Ronny P Sasmita
Cetak |
Tahun 2015 yang baru saja lewat
menyisakan kenangan ketidakpastian bagi sebagian masyarakat dan kerugian
bagi sebagian investor portofolio keuangan.
Beberapa indikator ekonomi, bisnis, dan investasi menunjukkan
fakta-fakta penurunan. Akankah kisah sendu tahun lalu bakal
berulang?Baru-baru ini, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan berakselerasi pada 2016 di tengah kelesuan pertumbuhan
ekonomi global danemerging markets. Laporan bertajukGlobal Economic Prospect 2016yang
dirilis Bank Dunia memperkirakan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi
Indonesia telah mencapai titik nadir setelah menyentuh level 4,7 persen
pada 2015.
Ekonomi Tanah Air diprediksi kembali berakselerasi hingga rata-rata 5,4
persen pada 2016- 2018. Sementara, pertumbuhan PDB Indonesia diprediksi
menguat menjadi 5,3 persen pada 2016 dan 5,5 persen pada 2017. Secara
komparatif, proyeksi positif ini bertolak belakang dari prediksi
perlambatan di Thailand dari 2,5 persen pada 2015 menjadi 2,0 persen
pada 2016, Tiongkok (dari 6,9 persen menjadi 6,7 persen), atau Turki
(dari 4,2 persen menjadi 3,5 persen).
Kunci dari percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Bank
Dunia, adalah realisasi reformasi struktural yang direncanakan
Pemerintah RI. Implementasi rangkaian paket kebijakan yang diumumkan
pemerintah dinilai bisa mendongkrak aliran investasi ke Tanah Air dan
memacu ekonomi tumbuh lebih cepat. Dan, reformasi struktural itu
sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia atas sumbangan devisa
hasil ekspor komoditas yang akan terus menyusut terseret perlambatan
ekonomi Tiongkok dan pelandaian harga minyak dunia.
Pada 2015 dan 2016, sentimen global memang memunculkan nuansa minor
bagi Indonesia. Untunglah sentimen dari dalam negeri terlihat membaik.
Ekspektasi yang muncul juga terasa lebih wajar dan realistis alias tidak
berlebihan seperti tahun pertama pemerintahan Joko Widodo. Pada 2015,
pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya tercatat di kisaran 4,7
persen-4,8 persen.
Namun, pada 2016, tampaknya akan membaik. Angka pertumbuhan 5,1
persen-5,3 persen masih sangat mungkin ditorehkan. Estimasi ini harus
diakui lebih banyak disokong oleh faktor dalam negeri. Bahkan, jika
kondisi eksternal bisa lebih cepat pulih, diperkirakan pertumbuhan
Indonesia bisa lebih baik lagi.
Sumber pertumbuhan 2016
Belanja pemerintah untuk infrastruktur, kenaikan investasi langsung (direct investment),
dan membaiknya daya beli masyarakat akan menjadi tiga serangkai yang
akan menggeser angka pertumbuhan Indonesia tahun ini. Penyerapan
anggaran infrastruktur diyakini akan lebih baik setelah pemerintah
menggelar lelang proyek lebih dini.
Di sisi lain, paket kebijakan deregulasi yang digelar pemerintah pada
2015 akan menunjukkan hasil pada 2016, salah satunyaberupa kenaikan
investasi langsung. Sebagaimana telah dipaparkan Badan Koordinasi
Penanaman Modal baru-baru ini, target realisasi investasi pada 2016 akan
mencapai Rp 594,8 triliun. Target ini tercatat lebih tinggi dari tahun
lalu yang dibanderol di angka Rp 519,5 triliun.
Realisasi belanja infrastruktur dan proyeksi kenaikan investasi
langsung, ditambah pula dengan proyeksi harga energi yang lebih rendah,
tentu ujungnya diharapkan akan membuat daya beli masyarakat kembali
bergairah meski tak terlalu signifikan. Maklum, banyak dari perekonomian
daerah di Indonesia masih sangat bergantung harga komoditas.
Di aras global, faktor The Fed (bank sentral AS), perlambatan ekonomi
Tiongkok, dan mangkraknya angka pertumbuhan global masih akan menjadi
penghalang yang patut dicermati dari waktu ke waktu oleh pemerintah.
Setelah lebih dari setahun menggantung tebakan pasar keuangan seluruh
dunia, The Fed akhirnya mengambil sikap pada pengujung 2015 dengan
menaikkanfed fund rate25 basis poin pada 17 Desember 2015.
