Regenerasi Kepemimpinan Politik
KOMPAS, Kamis, 30 Juli 2009 | 03:04 WIB
Oleh: Arie Sujito
Seusai pemilu legislatif dan pemilu presiden, kita perlu
menatap agenda ke depan. Salah satu hal yang penting dipikirkan adalah
regenerasi kepemimpinan politik, terutama menyambut 2014.
Selama ini, organisasi sosial politik (orsospol) sebagai institusi
strategis yang bertugas menyiapkan kader dalam rotasi kekuasaan kurang
mampu menjalankan fungsinya. Kaderisasi macet, daya orsospol sebagai
mesin pencetak kaum idealis dengan tumpuan ideologi kian menyusut.
Kondisi ini ironis.
Pada zaman Orde Baru, organisasi formal terjebak desain korporatik.
Para kader dituntut loyal kepada kekuasaan. Di sisi lain, karena sistem
politik yang otoriter, berkembang kaderisasi secara sembunyi-sembunyi,
kaderisasi ”bawah tanah”, toh melahirkan aktivis kritis dengan daya
volutarisme kuat. Spirit perjuangan melawan otoriterisme negara, saat
itu, tumbuh. Sebaliknya, pada era reformasi yang seharusnya mendapat
keleluasaan mengembangkan organisasi dan aktivitas berpolitik,
kaderisasi kurang diperhatikan.
Kader instan
Tak bisa dimungkiri, liberalisasi politik telah menstimulasi para
aktivis muda berpolitik. Secara kuantitatif, mereka terlibat dalam arena
dan jalur struktur kekuasaan formal baik di parlemen maupun eksekutif,
tingkat pusat maupun daerah. Tampilnya kaum muda diharapkan jadi
suntikan darah segar agar kekuasaan dan perubahan lebih dinamis.
Idealisme baru pada dirinya menciptakan kreasi gagasan dan terobosan
alternatif.
Namun, harapan itu tidak berlangsung mulus. Pelibatan kaum muda dalam
politik formal umumnya tidak lahir dari proses kaderisasi dan proyeksi
yang sistematik. Mereka sekadar memanfaatkan peluang, tanpa skema kerja
kolektif berjejaring antarorganisasi. Tak heran jika sedotan
liberalisasi politik hanya menyuburkan hasrat berpolitik. Itu pun dengan
cara ”sulapan”. Memang tak semua politisi muda begitu. Namun, rata-rata
kualitas pengetahuan, keterampilan, dan komitmen perjuangannya
terbatas. Inilah kenyataan dilematik. Di satu sisi ada kesempatan
berkiprah, tetapi tidak disertai kesiapan diri.
Pada sejumlah kasus, fragmentasi tajam di antara mereka tak segera
dipungkasi melalui kerja konsolidasi. Misalnya mengefektifkan perjuangan
dengan membuat roadmap perubahan. Wujudnya bisa kerja bareng di
parlemen atau di level eksekutif, membuat terobosan perubahan.
Dari hasil analisis, peran politisi muda dalam kekuasaan tidak
berproses dari kaderisasi dan jenjang organisasi. Mereka muncul
tiba-tiba menjelang kompetisi. Wajar, saat haluan politik cenderung
pragmatis sebagaimana diperlihatkan dalam panggung kekuasaan saat ini,
kaum muda tergoda dan larut dalam gelombang pragmatisme. Kehadirannya
belum mampu menjadi kekuatan alternatif membenahi struktur kekuasaan dan
kualitas perubahan secara mendasar.
Organisasi yang rapuh
Ormas dan parpol yang diharapkan memasok kader-kader andal ternyata
lesu darah, tidak menyiapkan rotasi pengambilalihan kepemimpinan secara
baik. Parpol, misalnya, terjebak sebagai alat dan batu pijak mengais
kursi di parlemen. Proses instan tak menghasilkan kader matang. Apalagi
kader yang ideologis.
Tak heran jika manajemen dan kaderisasi organisasi agak rapuh.
Organisasi dibelit problem feodalisme, watak oligarkis, bahkan
persaingan tidak sehat. Pengelompokan generasi berbasis patron-client
juga kuat. Bahkan, politisi muda terhegemoni ”golongan lama” konservatif
dalam merintis karier politik.
Jika berharap terjadi regenerasi kepemimpinan politik untuk 2014,
masalah itu harus segera diakhiri. Alih generasi dan estafet
kepemimpinan harus ditempuh dengan menyusun rencana sejak sekarang.
Perlu disadari, tidak mungkin menunggu kesediaan generasi lama memberi
kesempatan. Sejak awal para aktivis dan politisi muda berhaluan idealis
dituntut menyiapkan diri, membuktikan kapasitasnya.
Langkah itu tidak mungkin ditempuh dalam waktu singkat hanya
menjelang pemilu. Cara ini sekaligus untuk membendung gejala munculnya
dinasti politik (kepemimpinan karena keturunan) dalam orsospol yang
belakangan menjadi perdebatan.
Kepemimpinan organisasi modern yang terkunci oleh konstruksi
pewarisan orangtua, keturunan, atau kerabat keluarga berarti bentuk
kemunduran. Itulah tantangan besar buat politisi muda saat ini dan ke
depan.
Arie Sujito Sosiolog UGM; Sekjen Pergerakan Indonesia
No comments:
Post a Comment