FATHORRAHMAN GHUFRON
kompas 30 Juni 2016
Dalam kitab Ihya' 'Ulumuddin, Imam Ghazali membagi tiga golongan orang yang
melakukan ibadah puasa.
Pertama, golongan awam (shaumul
'am), yaitu orang yang berpuasa sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua,
golongan khusus (shaumul khas), yaitu orang yang berpuasa selain menahan
lapar dan dahaga, juga menjaga mata, hidung, telinga, tangan, kaki, dan seluruh
tubuh dari perilaku negatif. Ketiga, golongan paling khusus (shaumul
khawashil khawash), yaitu orang yang menjalankan puasa seperti pada dua
golongan di atas, tetapi juga menambatkan pikiran dan hatinya hanya kepada Allah.
Dalam kaitan ini, laku puasa seperti yang
digambarkan Imam Ghazali tentu bergantung pada kapasitas dan kapabilitas
masing-masing individu. Orang yang meniatkan puasa sepenuh jiwa dan raga serta
memasrahkan segala sesuatunya hanya kepada Allah dimungkinkan akan masuk
golongan khusus dan bahkan paling khusus.
Meski demikian, untuk
menjalankan ibadah puasa dengan posisi dan tingkatan yang berada pada golongan
khas ataupun khawasul khawas tidak serta-merta terjadi begitu
saja. Masing-masing levelnya butuh proses dan penahapan yang dinamis. Dan, yang
paling penting dalam menjalankan ibadah puasa adalah bagaimana menempatkan diri
kita secara resiprokal di antara orang-orang yang menjalani puasa, baik pada
tingkatan awam maupun tingkatan apa pun. Tentu saja termasuk berpuasa di tengah
masyarakat yang di antara mereka ada yang kurang peduli terhadap aturan main
berpuasa, seperti makan-minum di siang hari serta membuka warung.
Keragaman apresiasi
Di samping itu, dalam
menjalani ibadah puasa terdapat keragaman apresiasi bagaimana masing-masing
golongan menyiapkan dan menyikapinya. Pertama, bagi kelompok tertentu, baik
dari golongan awam, khusus, dan paling khusus ada yang menyambut puasa Ramadhan
dengan aneka macam ritus. Mulai yang bersifat intrinsik keagamaan hingga
ekstrinsik kebiasaan adat. Semisal menjalani puasa sunah pada hari-hari
tertentu di bulan Rajab dan Sya'ban, ziarah kubur, padhusan yang
dipercaya cara menyucikan diri, dan semacamnya. Namun, tak sedikit orang yang
menyatakan labelitas hukum tertentu seperti bid'ah terhadap laku persiapan
ibadah puasa Ramadhan tersebut.
Kedua, dalam pelaksanaan ibadah puasa kita
akan berhadapan dengan serangkaian ritus peribadatan yang sifatnya sunah. Seperti
salat Tarawih, tadarus, iktikaf, dan semacamnya. Namun, secara empiris banyak
di antara kita yang terjebak dengan perkara teknis perihal pelaksanaan ritus
peribadatan sunah tersebut. Bahkan, di antara kita saling mencela dan
menyalahkan beberapa prosedur pelaksanaan ibadah yang biasa dilakukan oleh
kelompok orang.
Semisal ada sekelompok orang yang Tarawih
dengan 21 rakaat dianggap tidak sesuai sunah rasul oleh sekelompok orang yang
menjalani tarawih dengan 11 rakaat. Ada pula sekelompok orang yang shalat
Tarawih dengan gerakan yang sangat cepat, dianggap mencederai kekhusyukan
ibadah shalat Tarawih itu sendiri. Bahkan, untuk sekadar membenarkan praktik
peribadatannya menggunakan sejumlah dalil sebagai landasan pembenar dari apa
yang dilakukan.
Padahal, setiap orang memiliki cara
sendiri bagaimana mengekspresikan ritus peribadatannya sesuai keyakinannya.
Bisa jadi selera sekelompok orang yang mengekspresikan ritus peribadatan
shalatnya dengan caranya sendiri memiliki jalinan keterhubungan yang sangat transendental
dengan Allah. Maka, tidak sepatutnya kita memperselisihkan berbagai ekspresi
masing-masing kelompok dalam menjalani ritus peribadatannya. Sebab, ibadah
puasa menegaskan dua dimensi yang antara satu dengan lainnya saling melengkapi.
