Renungan Idul Adha
Haedar Nashir
Kompas Cetak, 23 September
2015
Ketika kaum Muslim dari berbagai belahan dunia
menunaikan ibadah haji dan berkurban di hari Idul Adha, sejatinya dua ritual
Islam itu mengandung nilai terdalam tentang ajaran kepasrahan diri.
Sebuah kepasrahan otentik (al-hanif) yang
secara vertikal menjadikan setiap kaum beriman meneguhkan jiwa ketauhidan untuk
selalu taat kepada Allah Yang Maha Esa, sekaligus merawat tiap perilaku agar
tetap lurus di jalan kebenaran dan tidak terjerembap ke jurang kesalahan.
Insan yang bertauhid akan membenamkan hawa nafsunya
pada kehanifan diri, berupa jiwa yang bening dari noda syirik dan dosa. Sumber
segala nista di muka bumi ini bermula dari hasrat primitif manusia yang tak
terkendali, yang oleh sufi ternama Jalaluddin Rumi disebut ”ibu dari semua
berhala”.
Keangkuhan, keserakahan, kesewenangan, korupsi,
kebohongan, kekerasan, kebencian, kemunafikan, dan segala wujud tiran adalah
pantulan jiwa angkara manusia yang kehilangan sublimasi nilai ketuhanan.Manusia
menjelma seolah menjadi tuhan sekaligus hamba dirinya.
Pada putihnya kain ihram yang tak beralas dan seluruh
prosesi haji hingga puncak wukuf di Arafah. Pada kepasrahan Nabi Ibrahim,
Ismail, dan Siti Hajar dalam ritual ibadah kurban yang dramatik. Keduanya,
selain mengajarkan orientasi ketuhanan yang hanif bahwa manusia sehebat apa pun
sesungguhnya lemah di hadapan-Nya, secara horizontal juga menanamkan jiwa ihsan
atau kebajikan semesta yang sarat makna.
Pesan kemanusiaannya sangat luhur agar setiap insan
beriman berbuat kebaikan yang melampaui sekat agama, suku, ras, golongan, dan
pagar kenaifan untuk tegaknya kehidupan bersama yang serba utama.
Ajaran ketulusan
Siapa pun yang berhaji dan berkurban dalam ritual
Islam sejatinya menambatkan peribadatan itu pada niat tulus ikhlas hanya untuk
Tuhan. Ketulusan merupakan jiwa ketundukan kepada kehendak Yang Maha Kuasa
sehingga melahirkan jiwa merdeka dari segala kepentingan inderawi atau duniawi
yang sering memenjara manusia.
Mereka yang beribadah dan beragama dengan tulus akan
melahirkan sublimasi spiritual dan moral yang jernih karena Allah bersama
dirinya sepanjang hayat. Jika setiap insan beriman merasa dekat dengan Tuhan,
mereka akan dekat dengan sesama dan lingkungannya.
Kedekatannya dengan Tuhan tidak membuat dirinya jemawa
dan semuci, merasa diri paling suci. Mereka juga tidak akan terjebak
pada tafkiri, sikap suka mengafirkan sesama karena merasa diri paling
benar dalam bertuhan dan beragama.
Sumber bencana kehidupan terjadi tatkala hubungan
dengan Tuhan (hablun minallah) terputus dengan hubungan sesama insan (hablun
minannas). Berapa banyak orang mengatasnamakan Tuhan justru menyengsarakan
hidup diri, keluarga, dan lingkungan dengan berbuat kekerasan, teror, dan
tindakan anarkistis.
Pada saat yang sama tidak sedikit anak cucu Adam
menyebarkan tindakan merusak (fasad fi al-ardl) atas nama kemanusiaan
yang serba liar dan terputus dari nilai ilahiah yang otentik.
Atas nama agama, politik, ekonomi, dan apa saja
terjadi saling rebut akses kehidupan yang sangat keras. Manusia tampil dalam
sosok-sosok ganas, yang ”bergigi dan bercakar merah”, tulis Tennyson. Lalu,
berlaku hukum besi homo homini lupus, satu sama lain saling memangsa.
Ajaran cinta
Ibadah haji dan kurban juga mengajarkan sifat cinta,
yakni kasih sayang atau welas asih yang jernih. Nabi Ibrahim, Isa, Muhammad,
dan para nabi kekasih Allah mempraktikkan hidup welas asih itu terhadap sesama
tanpa diskriminasi.
”Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang
penyantun lagi pengiba dan suka kembali kepada Allah” (QS Hud: 75). Tuhan pun
menjadikan ayah Ismail itu menjadi kesayangan-Nya (An-Nisa’: 125).
Nabi Muhammad, ketika dilempari batu oleh kaum Thaif
tatkala hijrah, berkeberatan saat Jibril menawarinya agar mereka yang
melukainya itu diberi azab. ”Jangan, mereka sungguh kaum yang belum mengerti,”
ujarnya.
Ajaran dan praktik hidup Muhammad sarat cinta kasih,
bahwa ”Tidak beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti
mencintai dirinya.” Rahmat Allah pun terlimpah bagi hamba yang menebarkan kasih
sayang di muka bumi.
Kini, tidak sedikit manusia terjangkiti virus egoisme.
Maka, ajaran welas asih menjadi mutiara yang hilang untuk ditemukan kembali.
Perang, konflik, dan segala bentuk kekerasan di berbagai belahan dunia terjadi antara
lain karena menguatnya egoisme dan luruhnya kasih sayang antarsesama.
Hans Kung menyuarakan pentingnya etika global sebagai
arah moral. Maka, ketika sekelompok individu terkemuka dari berbagai agama
berkumpul di Swiss pada Februari 2009, seperti ditulis Karen Armstrong (2013),
semuanya sepakat untuk menjadikan ajaran ”belas kasih sebagai inti kehidupan
religius dan moral”. Umat beragama harus menjadi pelopor dalam menebar ajaran
welas asih guna melawan bentuk kebencian antar-insan di mana pun.
Ajaran pengorbanan
Ritual haji, lebih-lebih pada ibadah kurban, juga
menanamkan nilai pengorbanan. Seseorang disebut beriman manakala di dalam
dirinya bersemi jiwa berkorban untuk kepentingan sesama, hatta kepada yang
berbeda keyakinan.
Ibrahim, Ismail, dan Hajar memberi teladan terbaik
tentang praksis berkurban dengan penuh ketakwaan.
Setiap insan beriman yang kelebihan rezeki dan akses
kehidupan niscaya peduli dan berbagi bagi sesama yang membutuhkan tanpa
diskriminasi. Si kaya berbagi rezeki untuk si miskin. Kaum cerdik pandai
berbagi ilmu kepada yang awam. Laki-laki dan perempuan saling menghormati dan
memuliakan.
Para elite negeri yang mengaku insan beriman perlu
mengambil makna dari ketulusan, cinta, dan pengorbanan Ibrahim, Ismail, dan
Siti Hajar sebagai model perilaku emas yang menebar keutamaan bagi rakyat.
Luruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian
menguatnya kebiasaan mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas
kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa tulus, cinta, dan
pengorbanan sebagai kanopi suci yang diajarkan agama dan para nabi kekasih
Tuhan yang kaya mozaik spiritual ilahiah itu.
Lalu, berkah Tuhan pun menjauh dari kehidupan!
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi
23 September 2015, di halaman 1 dengan judul "Menebar Ketulusan, Cinta,
dan Pengorbanan".

No comments:
Post a Comment