Setelah PKS Merapat ke Jokowi
Syamsuddin Haris
Cetak |
609 dibaca
1 komentar
Dinamika politik nasional
seperti tampak dari Jakarta hampir selalu menghadirkan kejutan. Ketika
Partai Amanat Nasional belum memperoleh kompensasi politik yang jelas
atas dukungannya terhadap pemerintahan Joko Widodo, Partai Keadilan
Sejahtera pun menyusul untuk merapat ke Istana. Ada apa dan ke mana
arahnya?
Sulit
dimungkiri bahwa politik Indonesia sesungguhnya relatif cair. Seperti
bunyi sebuah adagium klasik, "tidak ada musuh abadi dalam politik" atau
"tidak ada kawan sejati dalam politik". Yang hampir selalu kekal adalah
kepentingan yang sama di antara para elite politik itu sendiri.
Ironisnya, adagium yang berlaku hampir di semua rezim politik itu selalu
menjadikan rakyat dan kepentingan kolektif sebagai korbannya.
Ketegangan
politik pasca Pemilu Presiden 2014 sempat mengkhawatirkan kita semua,
tetapi akhirnya mencair setelah Prabowo Subianto turut hadir dalam
pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada
Oktober 2014. Sepanjang 2015, tarik-menarik dan ketegangan politik
antara Koalisi Merah Putih (KMP) yang menjadi oposisi dan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) sebagai gabungan parpol pendukung pemerintah
relatif dapat diredam. Melalui, antara lain, peran Luhut Binsar
Pandjaitan selaku Kepala Staf Kepresidenan, pemerintah berhasil
"menjinakkan" KMP kendati hal itu tidak sepenuhnya gratis.
Ongkos
politik dari harmoni semu relasi KMP dan pemerintah, di antaranya,
adalah pembayaran dana talangan Rp 781 miliar bagi korban lumpur Lapindo
yang bersumber dari APBN. Padahal, itu seharusnya menjadi beban PT
Lapindo Brantas, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie, Ketua
Presidium KMP.
Presiden yang kesepian
Ketika
KMP relatif dapat dijinakkan, problem terbesar Presiden Jokowi justru
datang dari dua poros kekuasaan yang menjadi basis pendukung mantan Wali
Kota Solo itu sendiri, yakni partai pengusung dan koalisi partai
pendukung. Meskipun diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
selaku parpol pemenang Pemilu Legislatif 2014 dan didukung koalisi
longgar KIH (PDI-P, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI), Jokowi pada dasarnya
adalah seorang presiden yang kesepian. Jokowi tak hanya didukung
setengah hati oleh Megawati Soekarnoputri dan PDI-P, tetapi juga
digerogoti oleh parpol pendukungnya.
Masih segar dalam memori
publik bagaimana Jokowi berjuang "sendirian" menghadapi persekongkolan
politik KMP-KIH di DPR dalam pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan
sebagai Kepala Polri. Padahal KPK telah menetapkannya sebagai tersangka,
tetapi kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Konflik
internal antara partai pengusung dan koalisi parpol pendukung Jokowi
versus Presiden Jokowi itu akhirnya berujung kompromi. Presiden atas
dukungan publik menarik kembali pencalonan mantan ajudan Presiden
Megawati itu sebagai Kepala Polri, tetapi Jokowi tetap membiarkannya
menjadi Wakil Kepala Polri.
Kasus mutakhir yang memperlihatkan
dukungan setengah hati PDI-P terhadap Jokowi adalah dibiarkannya Panitia
Khusus Angket Pelindo II yang dimotori Rieke Diah Pitaloka memberi
rekomendasi aneh bagi Presiden Jokowi, yakni mencopot Menteri BUMN Rini
Soemarno. Rekomendasi tersebut bukan hanya tidak etis dan tidak masuk
akal karena menyimpang dari otoritas DPR, melainkan juga tendensius
secara politik.
Seperti diketahui, sejak Kongres Bali, Ketua Umum
PDI-P Megawati mensinyalir ada tiga "penumpang gelap" di lingkaran
dalam Istana. Banyak kalangan menengarai bahwa tiga orang yang dimaksud
Megawati adalah Rini Soemarno, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Andi
Widjajanto yang sudah dicopot dari posisi sebagai Sekretaris Kabinet.
Rekomendasi Pansus Pelindo II tampaknya terkait erat dengan agenda
titipan partai banteng tersebut.
Selain digerogoti basis politik,
Jokowi juga tampaknya mulai mewaspadai kemungkinan adanya agenda
tersembunyi di balik kebijakan dan langkah politik para anggota
kabinetnya sendiri. Kasus "papa minta saham" yang menerpa Ketua DPR
Setya Novanto, bagaimanapun, membuka mata Jokowi untuk lebih hati-hati
terhadap orang-orang kepercayaan di lingkaran dalam Istana. Jadi,
Presiden Jokowi dihadapkan pula dengan perilaku menteri yang mencoba
turut mengail di air politik yang keruh. Kecenderungan beberapa menteri
yang secara terbuka saling menyalahkan satu sama lain tak hanya
memperkuat dugaan ini, tetapi juga memperlihatkan, Jokowi seolah-olah
berjuang sendirian.
Mengapa PKS?
