Tuesday, February 21, 2017

Konservatisme dan Pilkada

OPINI > ARTIKEL > KONSERVATISME DAN PILKADA

Konservatisme dan Pilkada

Propaganda adalah senjata ampuh dalam setiap pemilihan politik. Lebih ampuh lagi jika propaganda tersebut berpijak pada diktum-diktum konservatisme.
Memang pada awalnya propaganda konservatif sering dipandang sebelah mata. Berpolitik dengan menjual identitas seperti barang antik di kurun kemajemukan dewasa ini. Saat kita sudah berbicara warga negara dunia, rasisme bukan sesuatu yang menjanjikan lagi secara politik. Namun, apa daya, perebutan kekuasaan tetap bersandar pada politik identitas yang pekat. Kemenangan Trump seperti lonceng yang menyadarkan kelompok konservatif di seantero planet, khususnya kelompok agama.
Politisasi ketakutan
Konservatisme pada awalnya adalah secarik proposal filsafat politik. Di tengah deru perubahan sosial yang bergegas, tradisi perlu mendapat pembelaan filosofis. Perubahan yang serta-merta cenderung tak terkendali dan mematahkan sendi-sendi tradisi. Di sini filsuf konservatif awal bernama Edmund Burke menyatakan betapa tradisi, keluarga, dan institusi agama takBOLEH dirobohkan atas nama revolusi sosial. Perubahan, pun jika ada, harus dibiarkan berjalan secara organik, bukan lewat rekayasa sosial.
Proposal filsafat itu lambat laun jadi politik praktis. Dia bukan lagi abstraksi filosofis, melainkan ideologi yang operasional. Berbagai kelompok politik pun bermunculan dengan merek dagang "konservatisme". Mereka menjual romantisisme tentang tradisi, keluarga, dan agama. Saat kelompok liberal mempropagandakan kebebasan, konservatif menekankan kekerabatan. Kekerabatan yang, sayangnya, sering kali ditafsirkan secara ketat dan sektarian. Ujung-ujungnya adalah supremasi ras dan bahkan agama.

Teknologi Finansial dan Masa Depan Perbankan

Teknologi Finansial dan Masa Depan Perbankan

Teknologi telah mengubah kehidupan kita dan mendisrupsi kemapanan berbagai sektor industri.
Munculnya media daring, buku digital, hingga musik dan film yang bisa diunduh langsung dari internet telah mengguncang industri penerbitan dan musik. Beberapa media cetak dan perusahaan penerbitan yang tak mampu bersaing akhirnya menutup usaha.
Kita juga melihat satu per satu toko kaset, cakram musik (compact disc), dan video (DVD) mulai menghilang dari pertokoan karena sepi peminat. Inilah yang dinamakan disrupsi teknologi.
Di dunia keuangan disrupsi ini juga tak terhindarkan. Gelombang munculnya para pelaku usaha rintisan (start up) di bidang layanan keuangan digital atau yang umum disebut dengan istilah financial technology (fintech) telah menimbulkan waswas dari industri petahana, dalam hal ini perbankan.
Pelaku usaha rintisan di bidang teknologi finansial (tekfin) atau fintech telah mengubah cara masyarakat dalam membayar, mengirim uang, memperoleh pinjaman, hingga berinvestasi.

Buzzer

Buzzer

KORAN TEMPO SABTU, 18 FEBRUARI 2017 | 01:15 WIB
Bisakah kita kembali bertegur sapa seperti yang kita lakukan sebelum pilkada?"
Kalimat itu saya baca di grup WhatsApp (WA) yang sudah lama tak saya buka. Posting-an itu dibuat setelah pencoblosan berakhir. Tentu saya kenal penulis kalimat itu, sahabat saya yang menjadi buzzer calon Gubernur DKI Jakarta. Kesehariannya tak banyak omong, bahkan cende-
rung berkata-kata seperlunya saja. Entah kenapa di grup WA, ia menulis kata-kata kasar untuk orang yang merendahkan calonnya. Kasar pula kalimatnya untuk memojokkan calon lawan. Ia juga mengaku punya akun Twitter dengan nama palsu dan setiap saat mem-posting pujian untuk calon dukungannya. 
"Hahaha... sekarang ente menyerah. Bagi dong bayarannya sebelum kita damai."
Kalimat ini adalah jawabannya. Juga dari teman yang saya kenal, seorang buzzer pula, tentu dari calon yang lain. Dia seorang doktor lulusan luar ne-
geri. Hidupnya pun sudah mapan. Sering saya terhe-
ran-heran kenapa di grup WA dia menulis sedemikian kasar jika ada komentar yang menjelekkan calon dukungannya. Sebagaimana para buzzer yang kehilangan kontrol dalam pilkada DKI Jakarta ini, dia pun setiap menit memuji calon yang didukungnya. Bahkan rela tidak tidur semalaman. Apakah dia mendapat bayaran dan seberapa besar? Kalau membaca komentarnya, yakni "bagi dong bayarannya", saya kira dia dibayar, juga "musuhnya" itu.