Yaitu, satu sisi kita menjalani puasa sebagai kewajiban asasi, di sisi lain
kita pun perlu menjalani ibadah puasa sebagai hak asasi.
Kewajiban asasi dan hak asasi
Dalam buku Human
Rights in Islamic Law, Ibrahim Abdullah al-Marzouqi memberikan definisi
bahwa terma kewajiban asasi banyak merujuk pada norma agama yang mengarahkan
orang agar menyembah kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Sementara
terma hak asasi, secara formal muncul masif pada tahun 1984 melalui Deklarasi
HAM PBB. Dalam hal ini, kedudukan kewajiban asasi dan hak asasi mempunyai ruang
sendiri-sendiri. Namun, keduanya perlu dipertemukan secara resiprokal agar
tidak dipertentangkan antara satu dengan lain.
Sebagai kewajiban asasi, masing-masing
golongan yang berpuasa dalam model orang awam, orang khusus, dan orang paling
khusus dia akan selalu menyandarkan dirinya kepada Allah. Namun, di antara
mereka mempunyai hak asasi pula bagaimana menempatkan diri pada level tertentu
yang bisa memungkinkan dirinya bisa pasrah dan khusyuk menjalani ibadah puasanya.
Bagi orang awam, kewajiban asasinya berada
pada level menahan dahaga dan lapar. Namun, bukan berarti ketika dia mempunyai
cara mengekspresikan kewajiban asasinya dengan hak-hak asasi yang lain, seperti
tetap menjalankan sesuatu yang mendekati pada perkara yang nyaris menggugurkan
puasanya, lalu dapat dihakimi sebagai orang tidak memperoleh pahala apa pun.
Meskipun ada dalam sebuah riwayat bahwa "berapa banyak orang yang berpuasa
yang tidak memperoleh apa-apa kecuali dahaga dan lapar", bukan lantas
keberadaannya dienyahkan begitu saja dalam kerangka kesejatian ibadah puasa itu
sendiri. Sebab, bisa jadi yang bersangkutan sedang berproses menjalani puasa
dengan diawali menahan dahaga dan lapar, dan pada tahap berikutnya akan belajar
pula menjalani puasa pada tahap yang mendekati jenis golongan khusus.
Maka, menghadapi golongan yang masih awam
perlu dirangkul oleh orang-orang kebetulan telah memasuki golongan khusus dan
paling khusus agar bisa belajar bagaimana menjalani sekaligus menghayati ibadah
puasa sepenuh jiwa. Tidak semestinya orang-orang yang masih awam, atau mungkin
yang sedang tidak berpuasa sekalipun, dihujat sedemikian rupa sehingga membuat
dirinya benar-benar mengalienasikan dirinya dari aura puasa Ramadhan. Kita
perlu melatih kesadaran resiprokal agar antara kita saling peduli dan saling
memberikan pencerahan terhadap orang-orang yang sedang melatih dirinya bisa
terlibat dalam ritus ibadah puasa.
Bila kesadaran
resiprokal ini bisa kita lakukan, esensi puasa Ramadhan sebagai bulan tajribiyah (melatih
diri) dan bulan tazkiyah (menyucikan diri) akan memberikan
nilai tambah bagi kita untuk semakin memperkuat keyakinan teologis kita kepada
Allah, sekaligus keyakinan sosiologis kepada sesama kita. Bahwa,
sesungguhnya-meminjam istilah Gus Dur-di dunia ini tidak ada orang yang jahat,
melainkan orang yang sedang berproses menjadi orang baik. Termasuk mereka,
orang-orang yang sedang menjalani ibadah puasa dengan level awam, yang masih
menambahkan laku spritualitasnya pada pencegahan dahaga dan lapar serta masih
dilingkupi dengan berbagai tindak tanduk yang mencelakan.
FATHORRAHMAN GHUFRON
DOSEN SOSIOLOGI FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SUNAN KALIJAGA; A'WAN SYURIYAH PWNU YOGYAKARTA
Versi cetak artikel
ini terbit di harian Kompas edisi 30 Juni 2016, di halaman 7 dengan judul
"Puasa dan Kesadaran Resiprokal".
No comments:
Post a Comment