(Kompas, 18 September 2002)
OLEH ULIL ABSHAR ABDALLA
SAYA meletakkan Islam
pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang
berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah
monument mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung”
indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk
“me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang
dikemukakan untuk manandingi kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok
pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran
Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat
dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan
sederhana, take it or leave it!Islam yang disuguhkan dengan cara
demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju
kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini.
Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang
non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan denyut nadi peradaban
manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang
dapat memisahkan mana unsure-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat,
dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana
ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam
pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks
tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi,
bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya dan kita tidak
diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan
cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab,
potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti,
karena itu hanya ekspresi lokal particular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah
nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah
mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency).
Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan
kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, Umat Islam hendaknya
tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari
golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan
oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan
berlawanan dengan Islam.
Larangan kawin beda agama, dalam
hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan
lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran
menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa
melihat perbedaan agama. Segala produk hokum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan
struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana
kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan
public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur
demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk
nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya
particular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut saya, tidak ada yang disebut
“hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam.
Misalnya, hokum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan,
dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam
tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy
syari’ah atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah
perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga / keturunan,
dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks
sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA meletakkan kedudukan
Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul
Muhammad SAW adalah tokoh histories yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga
tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek
beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang
harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana mengikuti Rasul? Di
sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha
menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu
menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita
sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di
sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak diwajibkan mengikuti
Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya
menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana
dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara
“yang universal” dengan “yang partikular”.
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari
formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka
sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan
menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk
menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di
Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir
di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak
sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia
terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak
berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu
verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal
manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah
manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu
Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang
merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli
agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat
tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap
unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya
manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu
pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling
benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua
sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan
hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan
sudut pandangnya sendiri, yang harus di-“lawan” adalah setiap usaha untuk
memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh
lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai
Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir
lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha,
Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa
jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi memandang bentuk,
tetapi isi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut oleh orang-orang yang
menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang
penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai
karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai
baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama
adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok:
penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di mana umat beragama
menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul
karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tiak layak lagi
untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua agama adalah
“ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi Islam yang
saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di
muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang
budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara
jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya
amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya
dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk system dan aturan main,
undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam,
bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah
yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam
menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat
Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa
diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hokum Tuhan” (sekali lagi: saya
tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai
ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk pada hukum-hukum atau sunnah yang
telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik
mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang
sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Kata Nabi, konon, man
aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradad akhirata fa’alihi
bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya
memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”,
juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena
merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada
masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat
kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut
berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang
mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer,
yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan
nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai
itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam
periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia
itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah
suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk
menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan
memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam
sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau
lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme
dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi
sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan”
semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi
menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan
serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya
sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwal suatu
doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan
bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia
dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang
disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak
membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan
Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran
yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian
adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri,
nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga
dunia yang satu.
Pemisah antara “kami” dan
“mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran
bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi
juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan
lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.
Ilmu Tuhan adalah penjumlahan
dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau
“Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia,
serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab
apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri
sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam.
Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir
yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya
lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang
sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan
mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3
: 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai , “Sesungguhnya jalan religiusitas
yang benar adalah proses yang-tak-pernah selesai menuju
ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan
kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu,
jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah
benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam
menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang
sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada
ujungnya.
Maka, fastabiqul khairat,
kata Quran (QS 2 : 148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas
itu.
Syarat dasar memahami Islam yang
tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas
agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia
itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat
umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara
kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri
sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hokum manusia, bukan
hukum Tuhan, karena manusistake holder yang berkepentingan dalam
semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada
suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia
itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini
adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih
segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahatmanusia. Mari kita
tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia
itu sendiri.
__________________________
ULIL ABSHAR-ABDALLA
Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta
No comments:
Post a Comment