Wahyudi Kumorotomo
Kompas Cetak | 21
September 2015
Di tengah pelambatan ekonomi nasional, berita
mengendapnya anggaran publik di daerah tentu kurang menggembirakan.
Data dari Direktorat jenderal Perimbangan Keuangan
Kementerian Keuangan, hingga semester I-2015, baru 25 persen total dana APBD
yang dialokasikan. Secara nominal, dana di tingkat provinsi, kabupaten, dan
kota yang belum dialokasikan bagi pembangunan mencapai Rp 255 triliun. Sebagian
besar disimpan dalam bentuk giro dan deposito di bank pembangunan daerah
ataupun bank komersial.
Dengan asumsi mengendapnya anggaran itu terjadi karena
ketakutan kepala daerah dan otoritas anggaran untuk mengalokasikan dana,
pemerintah kini tengah merancang produk peraturan anti-kriminalisasi pejabat.
Melengkapi UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tiga produk hukum
dalam bentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau instruksi presiden
tengah disiapkan untuk menjamin agar otoritas anggaran tidak takut mengambil
inisiatif kebijakan serta memperlancar alokasi anggaran. Bukan rahasia lagi,
banyaknya pejabat daerah yang masuk penjara mendorong aparat "main
aman" dengan menghindari posisi sebagai otoritas anggaran atau hanya
melakukan alokasi kegiatan rutin, bukan kegiatan pembangunan yang bermanfaat
bagi rakyat.
Namun, sebelum kebijakan anti-kriminalisasi
diberlakukan, perlu dipahami bahwa mengendapnya anggaran publik sebenarnya
terkait pelbagai masalah yang lebih kompleks. Kurangnya sumber daya manusia
pendukung desentralisasi fiskal, kegagalan reformasi birokrasi, konflik dalam
penegakan hukum, siklus anggaran, hingga kurangnya dukungan e-budgeting
adalah sebagian dari masalah yang harus dipahami dengan jernih.
Setelah kebijakan desentralisasi fiskal berjalan sejak
2001, efektivitas kebijakan anggaran pemerintah dalam mendorong ekonomi
nasional kian tergantung kepada kapasitas pemerintah daerah. Mengingat bahwa
lebih dari sepertiga volume anggaran publik kini berada di tangan otoritas
fiskal di daerah, banyak aspek kebijakan yang sesungguhnya tergantung kepada
bagaimana aparat di daerah menggunakan otoritas itu untuk memakmurkan rakyat.
Sayangnya, penyerahan otoritas anggaran kepada daerah
selama ini belum disertai dengan upaya serius untuk mengembangkan kapasitas
aparat. Sistem administrasi pemerintahan masih terpengaruh pola Orde Baru yang
mengutamakan sentralisasi kekuatan di pusat dan mengutamakan pengembangan
sumber daya birokrasi pada pemerintah pusat. Ditambah kompleksitas politik yang
kian menggerus profesionalisme aparat di daerah, krisis SDM di daerah semakin
membuat minimnya peran anggaran publik.
Sejak 2008, pemerintah gencar mengampanyekan kebijakan
reformasi birokrasi guna mengatasi rendahnya daya saing nasional. Namun, garis
kebijakan yang diambil bagi reformasi birokrasi tampaknya belum juga membuahkan
hasil. Birokrasi publik gagal menjadi penunjang produktivitas nasional, tetapi
sebaliknya justru menjadi sumber dari berbagai persoalan. Belum lama berselang,
Presiden Joko Widodo gusar karena waktu tunggu kapal di Pelabuhan Tanjung Priok
yang begitu lama hingga mencapai 14 hari, sangat jauh jika dibanding catatan
Klang Port di Singapura yang hanya dua hari.
Bahkan, untuk urusan yang menyangkut kebutuhan aparat
sendiri, birokrasi publik kita gagal memberikan layanan yang baik. Kasus
keterlambatan uang saku hingga lima bulan bagi peserta Program Pemuda Sarjana
Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP3) di Maluku beberapa waktu lalu
menunjukkan birokrasi kita kurang memiliki empati dan responsivitas, bahkan
ketika berurusan dengan kesejahteraan aparat sendiri.
