Fachry Ali
Kompas Cetak |
Di luar perkiraan banyak orang, sampai
sembilan bulan terakhir ini pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak
terkendala ”politik”. Yang dimaksud ”politik” di sini adalah relasi dan
dinamika hubungan antara DPR (parlemen) dan lembaga kepresidenan.
Lalu, apa yang sebenarnya dihadapi Indonesia dewasa ini?
Sabtu, 22 Agustus lalu, Kompas memberitakan bahwa sehari
sebelumnya (21/8), ”investor asing membukukan penjualan bersih Rp 770,1
miliar.” Artinya, telah terjadi ”pelarian modal” dari pasar saham lebih
dari setengah triliun hanya dalam satu hari. Sejak awal 2015, Kompas menyatakan aksi ”pelarian modal” ini mencapai Rp 4,379 triliun. Secara keselu- ruhan, The Wall Street Journal
(25/8) menyatakan, sejak Januari-Juli 2015 sebesar 26 miliar dollar AS
telah keluar dari pasar negara-negara berkembang. Ini menjelaskan
mengapa nilai tukar rupiah terjungkal hingga Rp 14.000 per dollar AS dan
kapitalisasi pasar saham Indonesia pekan lalu turun dari Rp 4,595
triliun menjadi Rp 4,490 triliun.
Apa kaitannya ini dengan dunia politik? Dalam The Economics of Money, Banking and Financial Markets
(1997), Frederic S Mishkin menyatakan bahwa pasar modal sangat penting
dalam aktivitas ekonomi. Mengapa? Karena melalui pasar modal korporasi
dan pemerintah mampu meminjam untuk membiayai aktivitas mereka. Dan, ini
penting,melalui pasar modal itu juga tingkat suku bunga ditentukan.
Pentingnya penentuan suku bunga adalah karena pada tingkat perorangan,
tingginya tingkat bunga mencegah seseorang membeli rumah atau mobil
karena cost of money (bunga kredit) tinggi. Sebaliknya, suku
bunga tinggi mendorong orang menabung karena berharap tambahan laba dari
bank. Secara keseluruhan, kesehatan ekonomi akan terpengaruh dengan
kebijakan suku bunga tinggi. Sebab, kebijakan itu bukan saja mendikte
keinginan konsumen berbelanja atau menabung, tetapi juga keputusan
investasi di dalam dunia usaha. Kesimpulannya, aksi ”pelarian modal” di
pasar modal Indonesia bukan saja mencerminkan sesuatu yang tak positif,
tapi juga telah memaksa Bank Indonesia (BI), sebagai bank sentral,
mempertahankan suku bunga tinggi di dalam rapat dewan gubernur baru-baru
ini.
Berkaitan dengan politik
Akibat melemahnya pasar modal dan tingginya suku bunga adalah
kelangkaan likuiditas. Sementara yang pertama menyebabkan kekeringan
dana non-perbankan yang bisa disalurkan kepada korporasi dan pemerintah,
yang kedua menimbulkan credit crunch—seretnya aliran kredit. Ujungnya, kinerja ekonomi melemah dan sasaran pertumbuhan tak bisa dicapai.
Dalam situasi legitimasi pemerintah tergantung keberhasilan pembangunan
material, meredupnya kinerja pasar modal berkaitan dengan politik.
Sebab, jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), ”pelarian modal” dan
tingginya suku bunga segera terkonversikan ke dalam market players’ political vote
(pilihan politik para pemain pasar), justru setelah siklus pemilihan
politik riil telah berakhir. Berbeda umumnya dengan ”pemilih politik”, market players’ political vote
secara teknikal lebih bersifat kalkulatif. Kecuali kemampuan teknikal
dan profesionalisme pemerintah, ideologi dan popularitas tidak dijadikan
landasan pertimbangan.
Lalu, apa hubungannya dengan negara, sebagaimana judul artikel ini?
Sabtu, 22 Agustus, The Jakarta Post memberitakan gambaran tak
positif di pasar modal itu berkaitan pelemahan mata uang Tiongkok, yuan,
dan kemungkinan Amerika Serikat menaikkan suku bunga pada September
ini. Selasa, 25 Agustus, koran yang sama bahkan membuat judul khusus
atas peristiwa moneter ini: Rupiah Slides Past 14,000 per Dollar.
Mengingat apresiasi dollar AS terhadap rupiah secara tak
berpreseden—sejak krisis 1997-1998— ini segera berpengaruh terhadap
otoritas politik domestik, tak bisa termungkiri bahwa kedaulatan negara
otomatis terkurangi dengan peristiwa moneter ini.
