Sabtu, 17 Oktober 2015, 17:22 WIB
KORAN REPUBLIKA
Rancangan Undang- Undang Revisi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya, tentang hak penyadapan.
Untuk sementara bagi para pegiat anti-korupsi, ini melegakan. Namun, harus dijelaskan seluas mungkin kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun peradaban bersih ke depan.
Tulisan ini akan melihat betapa urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberantasan korupsi, setidaknya sampai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis, dan struktural.
Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan "politik benteng" pada 1950-an. Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wirausaha secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan entrepreneurdalam bilangan jari.
Dalam banyak kasus pascanasionalisasi perusahaan asing dengan dibentuknya perusahaan negara, banyak oknum pemerintah, militer, dan politisi yang menjadikan "sapi perahan" perusahaan pelat merah itu. Pada masa pemerintahan Orde Baru, menurut Prof Sumitro Djojohadikusumo, negara rugi 30 persen dari anggaran negara dengan modus KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) di berbagai sektor pemerintahan (yang umumnya berkolusi dengan pihak swasta) serta munculnya banyak kasus "mafia peradilan".
Sejak era Reformasi terjadi "pengembangbiakan" (ramification) tindak korupsi, yang bukan hanya di pemerintahan dan peradilan pusat, tapi menjalar ke pemerintahan dan yudikatif di daerah. Juga di lingkungan legislatif pusat maupun daerah (tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten).
Catatan tentang indeks persepsi korupsi (CPI), pada masa Orde Baru rata-rata di bawah 20. Saat itu tercatat sebagai negara paling korup di Asia. CPI pada 2013 naik menjadi 36. Dengan kemajuan ini, peran KPK sangat besar. Di samping peran pengawasan yang beragam, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), media, watchdog/anti - korupsi, LSM mulai berjalannya checks and balances DPR, serta kemajuan pelaksanaan good governance (misalnya e-procurement, reformasi birokrasi).
Namun, sistem pemberantasan korupsi dalam mendukung subsistem yang dapat mengefektifkan pemberantasan bahkan pencegahan korupsi, guna menciptakan stabilitas politik terkait ketahanan nasional dirasakan masih banyak kekurangan. Misalnya bagaimana menciptakan koordinasi antara KPK dan penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian sehingga tidak saling tumpang tindih.
Dalam hal ini diperlukan penguatan leadershipdalam pemberantasan dan pencegahan korupsi yang mampu mencegah "saling mengkriminalisasi" antarpenegak hukum. Begitu juga memperkuat pengawasan masyarakat dengan mendorong pelembagaan akses informasi di lingkungan badan publik dan masyarakat serta media massa. Juga membuka ruang partisipasi masyarakat untuk mengawasi kegiatan barang dan jasa.
Penerapan code of conduct yang meluas dalam pemerintahan, legislatif, dan yudikatif di pusat maupun daerah. Juga mendorong sektor swasta makin menerapkan fair competition(mencegah monopoli/oligopoli dan monopsoni/oligopsoni). Juga mempercepat reformasi birokrasi, memperkuat penegakan hukum dan peradilan daerah, menciptakan efek jera dengan penerapan hukuman mati untuk tindak korupsi skala mega, pemiskinan koruptor, pencabutan hak politik, memperkuat sanksi sosial.
Modus baru korupsi sejak era Reformasi dan demokrasi yang sangat menghawatirkan adalah akibat "high cost of politics" dari sistem politik yang berkembang (sistem multipartai) di pemilu presiden, DPR, pilkada gubernur dengan DPRD-nya maupun pilkada wali kota dan bupati dengan DPRD-nya. Hal ini berdampak biaya tinggi untuk persiapan, pelaksanaan, pascaterpilih hingga berlanjut pada para kontestan untuk menggunakan APBN, APBD provinsi, APBD kota dan kabupaten sebagai `objek korupsi'.
Modus sekadar untuk mengembalikan utang waktu pemilu maupun mempertahankan supaya terpilih lagi hingga modus memperkaya diri. Dampak lebih luasnya adalah eksploitasi sumber daya alam pertambangan, perkebunan, kelautan secara semena-mena dengan berkolusi antara "pemegang otoritas dan pengusaha". Dampaknya pada kerugian negara yang berkali lipat secara finansial maupun rusaknya sumber daya alam.
Pada akhirnya berakibat "rusaknya tingkat kepercayaan" (distrust) terhadap kaum elite di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif, di pusat maupun daerah.
Kondisi ini sangat rentan menciptakan instabilitas politik yang berimbas turunnya ketahanan nasional.