Di tingkat nasional, kebijakan reformasi birokrasi
selama ini cenderung bersifat formalistis dan hanya mengedepankan penambahan
remunerasi bagi PNS. Kegagalan reformasi birokrasi ini mengakibatkan kerugian
dari dua aspek. Pertama, kinerja birokrasi dalam pelayanan publik belum dapat
ditingkatkan seperti ditunjukkan dalam berbagai indikator daya saing dan
produktivitas nasional yang masih buruk. Kedua, pemberian remunerasi telah
mengakibatkan beban APBN yang semakin berat untuk menjalankan birokrasi publik,
sedangkan kontribusinya bagi kemakmuran rakyat tetap rendah.
Administrasi vs pidana
Logika pemerintah untuk merancang kebijakan
anti-kriminalisasi bagi otoritas anggaran sangat tepat jika mencermati
ketakutan para pejabat selama ini. Sudah ratusan gubernur, bupati, wali kota,
atau anggota DPRD yang menjadi terpidana korupsi. Tahun 2014, Indonesia
Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa ada 43 kepala daerah menjadi tersangka
korupsi. Ini belum ditambah dengan ribuan kasus yang melibatkan kepala dinas
yang menjadi kuasa pengguna anggaran (KPA) dan pejabat pembuat komitmen (PPK).
Upaya pemidanaan terhadap pejabat yang korup tetap
harus dilakukan dan bahkan diperkuat agar tercipta birokrasi yang bersih.
Namun, masalahnya adalah bahwa tak semua kasus yang diperkarakan di pengadilan
benar-benar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Dari pengalaman sebagai
saksi ahli atau pengamat sidang-sidang yang melibatkan pejabat daerah, dapat
dilihat bahwa tidak semua kasus karena tindakan korupsi dalam arti sebenarnya
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, yaitu menggunakan uang negara untuk
pribadi atau kelompok, menyalahgunakan uang negara atau merugikan kepentingan
publik. Cukup banyak pejabat pemerintah di daerah yang harus masuk penjara
karena kesalahan prosedur, ketidaktahuan dalam mengikuti sistem administrasi
keuangan, atau kebijakan yang dilakukan dengan menerobos peraturan birokrasi
yang terlalu ketat.
Ketika kebanyakan aparat birokrasi publik ogah menjadi
otoritas anggaran karena risiko terseret korupsi untuk masalah prosedural,
inilah saatnya bagi semua pihak untuk mencari jalan keluar yang tepat. Yang
terjadi di Indonesia saat ini adalah kurang adanya perbedaan yang jelas dalam
penegakan hukum terkait kebijakan aparat, terutama antara hukum administrasi (administratief
rechtelijk) dan hukum pidana (straf rechtelijk). Karena
kepentingan-kepentingan sempit di antara para penegak hukum, banyak kasus
pelanggaran prosedur yang sebenarnya masuk wilayah hukum administratif tetap
ditangani sebagai perkara pidana korupsi kendatipun dalam proses persidangan
tak benar-benar bisa dibuktikan keuntungan finansial yang diperoleh seorang
pejabat.
Oleh sebab itu, penegak hukum perlu benar-benar cermat
dalam melihat sebuah pelanggaran. Penegak hukum harus bisa membedakan antara
kebijakan yang diambil untuk mempercepat proses pembangunan dan keputusan yang
benar-benar melanggar hukum karena memperkaya diri sendiri dan orang lain.
Presiden Jokowi dalam pidato Hari Bakti Adhyaksa Ke-55 mengingatkan secara
tegas agar aparat kejaksaan tak menjadikan tersangka korupsi "sebagai
mesin ATM". Ungkapan spontan ini mewakili kenyataan yang cukup sering
terjadi di lapangan bahwa aparat pemerintah yang terindikasi penyimpangan prosedur
kemudian diperas oleh aparat penegak hukum untuk memperkaya diri sendiri.
