Indriana Kartini
Cetak |
347 dibaca
0 komentar
Drama panggung partai politik
kembali berlangsung di Australia setelah Tony Abbott dikalahkan oleh
Malcolm Turnbull dalam voting internal Partai Liberal pada 14 September
dengan hasil perolehan suara 54-44.
Hasil voting ini
mengantarkan Turnbull menjadi pemimpin baru Partai Liberal dan sekaligus
menjadi perdana menteri ke-29 Australia menggantikan Tony Abbott yang
baru memerintah selama dua tahun. "Kudeta partai" ini sekaligus menambah
daftar pergantian kepemimpinan di Australia selama kurun waktu lima
tahun terakhir.
Pendahulu Abbott, Kevin Rudd, pernah mengalami
hal serupa tahun 2010, dikalahkan penantangnya dari sesama Partai
Buruh, Julia Gillard. Pada 2013, Kevin Rudd membalikkan posisi dengan
mengalahkan Julia Gillard dalam voting internal Partai Buruh dan kembali
memimpin Australia meski hanya singkat. Dalam Pemilu 2013, Partai Buruh
akhirnya dikalahkan oleh Partai Liberal yang mengantarkan Tony Abbott
menjadi perdana menteri ke-28 Australia.
Instabilitas kepemimpinan
Sistem
politik Australia yang menganut sistem parlementer memungkinkan partai
politik melengserkan pemimpinnya apabila dipandang berseberangan dengan
sikap partai atau kurang memberikan performa yang baik bagi partai. Oleh
karena itu, lumrah apabila terjadi pergantian kepemimpinan sebelum
periode pemerintahan berakhir, bahkan dalam periode pertama pemerintahan
sekalipun.
Sejarah politik Australia setelah Perang Dunia II
dipenuhi kisah pergantian perdana menteri sebelum berakhirnya periode
pemerintahan tanpa melalui pemilihan umum. Sejak PM Frank Forde (1945)
hingga Malcolm Turnbull (2015), ada 11 kali pergantian perdana menteri.
Manuver
pelengseran Abbott sebenarnya telah dilakukan oleh Partai Liberal pada
Februari 2015 lalu dengan voting internal mengingat hasil jajak
pendapat The Galaxy Poll menunjukkan, suara pemilih Partai Buruh (57
persen) melewati Partai Liberal (43 persen). Selain itu, 55 persen
pemilih juga menginginkan Abbott mundur dari kursi perdana menteri.
Jajak pendapat tersebut juga mengungkapkan, kemunculan Turnbull akan
menekan perolehan suara Partai Buruh dari 51 persen hingga 49 persen.
Dalam
voting internal Februari 2015, Abbott selamat dari upaya pelengseran
pertama dengan perolehan suara 61-39. Namun, dalam manuver pelengseran
kedua September 2015, Abbott harus rela menyerahkan kepemimpinan kepada
Turnbull yang merupakan mantan Menteri Komunikasi di kabinetnya.
Pemerintahan Turnbull
Dalam Pemilu 2013, salah satu alasan terpilihnya Abbott adalah janjinya memperbaiki budget emergency warisan
pemerintahan Buruh sebelumnya. Namun, di masa Abbott justru angka
pengangguran meningkat dibandingkan masa pemerintahan Buruh, dari 5,8
persen menjadi 62 persen. Pertumbuhan ekonomi menurun dari 2,5 persen
di masa pemerintahan Buruh menjadi 2 persen. Defisit anggaran meningkat
dari 30 miliar dollar Australia jadi 48 miliar dollar Australia. Fakta
ini turut memengaruhi turunnya preferensi pemilih terhadap Partai
Liberal.
Meski Abbott dan Turnbull bernaung dalam partai politik
yang sama, keduanya berbeda faksi politik. Turnbull merupakan bagian
dari faksi kecil liberal, sementara Abbott dari faksi konservatif.
Pengaruh faksi konservatif ini mendominasi Partai Liberal hampir dua
dekade. Namun, mengingat hasil jajak pendapat yang kurang menguntungkan
bagi Partai Liberal, faksi konservatif kemudian turut mendukung
kepemimpinan Turnbull dalam voting internal kedua.
Turnbull
sebenarnya bukanlah figur favorit Partai Liberal. Turnbull menganut
ideologi sosial yang lebih progresif dibandingkan para kolega. Turnbull
mendukung isu-isu yang berseberangan dengan mayoritas Partai Liberal
dalam hal pernikahan sesama jenis, penelitian sel punca (stem-cell),
negara republik, serta pengurangan restriksi terhadap aborsi. Selain
itu, dukungan Turnbull terhadap isu perubahan iklim, khususnya terhadap emissions trading scheme atau pajak karbon, juga berseberangan dengan pandangan sejumlah anggota Partai Liberal yang tidak mendukung pajak karbon.
Pandangan
politik Turnbull dalam isu lingkungan justru lebih beririsan dengan
kebijakan Partai Buruh. Karena itu, kemunculan Turnbull juga dipandang
membahayakan Partai Buruh karena dapat memengaruhi preferensi para swing voter Partai Buruh dan memungkinkan mereka mengalihkan dukungannya kepada Partai Liberal.
Kritik
terhadap pergantian kepemimpinan ini juga muncul di kalangan elite
pemerintahan koalisi (Partai Liberal dan Nasional). Senator Cory
Bernardi dari Partai Liberal mengungkapkan, politik di Australia saat
ini seperti panggung "sirkus" dan menunjukkan instabilitas politik.
Wakil Pemimpin Partai Nasional Barnaby Joyce mengingatkan para elite
partai untuk berhenti saling menyalahkan karena pemerintahan koalisi
yang terpilih pada Pemilu 2013 dibangun dari perjanjian pemimpin Partai
Nasional Warren Truss dengan pemimpin Partai Liberal saat itu Tony
Abbott.
Karena itu, tantangan Turnbull saat ini adalah bagaimana
meyakinkan faksi konservatif Partai Liberal serta para pemilih dari
generasi tua dan konservatif untuk mendukung kepemimpinannya. Selain
itu, Partai Liberal juga harus belajar dari kesalahan Partai Buruh yang
membiarkan terjadinya kegaduhan politik internal antara Kevin Rudd dan
Julia Gillard. Dalam hal ini, Partai Liberal harus mampu meyakinkan
pihak yang kalah, Abbott, untuk tidak mengganggu kepemimpinan baru.
Apabila hal ini tidak dilaksanakan, bukan mustahil Partai Liberal akan
ditinggalkan para pemilih dalam Pemilu 2016. Ini seperti yang pernah
dilakukan pemilih Partai Buruh yang menghukum Partai Buruh dalam
Pemilu 2013, dengan mengalihkan dukungan kepada Partai Liberal.
Indriana Kartini
Peneliti
Bidang Politik Internasional Pusat Penelitian Politik LIPI dan Dosen
Jurusan Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Drama Politik Australia".
No comments:
Post a Comment