Kamis 03 Sep 2015, 10:36 WIB
Kolom
Enam Biang Kerok Perlambatan Ekonomi
Tidak dapat dimungkiri, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi sektor konsumsi, yaitu sekitar 62,62 persen. Sampai triwulan II 2015, berdasarkan harga konstan 2010, porsi peran konsumsi rumah tangga masih sangat dominan, 54,67 persen, pemerintah 7,9 persen, dan lembaga nonprofit 1,08 persen. Sementara, porsi investasi yang tercermin dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 31,69 persen, ekspor 22,56 persen, dan impor 21,13 persen, sehingga porsi net ekspor sebesar 1,43 persen.
Dari data tersebut, sangat gamblang untuk mendeteksi sumber utama penyakit yang menjadi "biang kerok" perlambatan ekonomi.
Pertama, konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor terbesar, biasanya tumbuh pada kisaran 5,5 persen, kini melorot menjadi 4,9 persen. Kedua, pemerintah dari 8-9 persen tinggal 7,9 persen. Ketiga, konsumsi lembaga nonprofit minus 7,91 persen. Keempat, investasi, di samping porsinya menurun, juga hanya tumbuh 3,55 persen. Kelima, ekspor menurun, minus 0,13 persen. Dan keenam, impor bahan baku mengalami kontraksi cukup besar, yaitu minus 6,85 persen, sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan.
Dengan mencermati data agregatif tersebut, semakin jelas memetakan sumber persoalan. Kondisi global dan gonjang-ganjing depresiasi rupiah mempengaruhi secara langsung pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui variabel ekspor, impor, dan investasi asing. Namun data jelas menunjukkan bahwa porsi ekspor hanya sebesar 22,56 persen dan porsi impor sebesar 21,13 persen.
Sementara, porsi kontribusi investasi asing dalam pendapatan nasional juga relatif kecil karena total porsi investasi melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hanya sekitar 20 persen. Dengan struktur dan komposisi perekonomian Indonesia yang seperti ini, bagaimana mungkin perlambatan ekonomi pada triwulan I dan triwulan II 2015 serta-merta mengkambinghitamkan faktor eksternal?
Bagaimana pun faktor penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Harus dicatat bahwa porsi investasi terbesar dalam perekonomian adalah yang dilakukan oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), bukan investasi asing. Artinya, untuk mencari jalan keluar dan mengobati sumber perlambatan ekonomi, harus fokus pada sumber penyebab utama ini.
Penyebab utama anjloknya daya beli masyarakat dapat diidentifikasi. Pertama, instabilitas harga pangan. Selama Januari-Juli 2015, akumulasi inflasi m-t-m memang hanya mencapai 1,90 persen. Namun inflasi bahan makanan menjadi drakula pemangsa daya beli masyarakat. Tingginya inflasi bahan makanan tentu menyedot dan menghabisi porsi pendapatan masyarakat untuk dapat menyisihkan porsi belanja barang-barang non-makanan.
Inflasi bahan makanan sejak Mei-Juli berturut-turut sebesar 1,52 persen, 1,74 persen, dan 2,13 persen. Padahal, pada April dan Mei, petani sedang panen raya, tapi harga beras justru naik. Akibatnya, secara tahunan, pada Juli inflasi bahan makanan (volatile food) telah mencapai 8,28 persen (yoy). Bahkan, pasca-Lebaran, masyarakat masih dihadapkan gejolak harga pangan yang semakin tidak rasional. Ironisnya, di balik inflasi bahan makanan yang tinggi, nilai tukar petani (NTP) justru menurun.
Kedua, upah riil buruh menurun. Sekalipun upah nominal buruh mengalami peningkatan akibat penyesuaian upah minimum provinsi (UMP), upah riil mengalami penurunan. Upah riil buruh tani Januari 2014 sebesar Rp 39.383 per hari, turun menjadi Rp 37.887 per hari pada Juli 2015. Sebelumnya, upah riil buruh tani tumbuh 6,6 persen pada Maret 2014, turun menjadi 4,5 persen pada Maret 2015. Demikian juga upah buruh industri, pada triwulan I 2015 mengalami penurunan secara riil sebesar 3,5 persen (qtq). Penurunan upah riil terutama terjadi pada industri padat karya, seperti industri makanan, tekstil, percetakan, karet, plastik, dan industri lainnya.
