Tommi A Legowo
KOMPAS Cetak |
Ade Komarudin telah ditetapkan sebagai
ketua menggantikan posisi yang ditinggalkan Setya Novanto dalam
kepemimpinan DPR 2014-2019. Apa saja tantangan yang dihadapinya dan
sejauh mana potensi mengatasi tantangan-tantangan itu menjadi kinerja
yang bermutu dan bertanggung jawab untuk penyelenggaraan peran
perwakilan rakyat?
Pertama, harus dicatat bahwa Ade menempati posisi itu dengan iringan
kontroversi karena masalah internal partai politik induknya, yaitu
perpecahan Partai Golkar. Meski sampai saat ini Ade berkubu dari belahan
Partai Golkar yang secara faktual ”menguasai legalitas” kursi DPR, tak
bisa dimungkiri, konflik parpol berlambang pohon beringin ini belum
sampai pada penyelesaian yang tuntas.
Tampaknya tak terelakkan, tentangan dari kubu belahan Golkar lain akan
terus menghardik Ade dari posisi Ketua DPR. Posisi ini sejak awal telah
menjadi bagian dari konflik internal Golkar yang ditandai dengan
diajukannya Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai calon ketua DPR oleh kubu
belahan lain. Ini berbeda dengan posisi kepala/wakil kepala daerah pada
pilkada serentak 2015 yang secara pragmatis menjadi bagian dari
penyelesaian konflik Golkar meski bersifat sangat sementara.
Ade harus dapat membebaskan diri dan bertahan dari imbas konflik
internal parpol induknya ini untuk bisa menyelesaikan kepemimpinan DPR
secara paripurna. Sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda
rekonsiliasi antara Ade dan Agus sebagai upaya mempersatukan Partai
Golkar di DPR. Ini juga menyuratkan kelemahan kepemimpinan Ade di DPR
akan menjadi ”amunisi” bagi seteru internal untuk menggoyangnya.
Kedua, meski telah makan asam garam sebagai anggota dan unsur pimpinan
pada level menengah di DPR, Ade adalah pendatang baru di kalangan
pimpinan DPR 2014-2019. Meski begitu, Ade langsung menduduki pucuk
tertinggi sebagai ketua di kalangan pimpinan itu. Tentu keadaan ini
menghadirkan suasana yang tricky dalam hubungan antara Ade dan empat unsur pimpinan DPR lain.
Soliditas unsur pimpinan
Tak termungkiri, satu tahun masa kepemimpinan Setya Novanto telah
menghasilkan soliditas yang relatif kuat di antara unsur-unsur pimpinan
DPR meski tak semua unsur pimpinan itu berasal dari satu kubu Koalisi
Merah Putih (KMP). Agus Hermanto adalah satu unsur pimpinan DPR dari
Fraksi Partai Demokrat yang tak berkubu di KMP ataupun Koalisi Indonesia
Hebat.
Soliditas pimpinan itu tecermin dari pembagian kerja yang tak pernah
ada masalah di antara unsur-unsur pimpinan itu. Masing-masing menjadi
koordinator empat kelompok bidang kerja: politik, hukum, dan keamanan;
industri dan pembangunan; kesejahteraan rakyat; serta ekonomi dan
keuangan. Ketua DPR adalah koordinator umum atas kelompok-kelompok
bidang itu.
Cerminan lain dari soliditas itu terlihat dari kuatnya ”saling
pengertian” di antara mereka. Ini tidak hanya ditunjukkan dari kesediaan
satu atau beberapa unsur pimpinan untuk mengisi kekosongan peran atau
fungsi di DPR yang ditinggalkan satu atau beberapa unsur pimpinan lain
karena kesibukan lain di dalam dan/atau di luar gedung DPR. Akan tetapi,
itu juga terlihat dari kerelaan masing-masing untuk ”pasang badan”
menutup-nutupi kekurangan dan/atau kesalahan yang lain.
Kegiatan pasang badan itu terlihat secara kasatmata pada upaya
pembelaan langsung ataupun tak langsung terhadap dan saat Setya Novanto
tengah diadili Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus pelanggaran
etika ”papa minta saham”. Bahkan, seorang wakil pemimpin DPR, Fahri
Hamzah, rela melakukan pasang badan itu dengan risiko ”melanggar” Kode
Etik DPR, seperti telah diadukan ke MKD oleh anggota DPR, Akbar Faizal.
