Kurnia JR
Kompas Cetak |
Kahlil Gibran diundang ke
Kongres Arab I di Paris pada 1913 yang membahas soal pembebasan
negeri-negeri Arab dari penjajahan Turki Utsmani. Sang penyair menolak.
Gibran
patriot sejati yang sepenuh hati memperjuangkan kemerdekaan negerinya
dari penjajahan asing dan kebengisan hukum feodal bangsanya sendiri atas
rakyat jelata. Bersama para sastrawan Arab yang bermukim di Boston dan
New York, AS, dia menerbitkan puisi dan esai yang memicu revolusi sastra
Arab dan menyuarakan sikap politiknya dari AS. Ia juga menggalang dana
guna menyokong rakyat yang tertindas di tanah airnya. Sebagai warga
diaspora, pelukis-penyair mistik ini seumur hidupnya merindukan reruntuk
Biara Mar Sarkis di Wadi Qadisha, Lembah Suci, di desa kelahiran di
kaki Gunung Cedar.
Lalu, kenapa dia menolak hadir dalam forum
penting itu? Alasannya lugas: para penanggung ongkos perjalanannya ke
Paris menitipkan opini politik yang tak dia setujui. Di ajang perang
opini, pemimpin seniman-intelektual Suriah di AS ini menolak dijadikan
kuda troya.
Bencana sektarianisme
Gibran
telah merevolusi sastra Arab yang stagnan hingga menyentuh awal abad
ke-20 itu. Isi bertaklid-mengabdi-kepada bentuk sehingga yang mewujud
dalam puisi kehampaan semata. Penyair yang sadar hanya bisa menghela
napas: merasa sia-sia.
Selain menyumbang entitas unik sastra
Inggris dan Amerika, dengan gairah "api biru" ia menuangkan isi segar ke
cawan baru sastra Arab dengan napas dan suara kritis aktual. Tak pelak
lagi, sendi-sendi kehidupan individual, sosial, politik, dan penguasa
feodal di negerinya menderita tikaman belati kritik radikal, terutama
otoritas politik dan agama korup yang hidup mewah di atas derita umat
dan awam.
Lantaran puisi dan esai-esainya itulah Gibran dihujat di
negerinya. Di depan Golden Circle, pada 1911, ia menyatakan bahwa hanya
revolusi jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang berdaulat. Ia
menyebut sikap teman-teman seperjuangan sesama orang Suriah yang memilih
"keamanan" dan "kesabaran" sebagai "racun ketimuran".
Ia setia
mengingatkan bangsanya akan bahaya sektarianisme yang telah memicu
pembantaian besar-besaran di tanah kelahiran. Pada 1910, di London,
Gibran dan sahabatnya, Amin Rihani, membuat sketsa gedung opera di
Beirut dengan dua kubah pelambang rekonsiliasi Islam dan Kristen. Dia
juga menolak kebijakan intervensi Barat yang berpotensi mendorong
perpecahan bangsa dan tanah air. Ramalannya terbukti. Dia meminta bangsa
Arab yang tertindas tidak minta bantuan negara-negara Eropa.
Dalam
pandangannya, para penguasa Eropa dengan sinis mendorong perang saudara
di bumi Suriah dan dengan serakah bersaing menguasai barang rampasan
dari Kerajaan Utsmani yang terpecah belah. Ia pun tak menyerukan
reformasi yang ia yakini hanya memberi kemerdekaan dan otonomi palsu
kepada Arab. Akibatnya, ia diserang hujatan dan kontra opini.
Kemudian,
yang dicemaskan sang penyair terjadi. Di tangan Barat, Suriah Raya
dipecah belah jadi Suriah, Lebanon, Jordania, dan Palestina (sebagian
diklaim Israel). Diselingi masa damai sejenak, rakyat dari bangsa yang
dulu megah dengan hikayat para rasul kini jadi pengungsi yang nestapa.
Suriah
Raya potret negeri kita hari ini. Tengoklah Sumatera, Nias, Kalimantan,
Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali, Sumbawa, Flores, Papua, dan pulau-pulau
kecil nan tak tepermanaijumlah dan keelokannya sebagai
kekayaan. Dari Sabang sampai Merauke bukanlah sekadar senandung dari
lagu nostalgia, melainkan kenyataan aktual geopolitik kita yang
potensinya lebih besar daripada sekadar Majapahit dan Sriwijaya.
Anugerah ini menuntut kewaspadaan dan penjagaan ketat.
Memetik
pelajaran dari "Sang Nabi" dari Lebanon tentang pahitnya bencana dari
sektarianisme, para penyair, prosais, penulis fiksi, satire, repertoar
musik, dan drama; aktor, musisi, seniman panggung, orator budaya, dan
segenap pengabdi di kaki Dewi Kesenian layak berjuang untuk menemukan
relevansi eksistensi mereka dengan fenomena aktual bangsa kita yang
religius.
Ruang tak bertuan
Religiositas
cenderung damai, tetapi bisa jadi militan manakala digosok terlalu kuat
dan bergesekan dengan entitas yang dianggap menodai citra agama. Di
sini ada ruang tak bertuan tempat para petualang politik bermain. Jangan
dibiarkan khalayak rentan terhadap pengaruh alkoholik dari tingkah
akrobatik politikus bayaran dan aparat korup yang jadi agen provokasi
sektarian. Saudara seagama diadu satu sama lain dengan laknat takfiri, rumah ibadah tetangga dibakar.
Minim
program penggalian nilai-nilai budaya tradisi, kita pun kerap terancam
kecenderungan bersikap lemah untuk menyerahkan kebijakan budaya ke
pelukan kultur Barat yang sebagian dekaden. Dalam kenyataannya, justru
yang dekaden itu yang kerap dominan, pesat, dan besar pengaruhnya atas
sendi-sendi kehidupan bangsa seluruhnya.
Di balik gemerlap
panggung seni, berita gaya hidup, dan aksi segelintir altruis menawan
dari negeri antah-berantah, di dunia maya yang dibanjiri gagasan berlian
hingga sampah berlumur fitnah dan sinisme, berpasang-pasang mata
demonis mengintai. Dari balik tabir, mereka menggerakkan kuda troya dari
lapisan rakyat jelata hingga kelas menengah terdidik buat menebar
kebencian horizontal-vertikal hingga ke pucuk struktur pemerintahan yang
sedang bekerja.
Dari balik dinding warna-warni citra budaya
kontemporer, para pengintai siap mengerkah dan mencincang negeri kita
hingga tercerai-berai. Kita terlalu kaya dengan entitas budaya, sumber
alam, barang tambang dan mineral, serta keanekaragaman hayati untuk
diabaikan begitu saja oleh korporasi-korporasi multinasional raksasa
yang berkomplot dengan pialang ideologi.
Kita tengah menata
kembali nilai kepribadian, moral birokrasi, harkat dan martabat
nasional, supremasi hukum, seraya mengevaluasi mekanisme pemanfaatan
kekayaan alam. Kerja besar ini menuntut akal sehat, pikiran jernih
tanpa prasangka, toleransi dan kebersatuan, harga diri dan kebanggaan
nasional. Untuk itu, Ibu Pertiwi butuh para abdi kebudayaan yang
waskita, arif, dan teguh sebagai juru ingat bagi putra-putrinya
sepanjang perjalanan panjang ini.
Kurnia JR
Sastrawan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Pelajaran dari Gibran".
No comments:
Post a Comment