Konservatisme dan Pilkada
kompas
DONNY GAHRAL ADIAN
0 komentar
Propaganda adalah senjata ampuh dalam setiap pemilihan politik. Lebih ampuh lagi jika propaganda tersebut berpijak pada diktum-diktum konservatisme.
Memang pada awalnya propaganda konservatif sering dipandang sebelah mata. Berpolitik dengan menjual identitas seperti barang antik di kurun kemajemukan dewasa ini. Saat kita sudah berbicara warga negara dunia, rasisme bukan sesuatu yang menjanjikan lagi secara politik. Namun, apa daya, perebutan kekuasaan tetap bersandar pada politik identitas yang pekat. Kemenangan Trump seperti lonceng yang menyadarkan kelompok konservatif di seantero planet, khususnya kelompok agama.
Politisasi ketakutan
Konservatisme pada awalnya adalah secarik proposal filsafat politik. Di tengah deru perubahan sosial yang bergegas, tradisi perlu mendapat pembelaan filosofis. Perubahan yang serta-merta cenderung tak terkendali dan mematahkan sendi-sendi tradisi. Di sini filsuf konservatif awal bernama Edmund Burke menyatakan betapa tradisi, keluarga, dan institusi agama takBOLEH
dirobohkan atas nama revolusi sosial. Perubahan, pun jika ada, harus dibiarkan berjalan secara organik, bukan lewat rekayasa sosial.

Proposal filsafat itu lambat laun jadi politik praktis. Dia bukan lagi abstraksi filosofis, melainkan ideologi yang operasional. Berbagai kelompok politik pun bermunculan dengan merek dagang "konservatisme". Mereka menjual romantisisme tentang tradisi, keluarga, dan agama. Saat kelompok liberal mempropagandakan kebebasan, konservatif menekankan kekerabatan. Kekerabatan yang, sayangnya, sering kali ditafsirkan secara ketat dan sektarian. Ujung-ujungnya adalah supremasi ras dan bahkan agama.