Rasionalitas Pemilih Jakarta

OPINI > ARTIKEL > RASIONALITAS PEMILIH JAKARTA

Rasionalitas Pemilih Jakarta

Tak lama setelah lembaga-lembaga hitung cepat menahbiskan kemenangan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat pada 15 Februari lalu, banyak analis yang mengklaim bahwa warga Jakarta sangat rasional. Meski Ahok dihantam isu-isu primordial, warga Jakarta tetap memilihnya karena menilai kinerja calon petahana ini di atas rata-rata.
Ibarat gelas setengah penuh atau setengah kosong, kemenangan Ahok-Djarot dalam putaran pertama ini bisa dibaca dalam dua perspektif yang berbeda. Di tengah tekanan kuat pasca kontroversi Al Maidah dan status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama, perolehan suara pada kisaran 43 persen dan tampil sebagai pemenang di putaran pertama tentu tidak buruk. Artinya, klaim bahwa warga Jakarta rasional menemukan justifikasi empirisnya.
Namun, kemenangan tipis tersebut bisa juga dibaca sebaliknya. Menurut data longitudinal Indikator Politik Indonesia, rata-rata kepuasan publik terhadap Ahok mencapai 73,4 persen. Masih banyak proporsi pemilih yang puas atas kinerja Ahok, tetapi tidak sudi memilihnya. Jika benar warga Jakarta rasional, seharusnya Ahok minimal mengantongi suara 70 persen sesuai dengan proporsi warga yang puas terhadap kinerjanya. Dengan kata lain, perolehan suara ketiga pasangan calon di Jakarta tidak bisa dijelaskan semata-mata oleh faktor rasionalitas.

Konstitusionalisme DPR

KORAN SINDO Edisi 21-02-2017
Konstitusionalisme DPR

Menjadikan hukum sebagai panduan, tuntunan, danarah- supremasi hukum–dalam kehidupan berkebangsaan dan bernegara, menurut sejarahnya, merupakan sebuah temuan mengagumkan. 

Orang agung, karena akal budinyalah, yang melahirkan ihwal agung dan memiliki keagungan. Bukan bandit, melainkan orang agung, mereka yang matabatinnya hidup, danlembut selembutsaljulahyangmenemukan dan menggelorakannya. Orang agung tak mampu menyediakan sedikit pun relung mata batinnya diterpa keangkuhan nafsu mengangkangi hukum, politik, dan ekonomi. 

Bukan tidak mengetahui tiga hal tersebut sebagai permata dunia materiil, tetapi keindahan dan kemuliaan akal budinya dalam samudra mata batinnya mengokohkan dan menggelorakan mereka dalam rindu ini. Terus terang, rindu ini berkelas. 

Hakikatnya 

Orang agung akan membaca Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) yang telah diubah sebanyak empat kali oleh MPR 1999-2001, dengan bacaan mata batin, filosofis. Bacaan jenis ini mengantarkannya ke dalam dimensi-dimensi otentik kehendak memuliakan manusia dalam teks itu. Di dasar teks itulah letak pengagungan atas kemanusiaan otentik. Keagungan dan kemuliaan manusia, makhluk penerima amanat, yang tak mampu diterima oleh gunung dan lainnya, inti otentik gagasan negara hukum. 

Nilai-nilai itulah yang disebut nilai intrinsik hukum oleh almarhum Pak Tandyo Wignjosoebroto, guru besar yang cemerlang pemikiran sosiologi hukum dari Universitas Airlangga Surabaya ini, senafas dengan konsep metavalue P.S Atyah, ahli hukum Inggris abad ke-20 ini. Terdemonstrasinya nilai-nilai itu, dalam sejarahnya yang universal di Barat juga timur dahulu kala, merupakan reaksi atas tindak-tanduk tak terdidik, angkuh, serakah, kejam, semaumaunya, dan lain yang sebangsanya oleh penguasa. 

