Fachry Ali
Kompas Cetak |
Pertanyaan penting yang
melatarbelakangi tulisan ini adalah: dalam situasi perekonomian global
di bawah cerpu kapitalisme liberal yang "kian tak stabil", dapatkah
negara menawarkan optimisme dengan "model pembangunan pasca elite" yang
berpengaruh konstruktif terhadap penguatan demokrasi?
Frasa "kapitalisme yang kian tak stabil" ini terinspirasi gugatan Charles Moore, mantan editor The Daily Telegraph
dan penulis biografi Margaret Thatcher (Perdana Menteri Inggris,
1979-1990), terhadap model pembangunan kapitalisme liberal yang
sejatinya elitis (elite-biased). Sifat elitis ini terkandung pada pertanyaan Moore dalam tulisannya "The Middle Class Squeeze" (The Wall Street Journal,
28/9/2015): "Apa gunanya kapitalisme jika keuntungannya diperuntukkan
kepada segelintir dan risikonya ditanggung banyak kalangan?" Apa, sih,
hebatnya globalisasi jika itu berarti barang-barang dan jasa yang Anda
tawarkan dijual murah melalui persaingan antar-bangsa dan jutaan orang
baru bisa datang ke negerimu, mengambil lapangan kerjamu, dan menikmati
tunjangan negara (welfare benefits)?
Dan, gugatan Moore
berlanjut: "Jangankan merasa beruntung menjadi orang biasa dari sebuah
negeri bebas, banyak dari kita mulai merasa seperti orang-orang yang
mudah diperdaya (suckers). Harapan, hal tak terpisahkan dari kemajuan, memudar dan berganti kekecewaan, bahkan kegetiran (bitterness). Selama ini dihayati bahwa peluang senantiasa membawa harga ketakamanan (insecurity), tetapi apa yang terjadi jika ketakamanan itu meningkat, sementara peluang menyusut?"
Dalam
penafsiran saya, ketidakstabilan sistem global elitis ini memberi tanda
potensi gerak ke arah tatanan "pasca kapitalisme liberal" bagi lahirnya
"model pembangunan pasca elite". Gejala ini, dalam proses politik
Eropa, menurut Moore, adalah terpilihnya Jeremy Corbyn (66) sebagai
pemimpin Partai Buruh Inggris. Beberapa bulan lalu, Corbyn adalah tokoh
paling tak layak pilih (the most unelectable person). Dikenal
sebagai veteran politik kiri yang garang, bermimpi berakhirnya
kapitalisme telah menjadi daya tarik Corbyn. Bagi Moore, ini tak hanya
mengulang pasangnya partai sayap kiri Syriza di Yunani,
demokrasi-sosialis Berni Sanders di AS, dan anti pengetatan belanja
negara (antiausterity) Nasionalis Skotlandia, tetapi juga Front
Nasional Perancis di bawah Maeri Le Pen, Fidez di bawah Viktor Urban di
Hongaria, dan the UK Independence Party (UKIP) di Inggris; sesuatu yang
fundamental di dalam sistem ekonomi kapitalis liberal.
Jokowi dan warisan sistem ekonomi liberal
Mengonseptualisasikan kemunculan Jokowi musim kampanye Pilpres 2014, saya memperkenalkan frasa "pemimpin pasca elite" (post-elite leader) dalam beberapa tulisan di Kompas, The Jakarta Post, dan Gatra.
Walau "berwajah rakyat" dan tanpa mengontrol satu pun partai politik,
Jokowi meretas sejarah politik baru Indonesia: mengalahkan para raksasa
Jakarta, seperti Megawati Soekarnoputri, konglomerat-cum-pemimpin Golkar Aburizal Bakrie, jenderal-cum-pengusaha-pemimpin Partai Gerindra Prabowo Subianto, jenderal-cum-ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pramono Edhie Wibowo; konglomerat media massa-cum- Menteri BUMN Dahlan Iskan, dan para elite aspiran presiden lainnya.
