KOMPAS Cetak |
Pemilihan kepala daerah serentak
untuk pertama kalinya akan digelar pada Desember 2015. Waktu yang
sangat singkat untuk mempersiapkannya. Pilihan pilkada serentak
merupakan respons atas jalannya pilkada langsung selama ini yang
bergantung pada periode kepemimpinan masing-masing di tiap daerah
otonom.
Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara penyelenggara pilkada
serentak di dunia ini, kelak. Sistem pilkada baru ini diyakini sukses
jika efisiensi dapat diraih sembari mengatasi terjadinya petualang
politik sesaat, yang sering kali terjadi pada masa lalu.
Namun, bayang-bayang ketidaksuksesan pilkada serentak pun menghantui,
dengan sejumlah dampak buruk yang tidak ringan bagi kelangsungan hidup
bangsa dan negara Indonesia dapat terjadi. Konflik yang masif adalah
bayangan pertama. Kedua, gangguan administrasi peradilan jika gelombang
keberatan masuk di Mahkamah Konstitusi menumpuk, dan stagnasi birokrasi
sejumlah pemerintah daerah, serta sejumlah dampak lain. Oleh karena itu,
kita wajib memikirkannya.
Merilee S Grindle telah melakukan penelitian di sejumlah negara Amerika
Latin pada dekade 1990-an. Di negara-negara tersebut, masyarakat
merasakan mekanisme baru memilih pemimpin lokalnya yang semula tidak
dianut. Namun, Grindle (2000) menyebut terjadinya apa yang dia namakan
sebagai audacious reforms (reformasi odasios). Dia jelaskan bahwa
”Audacious reforms are those for which there are no obviously
compelling answers to the question, ”Why would politicians, concerned
about the electoral consequences of their actions, choose such a
change?”
Grindle meyakini semua bermuara pada motivasi auktor-auktor politik.
Asumsinya adalah, pertama, sangat dipengaruhi oleh perilaku politik para
auktor tersebut. Kedua, sama sekali bukan diarahkan untuk menciptakan
nilai baru dalam distribusi kekuasaan di antara mereka, melainkan
melanggengkan yang ada dengan wajah baru. Ketiga, tidak ada yang mampu
mengantisipasi apa yang akan terjadi, atau tidak ada kemampuan untuk
memprediksi apa yang akan terjadi sehingga amat bergantung pada
kompetisi antar-auktor politik itu sendiri.
Di Indonesia, pelaksanaan pilkada langsung mendapat acungan jempol.
Penjelasan mengapa hal ini dapat terjadi adalah bahwa pada masa
sebelumnya, saat pilkada melalui DPRD, sistem kita menganut tata lembaga
DPRD yang kuat yang mampu menjatuhkan kepala daerah di tengah roda
kepemerintahannya. Tak heran bila kemudian birokrasi pun mampu dibuat
seolah tidak berdaya. Pola ini terjadi pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Tidak berumur panjang, UU ini diganti oleh
UU No 32/2004.
Kepala daerah di bawah UU No 32/2004 memiliki posisi yang kuat dengan
adanya pilkada langsung. Kepala daerah yang kuat membawa jajaran
birokrasi lokal dapat berlindung di bawah kepala daerah menghadapi DPRD.
Namun, sebetulnya sistem ini pun menakutkan bagi sejumlah birokrat.
Para kepala daerah sering kali mudah menggeser para birokrat yang
diketahui tidak mendukungnya dalam pilkada. Untunglah kini keluar UU No
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Para birokrat pun kembali sedikit
nyaman.
Tata lembaga baru
Secara umum, pergeseran UU No 22/ 1999 ke UU No 32/2004 disikapi matang
oleh jajaran birokrasi lokal dan nasional. Dengan demikian, perilaku
odasios tidak kental terjadi di Indonesia saat terjadi perpindahan dari
mekanisme pemilihan melalui DPRD ke pilkada langsung. Berbeda dengan di
Amerika Latin.
Pilihan pilkada serentak sesungguhnya juga bukan tidak mengandung
risiko. Terdapatnya sejumlah pertanda odasios, antara lain, pertama,
pilihan atas pilkada serentak yang dibumbui tarik-menarik antara pilkada
langsung dan tak langsung (melalui DPRD) memperkuat kesimpulan bahwa
tidak diyakininya oleh para politisi atas pilkada langsung dengan
mekanisme baru. Kedua, pilkada serentak tetap tidak menambah nilai baru
dalam demokrasi dan beberapa elemen bangsa Indonesia, dalam hal ini
sangat pragmatis. Ketiga, mengenai apa yang akan terjadi dalam periode
kepemimpinan hasil pilkada serentak ini di tingkat nasional/daerah pun
tidak ada yang optimistis, bahkan sebaliknya berpikir pesimistis.
Pilkada serentak pun dianggap upaya pragmatis untuk kekuasaan semata,
bukan untuk perbaikan kondisi pelayanan publik lokal, kesejahteraan
masyarakat atau kemajuan bangsa. Penilaian terhadap pilkada langsung
mandiri tiap daerah, di mana seolah dalam setahun Indonesia rata-rata
per tiga hari mengadakan pemilu amatlah tidak tepat.
Biaya yang besar seolah dapat efisien jika dijadikan serentak pun belum
tentu benar. Antardaerah memiliki lingkup masing- masing, tentu tidak
kompatibel jika dijadikan ukuran waktu untuk Indonesia secara nasional.
Otonomi menuntut keberagaman, termasuk penyelenggaraan pilkada. Biaya
masing-masing pun tetap sama jika dijadikan satu, bahkan sesuai
perkembangan inflasi bisa jaditambah membengkak ketika dibuat serentak.
Antisipasi terhadap munculnya perilaku odasios” tidak lain adalah tata
lembaga baru pilkada harus segera disiapkan oleh pemerintah sebagai
siasat atas segala kemungkinan yang akan terjadi, jika tak ingin
keterpurukan menghampiri bangsa ini. Komunikasi politik yang baik harus
dibangun di antara berbagai elemen mengenai pilihan pilkada serentak
tersebut.
Kunci utama tata lembaga baru adalah perlunya pemahaman oleh semua
elemen, termasuk jajaran birokrasi lokal dan nasional, mengenai nilai
baru apa yang ingin diraih dalam pilkada serentak. Niscaya, dari sini
program-program antisipatif akan ditetapkan dengan sendirinya, mengikuti
nilai-nilai baru. Akhirnya kelak pilkada pun terlembagakan dengan wajah
baru. Semoga!
Irfan Ridwan Maksum, Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi UI
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2015, di
halaman 7 dengan judul "Pilkada Serentak, Reformasi Odasios".
No comments:
Post a Comment