Dalam The Retreat of the State: The Diffusion of Power in the World Economy
(1996), Susan Strange melihat gejala kurang otonomnya negara telah
berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Di masa Mesopotamia dan Amerika
Tengah, negara tergantung takhayul-takhayul ahli agama. Maka,
mengharapkan otonomi negara dalam perkembangan ekonomi internasional
saat ini jadi tak realistis. Sejak lama, aktor- aktor non-negara
memainkan peran lebih penting dalam tiga struktur utama politik-ekonomi
internasional: produksi, finansial, dan pengetahuan. Aktor-aktor
non-negaralah yangmenentukan dalam memilih siapa dapat akses kredit,
yang beruntung dan rugi dalam perjudian finansial internasional, dan
menentukan pengetahuan apa yang harus dicari, oleh siapa dan kepada
siapa pengetahuan itu boleh atau tidak boleh dikomunikasikan.
Pengurangan otonomi negara dalam peristiwa moneter internasional ini
bahkan melanda AS dan Tiongkok sendiri. Berbeda jauh dengan BI yang
mengambil keputusan tingkat suku bunga dalam sekali rapat dewan
gubernur, The Wall Street Journal (21-23 Agustus) memberitakan
Gubernur The Fed Janet Yellen masih terombang-ambing dalam mengambil
keputusan menaikkan suku bunga jangka pendek karena di samping kalkulasi
dampaknya pada perekonomian domestik, mempertimbangkan efek devaluasi
yuan.
Bank sentral Tiongkok, The People’s Bank of China (PBOC), di pihak lain, berusaha menurunkan cadangan minimum wajib (reserve requirement)
perbankan setengah persen guna melepaskan dana dalam bentuk kredit
sebesar 678 miliar yuan (106.2 miliar dollar) ke dalam perekonomiannya.
Tetapi, pada 24 Agustus, koran yang sama memberitakan dilema PBOC atas
efek kebijakan uang longgar ini. Yuan yang telah terdepresiasi beberapa
pekan lalu akan kian tertekan dengan penggelontoran kredit dalam jumlah
raksasa itu.
Di sini berlaku apa yang dinyatakan Jonathan David Aronson pada 1977. Dalam bukunya Money and Power: Bank and the World Monetary System,
Aronson berkata bahwa gerak tak terkontrol pasar modal internasional
akibat tindakan bank telah membatasi kemampuan pemerintah secara politik
mencegah penyesuaian-penyesuaian kurs valuta yang tak dikehendaki, di
mana bank tak bisa dipersalahkan. Dua negara adidaya dunia di atas
bahkan tidak otonom menentukan kebijakan moneternya sendiri.
Jika AS dan Tiongkok saja tak mampu tegak secara otonom dalam peristiwa
moneter itu, apalagi Indonesia. Mengikuti kriteria negara kuat Joel
Migdal, Indonesia sulit dimasukkan ke dalamnya. Dalam karyanya Strong Societies and Weak States
(1988), Migdal memasukkan kemampuan penetrasi ke dalam masyarakat,
pengaturan hubungan-hubungan sosial, menggali sumber daya dan
menggunakan sumber-sumber daya itu dalam cara yang telah ditetapkan atau
direncanakan sebagai negara kuat. Dengan melihat persebaran jaringan
birokrasi dan lembaga- lembaga penegakan hukum, kriteria pertama dan
kedua ”relatif” bisa ditempelkan ke dalam kinerja negara di Indonesia.
Namun, kriteria ketiga dan keempat bersifat problematik. Sebab, dalam
hal mengejar target pajak, satu hal tergolong dalam ”kemampuan
penggalian sumber daya”, misalnya, tak pernah terpenuhi dengan sempurna.
Apalagi yang keempat, di mana kemampuan kontrol dan penggunaan efektif
sumber-sumber daya yang telah tersedia pun tak mampu
dilaksanakan. Secara mencolok ini terlihat pada menganggurnya dana yang
dialokasikan ke pemerintah daerah sebesar Rp 273,5 triliun. Maka, jangan
ditanya kemampuan jangkauannya atas dana undisbursed loan (kredit yang telah disetujui, tapi belum dimanfaatkan) di sektor swasta yang sampai April lalu mencapai Rp 1.163 triliun.
Menghadirkan negara
Pertanyaannya adalah apakah ada langkah yang harus ditempuh dan apa implikasi dari langkah yang diambil itu?