Ketiga, ketiadaan program bantuan sosial yang efektif. Kebijakan pemerintah dalam menaikkan BBM tidak disertai mitigasi risiko terhadap dampaknya kepada masyarakat miskin dan rentan miskin. Program jaring pengamanan sosial yang selalu menyertai setiap kebijakan penaikan BBM tidak dipersiapkan terlebih dahulu. Bahkan beberapa skema program jaminan sosial justru mengalami penurunan, seperti program raskin, termasuk jumlah dana kompensasi penaikan harga BBM. Program yang populer di era kampanye, Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, belum berjalan efektif dan tepat sasaran.
Menurunnya daya beli masyarakat tentu berdampak langsung pada penurunan produktivitas nasional, utamanya penurunan permintaan masyarakat terhadap produk industri pengolahan. Dampaknya, pertumbuhan kinerja sektor manufaktur anjlok, pada triwulan I 2015 hanya tumbuh 3,81 persen. Banyak industri, terutama usaha kecil dan menengah, mengalami kesulitan kelangsungan usaha. Akibatnya, banyak penyaluran kredit yang menurun dan hal ini diperparah dengan fakta non-performing loan (NPL) juga meningkat.
Jurus Jitu
Belajar dari krisis ekonomi 2007/2008, sektor UMKM merupakan unit usaha terbesar (99 persen) dalam struktur perekonomian Indonesia yang relatif tidak rentan terhadap krisis moneter karena relatif memiliki lokal konten tinggi dan tidak terlalu tergantung pada pembiayaan perbankan. Sayang, saat ini sektor UMKM justru pingsan dan mulai terkapar karena rendahnya daya beli masyarakat.
Berpijak dari pengalaman krisis 2008, strategi mengantisipasi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global ini, maka jurus jitunya adalah kembali mengoptimalkan potensi sektor riil domestik, yaitu segera menggeliatkan UMKM.
Pertama, memperluas dan memperlancar akses pasar yang cenderung sangat oligopolistis.
Kedua, meningkatkan akses modal bagi UMKM. Dengan lebih mengalirkan kredit, terutama ke sektor pertanian (dalam arti luas), perdagangan, ekonomi kreatif, industri padat karya, dan lan lain, akan dapat menciptakan geliat kegiatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan dapat menjaga daya beli. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.
Ketiga, komitmen meningkatkan dana transfer daerah dan dana desa yang disertai dengan perbaikan sistem dan transparansi pengelolaan alokasi anggaran. Hal ini akan sangat efektif menggenjot dan menumbuhkan berbagai UMKM yang produktif dan berdaya saing sesuai target dari Nawa Cita pemerintah.
BIODATA:
Nama: Enny Sri Hartati/Direktur INDEF
Tempat/Tanggal Lahir: Karanganyar, 27 Juli 1971
Pendidikan:
• Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Konsentrasi Ekonomi Pembangunan, IPB, 2012
• Magister Sains dari Program Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB, 2004
• Sarjana Ekonomi (SE) dari Fakultas Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro, Semarang, 1995
Karier:
• Direktur INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Jakarta, sejak 2011
• Dosen FE Universitas Trisakti, Jakarta, 1996-2011
• Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Jakarta, 1997-2011
• Tenaga ahli Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), 2007-2010
Karya Tulis:
• • Dampak Perubahan Kebijakan Ekonomi terhadap Struktur Biaya Industri, 2014
• • Dampak Pergerakan Nilai Tukar Terhadap Inflasi: Pendekatan Exchange Rate Pass Through, Tesis, 2004
• • Quo Vadis Restrukturisasi Perbankan: Menjelang Pembubaran BPPN, Tim INDEF, 2003
• • Food Security and Market in Indonesia, Southeast Asian Council for Food Security and Fair Trade, Tim INDEF, 2001
===
Tulisan selengkapnya bisa dibaca gratis di edisi terbaru Majalah Detik (Edisi 196, 31 Agustus 2015). Edisi ini mengupas tuntas "Dubes Titipan". Juga ikuti artikel lainnya yang tidak kalah menarik, seperti rubrik Nasional "Dilawan, Ahok Tetap Jalan", Internasional "Dua Cinta Mati di Rabu Kelabu", Ekonomi "Krisis 1998 Berulang Kembali?", Gaya Hidup "Ramai-ramai Bisnis Pahala", rubrik Seni Hiburan dan review Film "Jenderal Soedirman", serta masih banyak artikel menarik lainnya. Untuk aplikasinya bisa di-download di apps.detik.com dan versi Pdf bisa di-download di www.majalah.detik.com. Gratis, selamat menikmati!!
No comments:
Post a Comment