Apakah
kemenangan "marhaen" Jokowi ini pertanda penolakan rakyat atas sistem
kapitalisme liberal seperti digambarkan Moore? Mengambil risiko "salah",
saya menjawab "tidak". Kemunculan Jokowi lebih mengungkapkan
"eksperimen politik rakyat" mendudukkan kalangan sendiri (rakyat)
memimpin bangsa ini, tanpa, secara serius, mempersoalkan sistem ekonomi
yang berlaku.
Lepas dari "retorika" Pasal 33 UUD 1945, dalam
kenyataannya perekonomian Indonesia di bawah Jokowi adalah sistem
kapitalisme liberal warisan "tekanan" IMF masa Reformasi 1998 dan
setelahnya. Tesis masa itu, krisis finansial dan ekonomi 1997-1998 itu
adalah akibat penyimpangan sistem dan kebijakan ekonomi negara-negara
Asia Pasifik dari sistem dan praktik kapitalisme global. Maka, seperti
tertera dalam buku Ginandjar Kartasasmita dan Joseph J Stern, Reinventing Indonesia
(2015), usaha pemulihannya adalah tindakan sistematis dan "berdisiplin
tinggi" mengikuti jalan aktor-aktor kapitalisme global melalui
perangkat-perangkat hukum dan pendirian lembaga-lembaga bersifat anti
monopoli, kepailitan, code of conduct, dan pengetatan belanja negara yang diikuti dengan kebijakan uang ketat serta privatisasi badan usaha negara.
Semua ini bertujuan membentuk kelembagaan, hukum, dan code of conduct domestik sesuai standar praktik dan laku sistem ekonomi global. Ringkasnya, kebijakan ekonomi itu bersifat outward looking;
yakni, sembari mengurangi orientasi domestik, seluruh sumber daya
ekonomi riil dan finansial harus "disandarkan" pada kecenderungan
mekanisme pasar global. Maka, di samping ekspor komoditas harus dipacu,
sistem finansial harus cukup terbuka menampung arus modal (capital inflows)
asing ke dalam perekonomian Indonesia melalui mekanisme pasar modal.
Hasilnya, Indonesia pasca Reformasi kian menyatu dalam sistem ekonomi
global. Di sini, eksistensi dan legitimasi politik sebuah negara, dengan
demikian, juga "tersandarkan" pada konstruktif atau destruktifnya
kinerja perekonomian global.
Inilah yang terwariskan kepada
Jokowi. Sayangnya, justru di masanya, kinerja ekonomi global tak
terlihat konstruktif. "Jangkar perekonomian global", yaitu AS, Tiongkok,
dan Jepang, serta negara zona euro, kian terbelit persoalan tersendiri.
Akibatnya, walau cukup terbuka lebar, pasar finansial senantiasa berada
dalam ancaman pelarian modal karena tergantung pada kemungkinan The Fed
mengetatkan kebijakan moneternya.
Ini menimbulkan kontradiksi
struktural.
Sementara devisa tergerus hingga 101,7 miliar dollar
AS per September dari 120 miliar dollar AS awal 2015 (untuk menstabilkan
rupiah, membiayai impor, penurunan pendapatan ekspor akibat kelesuan
permintaan Tiongkok yang melambat ekonominya dan resesi
berkepanjangan), pada saat yang sama suku bunga perbankan harus
dinaikkan untuk mencegah inflasi. Kelangkaan likuiditas tak
terhindarkan, berbuntut pada gejala demanufakturisasi. Pengangguran yang
ditelorkannya mendorong penurunan daya beli yang memperparah kelangkaan
modal dan menurunnya investasi swasta domestik. Ujungnya, potensi
kontraksi pertumbuhan.
Dalam konteks sirkulasi kepemimpinan
politik, kemunculan Jokowi memang bersifat "pasca elite". Namun, di
dalam sistem ekonomi, negara di bawah Jokowi secara struktural masih
berada dalam lingkup sistem (dan logika) kapitalisme liberal bersifat
elitis. Negara, secara tak otonom, terpaksa, seperti terlihat dewasa
ini, harus terus-menerus menyesuaikan diri.