Korupsi merupakan extraordinary crimes yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menyebabkan negara kesulitan memecahkan problem sosial-ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan), sosial-politik (rendahnya kualitas birokrasi, pemerintahan, parlemen, dan peradilan) sosial-budaya (rendahnya etos kerja, karakter, akhlak penyelenggara pelayanan publik), dan hukum (sulitnya penegakan hukum dan memperoleh keadilan).
Kesemuanya akan berujung pada rendahnya kualitas dan keberlanjutan pembangunan. Karena itu, diperlukan perbaikan secara komprehensif dalam sistem pemberantasan korupsi.
Idealnya, ada grand design beserta blue print dalam mencapai tingkat korupsi serendah-rendahnya dengan menjadikan korupsi musuh bersama secara nasional. Apalagi dalam menghadapi proses globalisasi yang bukan hanya berarti makin tajamnya persaingan antarbangsa dalam perdagangan dan ekonomi, tapi juga makin diterapkannya ratingdan index dalam banyak aspek (tingkat korupsi, daya saing, investasi, kepercayaan bisnis dan konsumen, birokrasi, demokrasi, tata kelola pemerintahan, korporasi dan civil society, perlemen, peradilan, perguruan tinggi).
Semua rating itu mempunyai mata rantai pencapaian "peradaban bersih" atau "zero corruption". Makin rendahnya korupsi, akan makin tinggi ratingnya. pengefektifan sistem pemberantasan korupsi seyogianya makin menjadi prioritas menghadapi pergaulan antarbangsa yang akan berdampak pada stabilitas politik nasional.
Peran KPK dalam segala perspektifnya, sangat penting dan strategis. Mudah-mudahan upaya pelemahan, apalagi penghentian peran KPK, betapa pun ada alasan, misalnya, tentang terganggunya proses pembangunan ekonomi, segera dihentikan. Sebab, manfaat keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi jauh lebih besar dibanding mudaratnya. Meskipun ada revisi UU KPK nantinya, justru untuk lebih memperkuat dan menyempurnakannya. Semoga.
DIDIN S DAMANHURI
Tenaga Ahli Lemhannas RI, Guru Besar IPB
Rancangan Undang- Undang Revisi Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) akhirnya ditunda. Penyebabnya bisa jadi karena reaksi publik yang begitu keras dan masif terhadap rencana pembatasan waktu maupun diperetelinya instrumen strategis KPK, misalnya, tentang hak penyadapan.
Untuk sementara bagi para pegiat anti-korupsi, ini melegakan. Namun, harus dijelaskan seluas mungkin kepada publik tentang peran strategis KPK bagi bangsa dalam membangun peradaban bersih ke depan.
Tulisan ini akan melihat betapa urgennya mempertahankan peran KPK dalam pemberantasan korupsi, setidaknya sampai publik menyimpulkan meski ada korupsi, tapi sudah bersifat kasuistik. Tidak seperti sekarang ini sangat masif, sistematis, dan struktural.
Korupsi di Indonesia telah berjalan sangat panjang, praktis tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, yakni sejak penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan "politik benteng" pada 1950-an. Kebijakan yang semula untuk membangun lapisan kaum wirausaha secara masif, dihentikan karena gagal dan hanya mampu menciptakan entrepreneurdalam bilangan jari.
Dalam banyak kasus pascanasionalisasi perusahaan asing dengan dibentuknya perusahaan negara, banyak oknum pemerintah, militer, dan politisi yang menjadikan "sapi perahan" perusahaan pelat merah itu. Pada masa pemerintahan Orde Baru, menurut Prof Sumitro Djojohadikusumo, negara rugi 30 persen dari anggaran negara dengan modus KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) di berbagai sektor pemerintahan (yang umumnya berkolusi dengan pihak swasta) serta munculnya banyak kasus "mafia peradilan".
Sejak era Reformasi terjadi "pengembangbiakan" (ramification) tindak korupsi, yang bukan hanya di pemerintahan dan peradilan pusat, tapi menjalar ke pemerintahan dan yudikatif di daerah. Juga di lingkungan legislatif pusat maupun daerah (tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten).
Catatan tentang indeks persepsi korupsi (CPI), pada masa Orde Baru rata-rata di bawah 20. Saat itu tercatat sebagai negara paling korup di Asia. CPI pada 2013 naik menjadi 36. Dengan kemajuan ini, peran KPK sangat besar. Di samping peran pengawasan yang beragam, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), media, watchdog/anti - korupsi, LSM mulai berjalannya checks and balances DPR, serta kemajuan pelaksanaan good governance (misalnya e-procurement, reformasi birokrasi).
Namun, sistem pemberantasan korupsi dalam mendukung subsistem yang dapat mengefektifkan pemberantasan bahkan pencegahan korupsi, guna menciptakan stabilitas politik terkait ketahanan nasional dirasakan masih banyak kekurangan. Misalnya bagaimana menciptakan koordinasi antara KPK dan penegak hukum lain seperti kejaksaan dan kepolisian sehingga tidak saling tumpang tindih.