Selain mengakibatkan wibawa hukum dalam perkara
korupsi merosot, tindakan penegak hukum tersebut mengakibatkan persoalan
sistemik karena tidak banyak lagi aparat birokrasi yang bersedia mengambil
risiko untuk menjadi KPA, PPK, atau jabatan apa pun yang menyangkut penggunaan
anggaran pemerintah. Peringatan Presiden itu tentunya berlaku bagi semua unsur
penegak hukum, yaitu jaksa, polisi, hakim, dan penyidik KPK.
Memutus kelembaman
Mengendapnya anggaran akan mengakibatkan dua persoalan
bagi upaya pemerintah untuk menggenjot kinerja ekonomi. Pertama, efek pengganda
(multiplier effect) dari sektor publik terhadap ekonomi nasional akan
terus menurun. Ketika anggaran pemerintah gagal menjadi stimulus bagi berbagai
bentuk usaha yang lesu, pelambatan ekonomi akan lebih terasa dalam skala
nasional. Kedua, mengendapnya anggaran membawa pengaruh inflasif bagi ekonomi.
Bunga yang harus dibayar Bank Indonesia bagi dana publik yang disimpan dalam
bentuk giro maupun deposito di daerah mengakibatkan inflasi tinggi. Perputaran
dana hanya terjadi di sektor finansial, bukan di sektor riil yang sebenarnya
lebih dibutuhkan bagi peningkatan kemakmuran rakyat.
Untuk memastikan supaya birokrasi publik dapat
melaksanakan berbagai macam kegiatan secara efektif dan menyerap anggaran
melalui berbagai program yang bermanfaat langsung bagi rakyat, semangat
reformasi birokrasi harus benar-benar dinyalakan untuk tujuan memberikan yang
terbaik buat rakyat. Kelembaman (inertia) yang selama ini berlangsung
dalam birokrasi publik harus diputus. Inovasi dalam peningkatan kualitas
pelayanan publik harus senantiasa didorong dan diberi penghargaan yang
semestinya, bukan justru dibatasi oleh berbagai macam prosedur yang menghambat.
Dalam buku Integrating Performance and Budgets
(2007), Breul dan Moravitz mengatakan, tantangan utama bagi pemanfaatan
anggaran publik yang optimal adalah mengaitkan besaran anggaran dengan kinerja
pelayanan publik serta mengatasi sekat-sekat biaya (cost silos) akibat
terpecah-pecahnya kegiatan dalam berbagai unit organisasi pemerintah. Di
Indonesia, keharusan mengikuti prosedur lelang mendorong otoritas anggaran
memecah kegiatan dalam porsi yang lebih kecil. Selain mengakibatkan rendahnya
serapan anggaran, kecenderungan ini juga mengakibatkan minimnya daya ungkit
anggaran publik terhadap kegiatan ekonomi yang produktif bagi masyarakat.
Transparansi dan akuntabilitas anggaran juga merupakan
persoalan pokok di sebagian besar daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi
dalam kasus Pemprov DKI Jakarta, upaya untuk menjamin transparansi dan
akuntabilitas melalui penerapan e-budgeting ternyata masih sering
menghadapi resistensi, baik di antara aparat birokrasi maupun di antara
politisi yang memiliki kepentingan sempit terkait alokasi anggaran publik.
Yang juga perlu diluruskan adalah, kinerja birokrasi
tak identik dengan serapan anggaran. Dengan semakin banyak anggaran publik yang
mengendap di bank- bank pembangunan daerah, upaya untuk mendorong serapan yang
lebih optimal memang sangat penting. Namun, penggunaan anggaran publik yang
serampangan semata-mata untuk mengejar target alokasi juga akan mengakibatkan
persoalan karena pemborosan atau berkurangnya manfaat langsung dari penggunaan
anggaran pemerintah. Betapapun, indikator penting bagi anggaran publik adalah
kemanfaatannya dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan
rakyat.
Wahyudi Kumorotomo
Guru Besar di Magister Administrasi Publik Universitas
Gadjah Mada
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi
21 September 2015, di halaman 6 dengan judul "Pengendapan Anggaran".


No comments:
Post a Comment