Menakar Putaran Kedua

OPINI > ARTIKEL > MENAKAR PUTARAN KEDUA
Berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei dan hasil real count yang ditayangkan laman Komisi Pemilihan Umum, putaran kedua pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017 tinggal menunggu penghitungan dan pengumuman resmi saja.
Tidak ada satu pasangan calon pun yang berhasil memperoleh suara lebih dari 50 persen. Pasangan calon nomor urut satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, hampir pasti berada di posisi ketiga. Putaran kedua akan diikuti pasangan calon nomor urut dua, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan pasangan calon nomor urut tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Perhatian kini tertuju pada dinamika kompetisi putaran kedua. Pertanyaan utamanya ada dua: ke manakah partai-partai pendukung Agus-Sylvi akan mengalihkan dukungannya dan ke manakah pemilih pasangan calon ini akan berlabuh? Dua pertanyaan ini disebut utama dengan asumsi pemilih pasangan calon nomor urut dua dan tiga akan tetap solid mendukung mereka di putaran kedua.
Jika melihat karakteristik pemilih dan partai pendukung pasangan calon nomor urut satu, pasangan calon nomor urut tiga memang punya peluang lebih besar untuk memperoleh limpahan suara karena karakteristik pemilihnya mirip. Namun, putaran kedua baru akan berlangsung sekitar dua bulan lagi, yakni 19 April 2017. Banyak hal bisa terjadi selama dua bulan tersebut. Sejumlah kejutan bisa saja muncul.
Maka, untuk sementara kita harus mengatakan putaran kedua akan berlangsung sangat ketat, bahkan sengit. Kedua pasangan calon memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Di atas kertas, kedua hal ini bisa membuat pertarungan pasangan calon nomor urut dua melawan pasangan calon nomor urut tiga berimbang, seperti pada putaran pertama.

Tekanan Freeport di Balik Mundurnya Chappy

KORAN SINDO, Edisi 21-02-2017
Mundurnya Chappy Hakim sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI), anak perusahaan McMoran yang berbasis di Amerika Serikat, sangat mengentak dan mengejutkan bagi khalayak. 

Pasalnya, Chappy menjabat Presiden Direktur PT FI belum genap empat bulan, sejak dilantik secara resmi pada November 2016. Wajar kalau kemudian menimbulkan berbagai spekulasi di balik mundurnya Chappy. Terlebih lagi, Chappy dan PT FI tidak menjelaskan alasan pengunduran diri tersebut. Berbeda dengan Maroef Sjamsudin, Presiden Direktur PT FI sebelumnya, Chappy Hakim tidak secara eksplisit mengungkapkan alasan mendasar pengunduran dirinya. Chappy hanya mengemukakan alasan pengunduran diri secara normatif. 

Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pengunduran diri Chappy Hakim? Minggu lalu memang sempat terjadi ”insiden main tunjuk” yang dilakukan oleh Chappy Hakim terhadap anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo. Namun, Chappy sudah menyadari kekeliruannya, lalu minta maaf kepada Mukhtar Tompo atas insiden itu. Mukhtar Tompo pun telah memaafkannya dan tidak diperpanjang lagi. Beberapa pihak mengaitkan insiden tersebut sebagai alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri. 

Kalau benar insiden main tunjuk menjadi alas an bagi Chappy untuk mengundurkan diri, barangkali alasan itu tidak terlalu signifikan. Tentunya ada alasan lain yang lebih mendasar di balik pengunduran diri tersebut. Salah satunya kemungkinan terusiknya rasa kebangsaanChappy atas aksi main tekan dan adu domba. Tidak hanya main tekan terhadap pemerintah Indonesia, juga tindakan Freeport sudah mengarah pada aksi ”adu domba” antara karyawan Freeport dan pemerintah Indonesia. 

Kalau tetap menjadi Chief Executive Officer PT FI, Chappy bisa dituduh terlibat dalam aksi tekan dan adu domba. Pengunduran Chappy barangkali sebagai exit strategy untuk menghindari tuduhan keterlibatannya dalam aksi main tekan dan adu domba. Chappy memang kembali sebagai penasihat, tetapi peran Chappy sebatas memberikan nasihat saja.