Dalam hal ini diperlukan penguatan leadershipdalam pemberantasan dan pencegahan korupsi yang mampu mencegah "saling mengkriminalisasi" antarpenegak hukum. Begitu juga memperkuat pengawasan masyarakat dengan mendorong pelembagaan akses informasi di lingkungan badan publik dan masyarakat serta media massa. Juga membuka ruang partisipasi masyarakat untuk mengawasi kegiatan barang dan jasa.
Penerapan code of conduct yang meluas dalam pemerintahan, legislatif, dan yudikatif di pusat maupun daerah. Juga mendorong sektor swasta makin menerapkan fair competition(mencegah monopoli/oligopoli dan monopsoni/oligopsoni). Juga mempercepat reformasi birokrasi, memperkuat penegakan hukum dan peradilan daerah, menciptakan efek jera dengan penerapan hukuman mati untuk tindak korupsi skala mega, pemiskinan koruptor, pencabutan hak politik, memperkuat sanksi sosial.
Modus baru korupsi sejak era Reformasi dan demokrasi yang sangat menghawatirkan adalah akibat "high cost of politics" dari sistem politik yang berkembang (sistem multipartai) di pemilu presiden, DPR, pilkada gubernur dengan DPRD-nya maupun pilkada wali kota dan bupati dengan DPRD-nya. Hal ini berdampak biaya tinggi untuk persiapan, pelaksanaan, pascaterpilih hingga berlanjut pada para kontestan untuk menggunakan APBN, APBD provinsi, APBD kota dan kabupaten sebagai `objek korupsi'.
Modus sekadar untuk mengembalikan utang waktu pemilu maupun mempertahankan supaya terpilih lagi hingga modus memperkaya diri. Dampak lebih luasnya adalah eksploitasi sumber daya alam pertambangan, perkebunan, kelautan secara semena-mena dengan berkolusi antara "pemegang otoritas dan pengusaha". Dampaknya pada kerugian negara yang berkali lipat secara finansial maupun rusaknya sumber daya alam.
Pada akhirnya berakibat "rusaknya tingkat kepercayaan" (distrust) terhadap kaum elite di pemerintahan, legislatif maupun yudikatif, di pusat maupun daerah.
Kondisi ini sangat rentan menciptakan instabilitas politik yang berimbas turunnya ketahanan nasional.
Korupsi merupakan extraordinary crimes yang merusak sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menyebabkan negara kesulitan memecahkan problem sosial-ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan), sosial-politik (rendahnya kualitas birokrasi, pemerintahan, parlemen, dan peradilan) sosial-budaya (rendahnya etos kerja, karakter, akhlak penyelenggara pelayanan publik), dan hukum (sulitnya penegakan hukum dan memperoleh keadilan).
Kesemuanya akan berujung pada rendahnya kualitas dan keberlanjutan pembangunan. Karena itu, diperlukan perbaikan secara komprehensif dalam sistem pemberantasan korupsi.
Idealnya, ada grand design beserta blue print dalam mencapai tingkat korupsi serendah-rendahnya dengan menjadikan korupsi musuh bersama secara nasional. Apalagi dalam menghadapi proses globalisasi yang bukan hanya berarti makin tajamnya persaingan antarbangsa dalam perdagangan dan ekonomi, tapi juga makin diterapkannya ratingdan index dalam banyak aspek (tingkat korupsi, daya saing, investasi, kepercayaan bisnis dan konsumen, birokrasi, demokrasi, tata kelola pemerintahan, korporasi dan civil society, perlemen, peradilan, perguruan tinggi).
Semua rating itu mempunyai mata rantai pencapaian "peradaban bersih" atau "zero corruption". Makin rendahnya korupsi, akan makin tinggi ratingnya. pengefektifan sistem pemberantasan korupsi seyogianya makin menjadi prioritas menghadapi pergaulan antarbangsa yang akan berdampak pada stabilitas politik nasional.
Peran KPK dalam segala perspektifnya, sangat penting dan strategis. Mudah-mudahan upaya pelemahan, apalagi penghentian peran KPK, betapa pun ada alasan, misalnya, tentang terganggunya proses pembangunan ekonomi, segera dihentikan. Sebab, manfaat keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi jauh lebih besar dibanding mudaratnya. Meskipun ada revisi UU KPK nantinya, justru untuk lebih memperkuat dan menyempurnakannya. Semoga.
DIDIN S DAMANHURI
Tenaga Ahli Lemhannas RI, Guru Besar IPB
No comments:
Post a Comment