Cetak |
Tepat pada hari ini, Rabu (23/9), tidak
kurang dari 1,4 juta anggota jemaah haji dari penjuru dunia tengah
berwukuf di padang Arafah.
Secara leksikal wukuf bermakna berdiam, berhenti, di sebuah tempat.
Wukuf adalah bagian dari rukun haji, sebuah ritual wajib dari seluruh
rangkaian ibadah haji yang tanpanya ibadah haji seseorang menjadi tak
bermakna. Kata Nabi Muhammad SAW, al-hajju ’arafah (inti ibadah haji adalah wukuf di padang Arafah).
Pertanyaannya, pesan esoterik apa yang bisa digali dari ibadah haji,
khususnya wukuf di Arafah? Bagaimana agar pesan esoterik tersebut dapat
ditransformasikan ke dalam konteks kekinian di tengah meruyaknya spirit
parokialisme-kauvinisme keagamaan yang membabi buta? Bagaimana cara
mengatasi mengentalnya politik identitas keagamaan yang dimunculkan oleh
gerakan-gerakan radikal seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)?
Jawaban terhadap pertanyaan ini terangkum dalam sebuah frasa:
kosmopolitanisme Islam!
Universalitas + perbedaan
Secara sederhana, kosmopolitanisme dapat dimaknai sebagai sense of being part of the world,
perasaan menjadi anggota atau warga dunia yang satu. Dalam suasana
kosmopolitan, batas-batas budaya bukan penghalang bagi seseorang untuk
melakukan mobilitas horizontal. Realitas sosial-budaya yang berbeda
justru menyediakan melting-pot bagi proses interaksi dan
dialektika antarbudaya tersebut. Perbedaan justru dapat menjadi faktor
pemerkaya bagi pendewasaan antarbudaya.
Kwame Anthony Appiah, dalam karyanya Cosmopolitanism: Ethics in a World of Strangers (2007), secara sederhana mendefinisikan kosmopolitanisme sebagai ”universality plus difference,”
universalitas ditambah perbedaan. Menurut dia, poin universalitas harus
didahulukan sebelum perbedaan. Hal ini penting untuk menyublimasikan
aspek perbedaan dalam kerangka universalitas nilai-nilai kemanusiaan.
Budaya yang berbeda harus dihormati bukan karena ia penting di dalam
dirinya, melainkan karena manusia jauh lebih penting dan harus
ditempatkan di atas segala-galanya sebagai pemilik budaya.
Pola hidup kosmopolitan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai kerelaan untuk memasuki, menyelami, dan merasakan realitas
sosial-budaya yang berbeda dalam semangat empati dan memberikan respek
bagi setiap perbedaan yang dijumpainya. Proses penyelaman terhadap
budaya yang berbeda tersebut memungkinkan seseorang untuk berdialog,
saling ”menginterogasi” dan bahkan saling bertukar nilai-nilai budaya.
Sepanjang perjumpaan antarbudaya, mungkin saja muncul reaksi dan
justifikasi subyektif atas budaya eksternal. Hal ini bukan dalam rangka
disamakan atau diseragamkan, melainkan dibiarkan untuk tetap ada agar
terjadi proses pembelajaran antarbudaya yang berbeda.
Ibadah haji, terutama wukuf di Arafah, adalah eksemplar ritual yang
mengandung dimensi interaksi dan pertukaran budaya paling tinggi, tetapi
tetap dalam spirit penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan
universal. Di situlah setiap orang diperlihatkan ragam budaya dari
penjuru dunia tanpa harus mempertanyakan suku, ras, atau warna kulit
seseorang, semata-mata agar dia mau belajar saling memahami dan
menghormati budaya orang lain.
Pengalaman masa lalu
Memang agak muskil ketika kita menarik benang merah antara
kosmopolitanisme haji dan kenyataan empiris umat Muslim dewasa ini di
sejumlah wilayah yang masih dilanda konflik kekerasan dan peperangan.
Bagaimana mungkin Islam yang awalnya sangat kosmopolitan bisa tampil
dalam wajahnya yang begitu tidak kosmopolit? Akibatnya, mungkin saja
banyak orang mengernyitkan dahi ketika mendengar istilah
kosmopolitanisme Islam. Di benak mereka, penyandingan Islam dengan
kosmopolitanisme terkesan oksimoron, contradictio in terminis.
