Tuesday, September 8, 2015

Empat Jurus Mengatasi Empat Problem Krusial


Analisis Ekonomi Enny Sri Hartati

Pada 5 Agustus 2015, banyak pihak cukup terkejut dengan rilis dari Badan Pusat Statistik. Optimisme masyarakat terhadap perbaikan kinerja ekonomi pada triwulan II-2015 pupus sudah. Padahal, banyak kalangan meyakini, kendati pertumbuhan triwulan II-2015 sulit mencapai 5 persen, setidaknya akan lebih baik daripada triwulan I-2015.
Minimal ada empat alasan potensi perbaikan ekonomi pada triwulan II-2015. Pertama, anggaran pemerintah sudah selesai dibahas pada akhir April 2015 dan pemerintah sudah berjanji akan mempercepat anggaran sejak Mei 2015.

Kedua, jaminan stabilisasi harga. Sejak awal bulan Ramadhan, pemerintah menyatakan, pasokan kebutuhan pokok aman dan akan menjamin stabilitas harga. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Pemerintah pun mengklaim upaya itu cukup berhasil karena inflasi pada bulan Juni 2015 hanya 0,54 persen.
Ketiga, bulan Ramadhan, yang sepanjang sejarah selalu menjadi momentum peningkatan konsumsi masyarakat. Keempat, peningkatan arus investasi. Pemerintah optimistis program pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) akan meningkatkan daya tarik investasi ke Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merilis realisasi investasi triwulan II-2015 naik 16,3 persen atau mencapai Rp 135,1 triliun. Bahkan, selama semester I-2015, realisasi investasi mencapai Rp 259,7 triliun.
Namun, pertumbuhan ekonomi triwulan II-2015 justru semakin jeblok karena hanya mampu tumbuh 4,67 persen dalam setahun atau 3,78 persen secara triwulanan. Empat potensi yang mestinya dapat menggerakkan ekonomi seolah hilang tersapu angin.
Penyebabnya, pertama, mandulnya peran pemerintah. Realisasi penyerapan anggaran pemerintah hingga akhir Juni 2015 masih di bawah 30 persen. Akibatnya, kontribusi pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 2,28 persen dengan porsi yang berkurang menjadi 7,9 persen. Padahal, secara historis, rata-rata pertumbuhan konsumsi pemerintah selalu di atas 5 persen dengan porsi 8-9 persen. Hal ini menunjukkan tidak hanya terjadi keterlambatan penyerapan anggaran, tetapi aparat birokrasi benar-benar tidur. Belanja yang digelontorkan tidak memiliki efektivitas sebagai stimulus perekonomian.
Kedua, tekanan harga kebutuhan pokok. Inflasi sepanjang April-Juni memang cukup rendah. Pemerintah terbuai, seolah-olah stabilitas perekonomian terkendali. Padahal, inflasi bahan makanan pada Juni 2015 sebesar 1,6 persen. Pemerintah lupa, tingginya inflasi kebutuhan pokok pasti berimplikasi menggerus daya beli masyarakat. Pendapatan masyarakat akan terkuras untuk memenuhi kebutuhan pokok sehingga tidak tersisa dana untuk mengonsumsi produk-produk industri.
Ketiga, terkurasnya daya beli masyarakat. Sekalipun pertengahan Juli sudah akan memasuki hari raya Lebaran, sebagian besar masyarakat sudah tidak terpikir lagi untuk membeli baju, apalagi produk industri lain di luar kebutuhan pokok.
Keempat, sektor riil macet. Sinyal lampu kuning dan alarm tanda peringatan sebenarnya mulai menyala sejak triwulan I-2015, dengan sektor industri manufaktur yang hanya tumbuh 3,8 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, pertumbuhan kredit pembiayaan perbankan juga terus turun. Artinya, secara keseluruhan investasi mandek. Proses produksi sektor riil tidak mampu lagi berlangsung, sebagai dampak rendahnya daya beli masyarakat.
Di tengah jeritan pelaku usaha dan masyarakat, pemerintah memberikan optimisme bahwa pertumbuhan ekonomi akan kembali menggeliat pada triwulan III dan triwulan IV-2015. Persoalannya, pertama, sampai dengan akhir Juli 2015, penyerapan anggaran baru sekitar 43 persen. Realisasi penerimaan negara jauh di bawah target. Kondisi ini tentu menimbulkan ekspektasi negatif terhadap kemampuan dan keberlangsungan fiskal pemerintah.
Kedua, tidak ada terobosan deregulasi kebijakan. Upaya konkret guna memitigasi pelambatan kinerja sektor riil dan mengerem ancaman pemutusan hubungan kerja massal bisa dikatakan tidak ada. Pengusaha diminta berjibaku menyelesaikan masalah sendiri. Ketiga, di samping pelambatan ekonomi global, potensi kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Fed berimplikasi terhadap gejolak nilai tukar dan stabilitas sektor keuangan Indonesia.
Dengan tantangan yang cukup kompleks, minimal dibutuhkan empat pertolongan darurat, terutama untuk mendorong kegiatan produksi dan konsumsi masyarakat. Pertama, mengembalikan daya beli masyarakat.
Kedua, anggaran pemerintah harus difokuskan untuk memberikan stimulus kepada sektor riil, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ketiga, mendorong investasi yang berdampak luas. Pemerintah harus memberikan insentif terhadap investasi yang memiliki dampak berganda lebih besar, yang bisa mendorong tumbuhnya sektor lain.
Keempat, mengembalikan kredibilitas pemerintah. Jika kebijakan pemerintah konsisten dan terkoordinasi dengan baik, keyakinan para pelaku usaha akan kembali tumbuh. Pada akhirnya, ekspektasi dan indeks tendensi bisnis di Indonesia bisa kembali meningkat.
Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2015, di halaman 15 dengan judul "Empat Jurus Mengatasi Empat Problem Krusial".
  • 0
  • 62
  • 0

No comments:

Post a Comment