Oleh
karena itu, ketika akhirnya PAN merapat ke Istana dan beberapa waktu
kemudian PKS turut menyusul, Presiden Jokowi dengan tangan terbuka dan
sukacita menyambut uluran dukungan itu. Bagi Jokowi, dukungan PAN serta
kehadiran PKS tidak hanya menjadikannya "tidak sendiri", tetapi juga
memberi ruang lebih lebar bagi mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut
untuk bermanuver lebih cerdas dalam menghadapi partai pengusung dan
koalisi parpol pendukung.
Pertanyaannya, mengapa PKS yang akhirnya
"silaturahim" ke Istana, bukan Golkar atau PPP yang sebelah kakinya
sudah mendukung Jokowi? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, secara
obyektif PKS menilai bahwa pemerintahan Jokowi-Kalla memperlihatkan
kinerja positif sehingga patut diapresiasi. Percepatan pembangunan
infrastruktur dan serangkaian paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan
pemerintah harus diakui sebagai bagian dari kinerja positif pemerintah.
Seperti sering dikemukakan para petinggi PKS, selama kebijakan
pemerintah bersifat pro rakyat, tak ada alasan bagi PKS untuk tidak
mendukungnya.
Kedua, bisa jadi PKS mulai merasa jengah juga
dengan politik KMP yang tidak jelas arahnya. Alih-alih menawarkan
kebijakan alternatif melalui mekanisme legislasi di DPR, KMP
terperangkap sebagai koalisi oposisi yang menutup diri dari aspirasi
publik. Hal ini, antara lain, tampak dari dukungan KMP terhadap Setya
Novanto, padahal secara terbuka tampak jelas bahwa mantan Ketua DPR
tersebut melakukan pelanggaran etik dalam kasus "papa minta saham".
Ketiga,
PKS, bagaimanapun, melihat pemerintah sebagai sumber daya politik dan
ekonomi terbesar bagi negeri ini sehingga secara matematis parpol yang
berada di dalam pemerintah dianggap lebih strategis dan "menguntungkan"
dibandingkan di luar pemerintah. Pengalaman manis PKS bergabung ke
pemerintah selama periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014)
sangat mungkin menjadi dasar bagi partai tarbiyah ini mengalkulasi ulang
peruntungan politiknya. Sebagai sumber daya ekonomi terbesar, pada
umumnya parpol kita berharap dapat "mengais rezeki" dari sumber-sumber
pemerintah melalui kapitalisasi jabatan publik yang disandang para kader
partai.
Keempat, di luar tiga argumen sebelumnya, Muhammad
Sohibul Iman sebagai presiden baru PKS benar-benar ingin silaturahim dan
memperkenalkan kepemimpinan baru partai berlambang padi diapit bulan
sabit berwarna kuning emas ini. Sebagai pemimpin baru PKS, Sohibul Iman
tampaknya ingin mengembalikan marwah partai yang sempat luluh lantak di
bawah kepemimpinan Luthfi Hasan Ishaaq. Seperti diketahui, sebagai
dampak kasus korupsi yang dialami mantan Presiden PKS tersebut, pada
Pemilu 2014 lalu PKS kehilangan 17 kursinya di DPR.
"Reshuffle" tanpa PKS
Walaupun
ada indikasi PKS semakin merapat ke Istana, saya berpendapat, Presiden
Jokowi belum akan mengajak PKS turut serta dalam Kabinet Kerja.
Perombakan kabinet jilid II seperti sinyal yang pernah diberikan Jokowi
sangat mungkin difokuskan pada dua target. Pertama, target percepatan
kerja dan kinerja kabinet sehingga sangat mungkin Presiden akan
mengganti menteri-menteri yang kinerjanya dianggap tidak optimal. Para
menteri yang lebih "mencari kesibukan" ketimbang benar-benar sibuk
mengimplementasikan Nawacita Jokowi-Kalla pada akhirnya akan dicopot
dari kabinet.
Kedua, target keseimbangan politik baru. Dukungan
politik PAN terhadap pemerintahan Jokowi-Kalla, bagaimanapun, ada
kompensasi politiknya dalam bentuk satu atau dua kursi kabinet. Bagi
Jokowi, dukungan dan kehadiran PAN bukan semata-mata dalam rangka
perluasan basis politik pemerintah menghadapi parlemen, melainkan juga
dalam rangka keseimbangan politik baru dalam lingkaran kekuasaan
pemerintah sendiri. Seperti diketahui, di bawah tekanan politik partai
pengusung dan koalisi parpol pendukung, Jokowi memerlukan kemitraan PAN.
Konsekuensi logisnya, jatah menteri untuk PAN berasal dari jatah
menteri koalisi parpol pendukung Jokowi atau jatah menteri dari kalangan
profesional yang tidak memiliki basis politik.
Itulah kira-kira
realitas politik yang kita hadapi hari-hari ini. Sebuah realitas yang
sangat berjarak dengan nasib sebagian rakyat kita yang sangat mungkin
tengah bertaruh nyawa dalam ketidakpastian, apakah mereka masih bisa
menatap hari esok atau tidak. Semoga saja para elite politik yang asyik
bercengkerama dan saling merajuk mempertemukan kepentingan di antara
mereka tidak melupakan untuk mencatat hal ini.
SYAMSUDDIN HARIS
Profesor Riset LIPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Setelah PKS Merapat ke Jokowi".
No comments:
Post a Comment