Meskipun demikian, entitas Islam kosmopolitan bukanlah angan-angan.
Keberadaannya terjustifikasi oleh teks suci ataupun realitas empiris
umat Muslim. Islam merupakan salah satu agama yang mendorong para
pemeluknya untuk melakukan mobilitas horizontal dalam rangka mencari dan
menciptakan kemakmuran di muka bumi. Tidak terhitung jumlahnya
ayat-ayat Al Quran yang berbicara tentang hal ini. Al Quran juga
mengajarkan umatnya untuk melakukan proses interaksi budaya, bukan untuk
memusuhi dan mematikan budaya orang lain, melainkan agar saling
mengetahui dan mengenalnya (QS 39:13).
Terkait dengan watak dasar kosmopolitanisme Islam, Bruce Lawrance (2012) menegaskan bahwa ”Islam is radically cosmopolitan in its origins”.
Islam pada awalnya sangatlah kosmopolitan. Ia bisa menerobos belantara
budaya asing dan bahkan menggantikannya sebagai budaya dominan di banyak
tempat tanpa pertumpahan darah. Terlahir di jazirah Arab, Islam
menyebar ke seluruh penjuru mata angin dengan cepat: dari Kordoba hingga
Asia Tenggara, dari Nil ke Oxus. Marshall GS Hodgson dalam The Venture of Islam (1974; volume 2) menyebut peradaban Islam yang demikian ini dengan istilah ”Islamicate”.
Di masa lalu, kota-kota besar tumbuh jadi kota kosmopolitan di bawah
patronase imperium Islam. Penerjemahan ilmu pengetahuan dari Yunani,
Tiongkok, dan India mengalami puncaknya pada abad XI. Proses asimilasi
dan adopsi budaya, dari dan ke Arab-Islam, bukanlah hal asing.
Penggunaan astrolabe yang diadopsi dari imperium Byzantium untuk kepentingan shalat lima waktu buktinya.
Keberterimaan dan kepenganutan terhadap Islam di berbagai tempat
merupakan bukti kualitas kosmopolitanisme agama ini. Proses konversi
yang terjadi di Nusantara juga meneguhkan kenyataan kosmopolitanisme
Islam. Pola penetrasi budaya bukanlah penetrasi yang menyakiti,
menistakan, dan merendahkan budaya lain, melainkan malah merangkulnya.
Terciptanya genre budaya baru sebagai konsekuensi persilangan budaya di
antara dua tradisi yang berbeda merupakan realitas tak terbantahkan.
Kenyataan demikian tidak untuk diratapi, tetapi dirayakan sebagai buah
kreativitas dan kelenturan budaya dalam Islam.
Jalan aksiologis
Memang tersua resistensi ”kecil” di kalangan Muslim puris atas
persilangan budaya ini. Mereka menuduh para pelaku asimilasi budaya atas
tuduhan ”peniruan” (tashabbuh). Menurut kaum puris, asimilasi
budaya dilarang karena dapat menggerus eksistensi ajaran Islam. Namun,
menurut al-Biruni, salah seorang filosof Muslim terbesar dari Persia,
proses asimilasi budaya yang dapat memperkaya khazanah peradaban Islam
bukanlah hal buruk. Secara sarkastik dia menegaskan, ”Bangsa Romawi juga
makan. Maka, jangan tiru perilaku mereka!”
Kondisi geopolitik dunia butuh etos kosmopolitan yang diderivasi dari
sumber-sumber normatif dan empiris agama. Pesan esoterik ibadah haji
adalah bagaimana agar kosmopolitanisme menjadi etos peradaban umat
Muslim yang tengah menghadapi ancaman ekspansi ideologi radikal yang
membabi buta. Spirit kosmopolitanisme bukanlah sebentuk bidah yang
dilarang agama, melainkan jalan aksiologis yang niscaya dalam mengatasi
berbagai tekanan sosial-budaya.
Masdar Hilmy, Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2015, di
halaman 7 dengan judul "Spirit Kosmopolitanisme Islam".
No comments:
Post a Comment