Dalam situasi jangkar
ekonomi global tak berkinerja, apakah negara mampu membangun optimisme?
Jawabannya: ada. Pengeluaran pemerintah, dipadu kinerja BUMN yang
produktif, sedikit banyak memberikan pengharapan. Bahkan, dari mulut
Jokowi sendiri keluar perintah pelonggaran syarat penggelontoran dan
penurunan suku bunga kredit usaha rakyat tahun ini dan menaikkan
alokasinya dari Rp 30 triliun menjadi Rp 90 triliun pada 2016 (Kompas, 6/10/2015). Namun, apa ada landasan kuat yang mendorong lahirnya model pembangunan pasca elite?
Korporatisasi BUMR
Menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat gagasan "begawan manajemen" dan mantan menteri BUMN Tanri Abeng. Dalam bukunya BUMR: Badan Usaha Milik Rakyat,
diterbitkan Kompas-Gramedia (2015), Tanri membuka terobosan baru yang
berpotensi membawa Indonesia ke model pembangunan "pasca ekonomi
liberal". Secara harfiah, BUMR adalah badan usaha yang dianggotai rakyat
dalam bentuk korporasi. Namun, secara konseptual, proses korporatisasi
badan usaha ini adalah membangunkan "raksasa ekonomi" secara tak
berpreseden. Dengan data Kementerian Koperasi dan UKM 2012 saja, Tanri
memperlihatkan terdapat 56.534.592 unit usaha dalam skala ini dengan
daya serap tenaga kerja langsung 107.657.509 orang atau 97,2 persen
dari seluruh angkatan kerja. Angka ini tampak raksasa di hadapan usaha
besar yang hanya 4.968 unit dengan daya serap tenaga kerja hanya
mencapai 3.150.645 orang.
Mengutip studi BS Kusmuljono, Tanri
menyatakan "raksasa ekonomi" ini akan tetap "tertidur" karena injeksi
kredit dari sistem yang berlaku selama ini tak tepat. Selain karena
sistem pendanaan terlalu terfragmentasi, para pejabat negara, terutama
tingkat provinsi/kota/kabupaten ke bawah, berada dalam posisi mismatch
(tak tersambung) untuk membangunkan "raksasa" ini. Karena itu, semacam
"politik-ekonomi baru" harus digelar; yaitu tindakan memobilisasi
seluruh sumber daya yang tersedia untuk membangunkan kinerja "raksasa
ekonomi" itu dengan proses korporatisasi UKM, menggerakkan aparat
pemerintah provinsi/kota/kabupaten hingga kecamatan dan desa, serta
menciptakan sistem finansial inklusif.
Korporatisasi adalah
pembentukan badan hukum usaha rakyat dalam bentuk BUMR. Ini, tulis
Tanri, "adalah solusi terhadap kelemahan struktural koperasi, usaha
kecil, dan mikro untuk menjadi lembaga pelaku ekonomi yang memiliki
posisi sejajar dengan badan-badan usaha lain." Di bawah manajemen modern
yang efektif, dianggotai 56.534.592 unit usaha, didukung 107.657.509
pekerja (lebih besar dari 75 juta penduduk Thailand atau 90 juta
penduduk Filipina), BUMR ini akan jadi kekuatan bisnis tak termanai dan
memaksa badan-badan usaha milik swasta (BUMS), BUMN, bahkan badan usaha
swasta milik asing (BUSMA) bekerja sama. Di samping qua jumlah
anggota BUMR itu telah menjadi pasar tersendiri, artikulasi potensi
bisnis di bawah manajemen modern berpotensi melahirkan kekuatan ekonomi
tak terbayangkan.
