnya mendangkalkan peran institusi demokrasi ini.
Peristiwa Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta yang baru saja
usai jadi bukti pelengkap betapa parpol mengalami krisis fungsi. Terbukti,
perolehan jumlah kursi di parlemen tidak berbanding lurus dengan perolehan
suara di pilkada.
Sarana
Pembelajaran
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa parpol tak lagi efektif. Bahkan,
layak dikatakan gagal sebagai mesin mobilisasi suara dalam peristiwa pilkada.
Begitu banyak pengalaman berharga layak dikutip untuk dijadikan pembelajaran
dari peristiwa Pilkada DKI Jakarta.
Pertama, parpol hanyalah institusi politik formal; sekadar menggenggam
otoritas administratif dalam pemilu. Selama ini, UU Pemilu memberikan
penegasan besaran kewenangan parpol sebagai penentu upaya meraih kuasa formal
di eksekutif ataupun legislatif. Namun, kewenangan besar itu tak diikuti oleh
kapasitas lembaga politik tersebut dalam menjalankan fungsi representasinya.
Politisi gagal mengelola parpol secara modern bahkan asal-asalan.
Selain berpola oligarkis, manajemen yang buruk dan korup, kapasitas SDM
politisi yang tidak memadai, serta sistem kaderisasi di bawah bayang-bayang
feodalisasi dan klientilisme, parpol disibukkan hal-hal pragmatis yang tak
ada hubungannya dengan pembangunan sistem politik modern. Akibatnya, tak ada
energi dan komitmen parpol untuk mereformasi dirinya.
Kedua, figur kandidat cenderung jadi preferensi utama dalam menentukan sikap
pemilih, dengan keragaman ukuran. Akumulasi kekecewaan masyarakat yang tak
direspons parpol melahirkan beberapa pilihan. Di satu sisi ada golput dan
apatisme, di sisi lain menyiasati dengan cara baru. Model menyiasati ini,
misalnya, dengan memilih calon independen sebagai alternatif keluar dari
sengkarut parpol.
Keberhasilan Faisal-Biem mengantongi 5 persen suara pemilih mengalahkan
parpol besar dan menengah lebih karena faktor kefiguran dan kerja tim
suksesnya. Mereka meyakinkan pemilih yang kecewa pada parpol dan menjaringnya
agar tidak golput.
Demikian halnya dengan strategi berkompromi, yakni tetap masuk dalam arena
politik parpol, tetapi dengan mendukung berdasarkan figur. Fenomena
Jokowi-Basuki, sekalipun hanya didukung dua parpol dan dikepung parpol-parpol
besar dan menengah, tetapi kefiguran dan rekam jejak yang melekat pada
kandidat dianggap simbol perubahan, mampu meraih simpati pemilih.
Ketiga, ideologi politik ber- transformasi dan berkembang bukan pada parpol,
tetapi justru pada pemilih. Jika ideologi dipahami dalam pengertian
nilai-nilai positif yang mampu menjadi rujukan perbaikan situasi dan
perbaikan sistem bernegara, spirit ini terekspresikan nyata di kesadaran
pemilih. Misalnya, klaim-klaim elite parpol yang memproduksi sentimen SARA
dan ditebarkan kepada pemilih tak begitu saja diterima. Sekalipun sentimen
parokial dan komunalitas berpengaruh, tetapi ternyata tidak signifikan.
Keempat, bagaimanapun, peran media sosial sangat efektif menjadi mesin
pencitraan untuk membantu memopulerkan kandidat. Daya jangkau media sosial,
khususnya di DKI Jakarta, bukan saja di wilayah elite dan kelas menengah,
juga di akar rumput.
Simbol, jargon, lagu, video, dan beragam instrumen diproduksi jadi jembatan
penghubung, memudahkan pemilih berimajinasi dan mengasosiasikan pada kandidat
tertentu. Peran instrumen ini ternyata mempercepat rayapan dukungan pemilih
dan partisipasi mereka dalam pilkada.
Bahan
Refleksi
Seni berpolitik memang tak punya rumusan baku yang bisa diterapkan dan
dipraktikkan secara generik. Namun, dari pengalaman di atas, setidaknya dapat
dijadikan bahan refleksi untuk mendorong agar kita segera berbenah menghadapi
situasi penyusutan kualitas demokrasi yang kian memprihatinkan.
Tentu saja pengalaman itu berguna untuk pendidikan politik bagi masyarakat.
Namun, yang lebih penting dari itu adalah keharusan parpol untuk segera
berbenah diri agar tidak terus ditinggalkan pemilihnya.
Sejarah mencatat, reformasi 1998 digerakkan aktivis mahasiswa didukung para
cendekiawan bersama rakyat, sementara buah reformasi sebagian besar dinikmati
oleh politisi parpol. Namun, melihat sejumlah kecenderungannya, sejarah bisa
berbalik, di mana reformasi bisa juga menggulung dan mengubur parpol jika
mereka tidak berubah.
Arie Sujito
Dosen Sosiologi Politik UGM
|
|
No comments:
Post a Comment