Rizal Sukma
Kompas Cetak |
Perkembangan kawasan Asia Pasifik belakangan ini semakin menegaskan
perubahan dan transformasi strategis di lingkungan internasional
Indonesia. Pergeseran pusat gravitasi geopolitik dan geo-ekonomi dunia
ke kawasan ini merupakan aspek yang paling nyata dari transformasi
tersebut.
Indonesia sebagai negara yang secara geografis berada di pusat Asia
Pasifik akan dihadapkan pada sejumlah tantangan geopolitik yang rumit,
yang bersumber dari tiga kecenderungan penting di kawasan ini.
Pertama, kebangkitan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai kekuatan
pesaing dan pengimbang Amerika Serikat semakin nyata. Peran dan pengaruh
RRT sebagai kekuatan besar di kawasan juga makin terasa. Sementara itu,
sebagai adidaya global, AS tetap akan mempertahankan supremasinya di
kawasan.
Masa depan Asia Pasifik akan banyak dipengaruhi bagaimana kedua
kekuatan besar ini menge- lola hubungan strategis mereka. Memosisikan
diri secara tepat di antara dua raksasa ini menjadi tantangan bagi
Indonesia.
Kedua, di samping kompleksitas dalam hubungan AS-RRT, kawasan Asia
Pasifik sendiri dihadapkan pada rumitnya dinamika hubungan antara RRT,
India, dan Jepang. Rivalitas dan ketegangan dalam hubungan RRT-Jepang
semakin mengkhawatirkan.
Hubungan India-RRT juga masih diwarnai ketidakpastian dan sikap saling
curiga. Pada saat yang sama, RRT tentu akan merasa terganggu dengan
menguatkan kerja sama strategis India-Jepang. Akibatnya, kawasan Asia
Pasifik juga menyimpan potensi konflik dalam hubungan segitiga
Jepang-RRT-India.
Ketiga, rivalitas dalam hubungan AS-RRT dan segitiga Jepang-RRT-India
akan termanifestasi secara nyata di dua front: darat dan laut.
Ajang tarung
Di darat, keempat negara besar itu cenderung menjadikan kawasan Asia
Tenggara sebagai ajang pertarungan pengaruh di antara mereka. Perbedaan
orien- tasi strategis di antara negara-negara ASEAN, yang sejak
berdirinya organisasi ini belum pernah terselesaikan sampai sekarang,
akan kembali menajam akibat perebutan pengaruh itu. Akibatnya, persatuan
ASEAN akan terancam dan sentralitas ASEAN akan menjadi retorika semata.
Di laut, rivalitas itu akan terfokus di dua samudra, Pasifik dan
Hindia. Kehadiran militer negara-negara besar di dua samudra itu
cenderung meningkat untuk memastikan penguasaan dan akses maritim untuk
kepentingan militer dan perdagangan mereka.
Laut Tiongkok Selatan akan semakin penting secara strategis.
Negara-negara besar akan melihat bahwa konflik tersebut pada akhirnya
akan mengganggu kepentingan nasional mereka. Akibatnya, sengketa Laut
Tiongkok Selatan yang melibatkan negara-negara besar akan menjadi flash point yang dapat merusak stabilitas di kawasan.
Ketiga kecenderungan yang digambarkan di atas melahirkan tiga tantangan geopolitik bagi Indonesia.
Pertama, Indonesia harus memastikan bahwa dirinya tidak akan terseret
dalam rivalitas di antara negara-negara besar itu. Memihak salah satu
pihak dalam rivalitas antara AS dan RRT, misalnya, akan menjadikan
Indonesia sebagai bidak salah satu negara besar itu. Posisi memihak
secara prinsipal jelas bertentangan dengan prinsip bebas-aktif dan akan
merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Kedua, sebagai negara terbesar dan primus inter pares di
ASEAN, Indonesia berkewajiban mencegah kawasan Asia Tenggara menjadi
ajang perebutan pengaruh negara-negara besar. Otonomi strategis ASEAN,
yang hanya dapat diwujudkan melalui penguatan persatuan ASEAN, adalah
kepentingan strategis Indonesia yang tidak bisa ditawar-tawar. Indonesia
berkewajiban memastikan bahwa sentralitas ASEAN tetap jadi kunci bagi
perdamaian Asia Pasifik.
Ketiga, sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak tepat
di antara dua samudra strategis (Samudra Pasifik dan Samudra Hindia),
Indonesia berkewajiban memastikan terjaminnya stabilitas, perdamaian,
keamanan, dan kebebasan navigasi di kedua samudra tersebut, khususnya di
kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Oleh karena itu, Indonesia tak punya pilihan lain kecuali aktif dalam mengelola konflik di Laut Tiongkok Selatan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah Indonesia sudah memiliki
peta jalan yang memuat strategi dan kebijakan untuk menjawab ketiga
tantangan geopolitik itu?
Pada tataran strategi raya, Presiden Joko Widodo melalui artikulasi
doktrin Poros Maritim Dunia telah memberikan acuan dan basis bagi
perumusan peta jalan dimaksud.
Yang masih ditunggu adalah bagaimana doktrin itu dituangkan dalam sebuah strategi dan kebijakan nasional.
Rizal Sukma, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Indonesia
No comments:
Post a Comment