Prostitusi, Pejabat, Kepemerintahan
SAIFUR ROHMAN
Cetak |
325 dibaca
0 komentar
Setelah menangkap dua artis
televisi yang terlibat prostitusi (15/12/2015), polisi menyatakan
sebagian pelanggan mereka adalah sejumlah pejabat pemerintah dan tokoh
publik yang cukup dikenal masyarakat. Sejumlah aparat negara bereaksi.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meminta agar segera
diungkap apabila memang ada pejabat yang terlibat.
Kasus
pembongkaran prostitusi yang melibatkan bintang televisi swasta itu
bukanlah yang pertama terjadi. Namun, apabila pernyataan aparat dapat
dianggap sebagai petunjuk untuk menelusuri lebih jauh, bagaimana langkah
menyeluruh dan meyakinkan untuk mengikis praktik-praktik prostitusi
kelas atas tersebut? Apabila tidak dilakukan, apa dampak prostitusi
terhadap pelaksanaan hukum dan pemerintah? Sebetulnya sejak awal bisa
ditanyakan, itu sungguh-sungguh atau tidak?
Gula-gula penegakan hukum
Penanganan
aparat terhadap praktik prostitusi dalam segala tingkatan berhubungan
secara positif terhadap kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Semakin
tegas penanganan prostitusi, maka semakin baik citra aparat.
Faktanya,
selama ini penanganan prostitusi kelas atas tak ubahnya sebagai
gula-gula dalam penegakan hukum. Ada berbagai wilayah yang mungkin untuk
ditelusuri oleh aparat, tetapi tidak dilakukan. Sampai sejauh ini,
keterlibatan pejabat dalam prostitusi hanya menjadi spekulasi di
tengah-tengah masyarakat.
Dalam logika semantik yang dikembangkan
oleh Rudolf Carnap terdapat dua makna, yakni makna yang pasti dan makna
yang mungkin. Situasi-situasi aktual dianggap sebagai makna yang pasti,
tetapi tambahan kondisional tertentu dari sebuah pernyataan itu membuat
sebuah peristiwa menjadi bagian dari makna yang mungkin. Contoh,
pernyataan "seorang artis telah ditangkap polisi" adalah hal yang pasti,
tetapi ada makna yang mungkin ketika dinyatakan "jika dia melayani
setiap orang yang mampu membeli, maka salah satu pelanggannya adalah
pejabat".
Logika tersebut memberikan makna penting tentang apa
yang sudah dilakukan aparat dan apa yang belum. Ketika penanganan
kejahatan tidak pernah memikirkan berbagai kemungkinan yang ada, kita
layak mempertanyakan kesungguhan aparat melaksanakan pemerintahan yang
bersih. Apabila direfleksikan ke dalam praktik penegakan hukum,
kesungguhan itu nyatanya memang sulit untuk dibuktikan. Argumentasi itu
didasarkan pada empat hal.
Pertama, selama ini pemerintah bermain
dengan logika formal: hal-hal yang mungkin tidak pernah dianggap
sebagai wilayah yang bisa dibuktikan. Aparat apatis terhadap pelbagai
kemungkinan yang mengarah pada kejadian yang nyata. Bukti, pernyataan
tentang keterlibatan pejabat dalam prostitusi ditanggapi Wakil Presiden
Jusuf Kalla. Katanya, tidaklah mungkin seorang pejabat jadi pelanggan
karena gaji pejabat pemerintah sedikit sehingga mereka tidak mampu
mengeluarkan uang hingga Rp 50 juta per malam.
Gaji pejabat
pemerintah memang sudah diumumkan oleh Kementerian Keuangan Republik
Indonesia, tetapi tidak ada yang menyangkal bahwa pendapatan di luar
gaji sebetulnya lebih besar. Sebab, asumsi umum, pejabat dapat
"menguangkan" kewenangan, kekuasaan, hingga kesempatan. Hal itu
dibuktikan dengan adanya isu rekening gendut para pejabat pemerintah,
beberapa waktu lalu.
Berpikir apriori
Kedua,
pernyataan tersebut membawa pada pemikiran apriori terhadap
kejahatan-kejahatan yang tersembunyi. Apabila fakta empiris merupakan
hal yang telah terjadi, maka hubungan satu kejadian dan kejadian lainnya
adalah hal yang mungkin saja terjadi. Proyeksi tentang pelanggaran di
dunia yang mungkin itu nyatanya tak dilanjutkan dengan penyelidikan yang
memadai.
Lagi pula, apriori itu semakin kuat ketika data
Kementerian Sosial pada tahun 2015 menunjukkan adanya 168 lokasi
prostitusi di tengah-tengah masyarakat, tetapi hanya 39 lokasi yang
dapat dibereskan. Boleh dikatakan jauh panggang dari api karena kinerja
pemerintah baru mencapai 23 persen selama 70 tahun Indonesia merdeka.
Ketiga,
aparat melakukan penanganan prostitusi kelas atas secara
setengah-setengah. Hal itu semakin membuktikan pepatah lama bahwa hukum
hanya "tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas". Contoh, pada Oktober
2015, kasus prostitusi yang melibatkan dua artis hanya menyeret mucikari
ke meja hijau dan divonis penjara satu tahun empat bulan. Belakangan
diketahui mucikari ini bekerja sebagai perias artis.
Kiranya mata
rantai kejahatan tidak hanya tertuju pada satu orang saja, tetapi
melibatkan sejumlah tokoh dengan peran khusus yang mendukung modus
operandinya. Karena itu, jelas tidak adil manakala hanya satu orang yang
dijatuhi hukuman, sementara artis dan pelanggannya tidak pernah
disentuh.
Keempat, praktik pembongkaran prostitusi kelas atas
tampak hanya sebagai sensasi dalam pemberitaan di media massa. Suka atau
tidak, berita penangkapan akan tersebar secara cepat dan meluas, tetapi
cuma sebentar. Setelah itu, publik akan melupakan tindak lanjut. Coba
lihat, fakta-fakta sebelumnya menunjukkan tidak ada penyelesaian yang
menyeluruh atas kasus prostitusi tersebut, yakni dimulai dari penindakan
terhadap pelanggan, mucikari, hingga artis yang tertangkap.
Pendeknya,
selama rantai prostitusi kelas atas itu tidak dijelaskan kepada publik,
selama itu pula aparat boleh dikata tidak bekerja secara
sungguh-sungguh. Ini tidak main-main. Sebab, selain ancaman terhadap
wacana pemerintahan yang berwibawa, hal yang dipertaruhkan adalah
kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari pelbagai penyakit
sosial.
SAIFUR ROHMAN Pengajar Filsafat di Universitas Negeri Jakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Januari 2016, di
halaman 7 dengan judul "Prostitusi, Pejabat, Kepemerintahan".
No comments:
Post a Comment