Sumber ketidakpastian
Lantas apakah ketidakpastian berakhir? Tampaknya belum. The Fed masih
akan menjadi pusat perhatian pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia.
Teka-teki kini sedikit berubah, yakni kapan dan berapa besar The Fed
bakal kembali mengerek suku bunganya? Ekspektasi ini sebagaimana
biasanya akan sejalan dengan proyeksi ekonomi AS. IMF, misalnya, yakin
ekonomi AS bisa tumbuh 2,8 persen tahun ini. Selain itu, The Fed juga
sangat bergantung kepada perkembangan data tenaga kerja (pengangguran)
dan inflasi dalam menentukan kapan dan berapa kenaikan suku bunga yang
layak.
Berdasarkan perkembangan ekonomi AS sendiri, harga komoditas, dan situasi perekonomian global,diperkirakan kenaikanfed fund rateakan
cenderung bertahap, misalnya per 25-50 basis poin sampai mencapai angka
1,375 persen di pengujung 2016 dan 2,5 persen pada pengujung 2017. Ini
artinya, sepanjang 2016 dan 2017,fed fund rateakan tetap
menjadi tebak-tebakan banyak pihak alias ketidakpastian baru yang akan
membuat ekonomi global terkatung-katung dalam tanda-tanya menjelang
pertemuan-pertemuan FOMC.
Bagi Indonesia, kenaikan suku bunga The Fed akan mengerek indeks mata
uang dollar AS. Akibatnya tentu saja rupiah akan kembali berdarah-darah.
Bagi pasar modalemerging marketseperti Indonesia, kekhawatiran dana asing bakal pulang kampung akan kembali menyeruak menghantui pasar finansial.
Di sisi yang lain, perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan tetap jadi
faktor tersendiri yang akan mengombang-ambingkan pertumbuhan ekonomi
global dan regional. Keputusan IMF memasukkan renminbi sebagai salah
satureserve currencyakhir November lalu tentu tak serta merta
menjadi pertanda baik bagi ekonomi Tiongkok. Justru banyak pihak
berkeyakinan perlambatan ekonomi yang mendera Negeri Tirai Bambu itu
bakal berlanjut pada 2016. IMF memprediksi ekonomi Tiongkok 2016 hanya
akan tumbuh 6,3 persen. Lebih lambat ketimbang prediksi pertumbuhan 2015
yang ”hanya” diprediksi 6,8 persen.
Artinya, kebutuhan Tiongkok terhadap barang impor, terutama komoditas,
termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia dan negara-negaraemerging market,
juga bakal melandai karena posisi Tiongkok yang sampai saat ini masih
berstatus salah satu importir terbesar di dunia. Penurunan permintaan
dari Tiongkok bakal membuat harga komoditas kian tertekan dan
berdarah-darah. Dengan begitu, akan cukup sulit berharap neraca ekspor
Indonesia yang didominasi komoditas menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Jadi, mau tak mau, surplus neraca perdagangan berkemungkinan besar
hanya bisa ditorehkan jika sisi impor juga ikut melemah.
Pendek kata, 2016 dalam perspektif global dan regional nyatanya juga
bak buah simalakama. Meski ekonomi Indonesia diperkirakan lebih baik
ketimbang 2015,yang berarti impor barang jadi dan kebutuhan industri
bakal lebih tinggi ketimbang sebelumnya di satu sisi, ekspor masih
berprospek ”tidak jelas”.
Apalagi, ketakutan demi ketakutan perihal ekonomi Tiongkok sudah
mulai berbukti satu demi satu. Apabila ekonomi Tiongkok terus
berkontraksi, bank sentral Tiongkok (PBoC) diperkirakan akan melakukan
intervensi dengan kembali mendevaluasi yuan seperti pada 6 Januari 2016
dan Agustus 2015. Pada hari yang sama, Bank Dunia dalam riset yang
dirilis pada Rabu (6/1) kembali memangkasoutlookpertumbuhan
ekonomi global 2016 dan 2017. Alasan yang dikemukakan salah satunya
adalahkecemasan terhadap perlambatan ekonomi Negeri Panda dan dampaknya
terhadap prospek harga komoditas.
Ronny P Sasmita, Analis Ekonomi Politik International Financeroll Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Simalakama Ekonomi 2016".
No comments:
Post a Comment