Menggerakkan aparat pemerintah adalah tindakan
edukatif atas pejabat-pejabat provinsi/kota/kabupaten hingga tingkat
bawah bukan saja untuk mengenali potensi ekonomi BUMR pada wilayah
yurisdiksi masing-masing, melainkan juga memberikan fasilitas birokrasi
dan politik bagi perkembangannya. Geliat BUMR akan mendorong
perkembangan ekonomi konstruktif di setiap daerah/pemerintahan. Kerja
sama BUMR-BUMS-BUMN- BUMSA akan menyebabkan masing-masing daerah itu
masuk ke dalam "orbit" perekonomian nasional dan global.
Menciptakan
sistem finansial inklusif adalah membangun Lembaga Keuangan Usaha
Rakyat (LKUR). Ditekankan, sistem perkreditan yang berlaku (dari APBD,
APBN) tak sensitif terhadap kebutuhan riil dan strategis pelaku ekonomi
kecil dan menengah. Ini karena, government-driven programs
sering tak sesuai dengan karakter bisnis. Buktinya, tulis Tanri lebih
lanjut, "Dari total UMKM sebanyak 56,5 juta (2012), 55,8 juta di
antaranya, atau 99,8 persen, adalah usaha mikro yang pada umumnya belum bankable
dan tidak punya kemampuan mengakses sumber pendanaan yang ada." Dalam
konteks ini, "raksasa ekonomi" ini tetap tertidur. Untuk
membangunkannya diperlukan LKUR yang sensitif terhadap kebutuhan bisnis
UKM. "Jika 20 juta dari total 56,5 juta UMKM menabung Rp 10.000 setiap
hari," tulis Tanri, "dana yang terkumpul mencapai Rp 60 triliun. Jumlah
yang cukup besar untuk menggerakkan ekonomi rakyat." Dalam arti kata
lain, seluruh kekuatan finansial negara yang dialokasikan kepada UMKM
akan jauh lebih efisien dan produktif di bawah pengelolaan LKUR.
Penguatan demokrasi
Dari
perspektif "subyektif" Presiden Jokowi, keberhasilan mengembangkan BUMR
ini akan bersifat paradigmatik. Sebab, dengan itu, Jokowi mampu
memadukan dua hal sekaligus: "kepemimpinan pasca elite" dan "model
pembangunan pasca elite". Apa yang disebut "membangun dari pinggiran",
dalam program kepresidenannya, menemukan rangka operasional melalui
gagasan Tanri Abeng ini. Mengapa? Karena seluruh aktivitas BUMR
didasarkan pada pengolahan produk lokal, pelaksanaannya bukan saja tak
memerlukan impor yang menghabiskan devisa, melainkan juga berpotensi
mendorong ekspor dengan aktor utama rakyat biasa. Jika berhasil, julukan
liberating force bagi BUMR sama nilainya dengan gerakan kredit
kecil oleh penerima hadiah Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus melalui
Grameen Bank-nya.
Lalu, apa dampak politik pelaksanaan "model pembangunan pasca elite"? Jawabannya adalah penguatan demokrasi.
Menjawab
pertanyaannya sendiri tentang mengapa Amerika Utara lebih demokratis
daripada Amerika Selatan, termasuk Indonesia, dalam Civilization: The West and the Rest
(2011), Niall Ferguson menyatakan: Karena dasar kemasyarakatan Amerika
Utara sejak abad ke-17 didasarkan kepada kepemilikan tanah pribadi (property-based society).
Sementara Amerika Selatan dan Hindia Belanda di bawah jajahan Spanyol
dan Belanda merampok dan menguasai dengan kekuatan militer. Dengan
sederhana dapat disimpulkan kontrol masing-masing rakyat atas bidang
usaha membuatnya otonom secara politik. Otonomi ekonomi inilah yang
menjadi saka guru demokrasi di AS.
Pengembangan BUMR yang
dianggotai lebih dari 100 juta penduduk, dengan demikian, identik dengan
pemberian otonomi ekonomi kepada mereka. Dalam posisi semacam ini,
proses penguatan demokrasi akan lebih mudah berlangsung di Indonesia
ketika rakyat secara ekonomi tak lagi tergantung kepada siapa pun.
Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pembangunan Pasca Kapitalis".
No comments:
Post a Comment