Contoh mutakhir soliditas ini terkuak juga dalam pembelaan Fadli Zon
terhadap Fahri Hamzah yang tengah menghadapi desakan mundur dari kursi
pimpinan DPR oleh sejumlah kader dan pimpinan parpol induknya, PKS.
Tantangan Ade
Pertanyaannya, apakah Ade akan menjadi bagian dari soliditas itu
ataukah sebaliknya, dia akan menjadi ancaman terhadap soliditas itu? Tak
mudah ditebak. Namun, rekam jejaknya yang menyatakan sebagai tokoh
politisi yang relatif bersih, berkinerja, dan bertanggung jawab membawa
peluang bagi Ade untuk membangun soliditas baru yang mengarah pada
kepemimpinan DPR yang teruji dan terpuji (tepercaya). Soliditas baru
semacam ini tampaknya merupakan kebutuhan yang dinanti rakyat sebagai
terobosan yang menegasi ketercemaran kepemimpinan DPR masa lalu oleh
sejumlah pelanggaran etika unsur-unsurnya.
Pasti ini bukan pekerjaan mudah bagi Ade untuk mewujudkannya. Secara
tak langsung ini menyiratkan bahwa pertaruhan politik yang dibawanya
adalah kegagalan membangun soliditas baru untuk kepemimpinan DPR yang
tepercaya akan berarti sebaliknya, yakni menguatkan soliditas lama yang
bisa jadi makin membawa kepemimpinan DPR tak tepercaya di hadapan
rakyat. Jika terjadi demikian, ini akan menjadi bagian dari berlanjutnya
katastrofi perwakilan politik Indonesia di masa mendatang.
Ketiga, tantangan terberat Ade adalah membuktikan bahwa kehadirannya
sebagai pucuk pimpinan DPR dapat mengubah kinerja DPR yang sangat buruk
di tahun pertamanya menjadi kinerja yang menghadirkan perbaikan dan
kemajuan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan yang bermutu dan bertanggung jawab. Ini menuntut kemampuan
Ade sebagai tokoh politik andal untuk mengonsolidasi tekad dan elan
semua komponen Dewan yang terbagi dalam keanggotaan, alat kelengkapan
Dewan, dan segala sarana pendukung demi terpenuhinya secara nyata
penyelenggaraan peran perwakilan rakyat.
Tumpuan mengatasi tantangan terberat ini semestinya berdasar pada
keberhasilan Ade membangun soliditas baru dalam kepemimpinan Dewan.
Melalui unsur-unsur pimpinan DPR, Ade dapat mentransformasi tekad dan
elan baru kepada semua komponen Dewan. Tentu ini menuntut kerja keras
yang terfokus. Untuk tujuan ini, Ade perlu mengapitalisasi kerangka
kerja DPR yang pada substansinya telah terkonsentrasi pada pelaksanaan
tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang
diimplementasikan atas dasar hasil-hasil serap aspirasi rakyat.
Fokus ini dapat dan harus diperjelas rincian penyelenggaraannya di
dalam rencana strategis DPR yang menjadi keputusan resmi lembaga. Dengan
fokus ini, DPR dapat terbebas dari urusan dan tindakan yang tak tepat
dan/atau merengek-rengek soal fasilitas untuk kepentingannya sendiri.
Dengan cara itu, target-target kinerja perlu dirumuskan lagi (kembali)
secara lebih realistis dan menyeluruh. Selama ini, rakyat disuguhi
dengan target nominal legislasi dalam Prolegnas yang tak realistis, tak
ada target kinerja untuk fungsi anggaran dan pengawasan. Demikian juga,
Ade perlu menegaskan kesungguhan anggota DPR dalam menghimpun serap
aspirasi rakyat yang selama ini seperti diabaikan dan/atau dimanfaatkan
untuk kepentingan pragmatisme politik.
Tantangan-tantangan itu harus diatasi oleh Ade sebagai Ketua DPR.
Dengan pembuktian itu, kehadiran Ade dalam kepemimpinan baru DPR menjadi
berarti karena sungguh membawa pembaruan yang membuktikan peran
perwakilan rakyat oleh DPR memang terselenggara secara bermutu dan
bertanggung jawab untuk seluruh rakyat Indonesia.
Tommi A Legowo, Pendiri dan Peneliti Senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Kepemimpinan Baru DPR".
No comments:
Post a Comment