Melalui Kompas (26/8), Presiden Jokowi mendorong rakyat untuk
optimistis. Sebab, seluruh instrumen negara, seperti Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), BI, menteri-menteri koordinator, telah bergerak. Dan,
infrastruktur peraturan yang menghambat jalannya perekonomian telah dan
sedang dipangkas. Apakah langkah-langkah ini tegak pada landasan
strategis?
Jawabannya adalah ”ya”. Berbeda dengan masa akhir pemerintahan Soeharto
(1997-1998), langkah kebijakan Presiden Jokowi berada pada posisi lebih
strategis: absennya pergolakan politik domestik. Di samping memperoleh
dukungan penuh Koalisi Indonesia Hebat, dengan logika berada di dalam
perahu yang sama, tak ada satu pun pihak oposisi Koalisi Merah Putih
merumitkan politik domestik. Basis politik penyelesaian masalah, dengan
demikian, berada di pihak Presiden Jokowi.
Mengambil pelajaran dari Great Depression yang dimulai pada 1929, John Maynard Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menjelaskan fenomena krisis sering berlangsung dengan tiba-tiba dan, ini penting, violently (keras dan menyakitkan). Salah satu jalan mengatasi krisis itu adalah sebuah frasa yang diperkenalkannya: the propensity to consume
(kecenderungan berbelanja). Dari kategori besar kecenderungan itu, dua
hal yang perlu kita lihat dalam konteks Presiden Jokowi saat ini.
Pertama, kecenderungan belanja itu ditentukan tingkat upah seseorang.
Semakin tinggi upah akan semakin besar kemungkinan berbelanja dan
sebaliknya. Dengan asumsi tindak belanja mendorong kinerja ekonomi,
menstabilkan penyerapan tenaga kerja adalah tindakan yang tepat.
Persoalannya, bagaimana menjaga kestabilan itu jika perekonomian
meredup dan suku bunga tinggi sehingga aktor ekonomi swasta tak
mauberinvestasi? Di sini, Keynes tak berharap kepada sektor swasta. ”I conclude that the duty of ordering the current volume of investment cannot safely be left in private hands.”
Maka, penting melihat hal kedua: peran negara melalui kebijakan fiskal.
Di sini, dua hal perlu dilihat. Pertama, nada ”sosialistis” Keynes
dalam penanganan fiskal: ”Jika kebijakan fiskal digunakan sebagai alat
khusus bagi pembagian pendapatan yang lebih merata,” ujarnya,
”pengaruhnya atas kenaikan aksi belanja sangat nyata.” Kedua adalah
belanja pemerintah untuk investasi. Di sini, dalam keadaan di mana
sektor swasta tak mau bertindak, maka ujar Keynes, ”mengambil tanggung
jawab lebih besar secara langsung mengorganisasikan investasi.”
Dalam bukunya Keynes and After (1988), Micheal Stewart melihat
justru AS, dan bukan Inggris, yang berbagi pandangan dengan Keynes.
Walau dianggap benteng kapitalis, AS mengerahkan sumber daya fiskal
melaksanakan New Deal pada 1933 di bawah Presiden Roosevelt.
Sebuah program raksasa yang dilakukan negaramembangun infrastruktur
semacam ”padat karya” yang mendorong kenaikan upah untuk konsumsi, yang
pada akhirnya membujuk kaum swasta berinvestasi. Program yang
menghadirkan negara ke dalam perekonomian secara lebih dalam ini, walau
mulanya dianggap tindakan bunuh diri, berhasil meletakkan dasar
penyelesai krisis ekonomi yang ditelurkan Great Depression.
Kurang lebih, dengan berbagai variasinya, kondisi inilah yang menjadi setting
politik-ekonomi negara di bawah Jokowi dewasa ini. Maka, program
pembangunan infrastruktur yang dibebankan kepada Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat yang anggarannya mencapai Rp 118,5 triliun
pada dasarnya adalah langkah strategis negara, sebagaimana dibuktikan AS
pada 1930-an. Ramifikasi pengaruh konstruktif pembangunan infrastruktur
ini akan melancarkan gerak roda perekonomian.
Jika program ini berhasil, di tengah absennya partisipasi swasta,
negara di bawah Jokowi akan tampak lebih dominan di dalam perekonomian
tanpa harus melakukan pendekatan keamanan, seperti di era Orde Baru. Di
sini, demokrasi dan pembangunan ekonomi akan berjalan seiring.
Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha
No comments:
Post a Comment