kompas Cetak |
Dalam sebuah artikel baru-baru
ini, seorang akademisi Indonesia menyebutkan bahwa Tiongkok sedang
melakukan apa yang disebut sebagai ”Kolonialisasi Maritim” di Asia.
Komentar ini tidak sesuai dengan kenyataan. Oleh karena itu, saya
berkepentingan untuk menjelaskan masalah ini kepada publik guna
menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Sejarah modern menyaksikan bagaimana kolonialisme telah menimbulkan
kesengsaraan dan malapetaka di Tiongkok dan Asia Tenggara. Sebuah
pepatah Tiongkok mengatakan, ”Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu
yang tidak ingin kamu lakukan terhadap dirimu sendiri”. Bangsa-bangsa
yang menderita karena penghinaan dan siksaan akibat kolonialisme
tentunya sangat memahami betapa berharganya kedaulatan, kemerdekaan, dan
perdamaian.
Kebenaran isu LTS
Pemerintah Tiongkok secara tegas dan konsisten menentang kolonialisme
dan hegemonisme dalam hubungan internasional serta menjaga tatanan
internasional pasca Perang Dunia II (PD II) dan perdamaian dunia. Oleh
karena itu, kebijakan Pemerintah Tiongkok terhadap Laut Tiongkok Selatan
(LTS) juga menunjukkan semangat yang sama, yaitu menjaga perdamaian dan
stabilitas di Laut Tiongkok Selatan dan menyelesaikan masalah melalui
negosiasi dan perundingan. Posisi Tiongkok ini telah teruji sepanjang
sejarah.
Meskipun beberapa negara di dalam atau di luar kawasan berupaya untuk
menyesatkan opini publik, kebenaran tentang isu Laut Tiongkok Selatan
tidak dapat dikaburkan. Tiongkok adalah negara yang pertama kali
menemukan, memberi nama, mengelola, dan mengembangkan Kepulauan Spratly,
dan Tiongkok jugalah yang pertama kali dan secara konsisten menjaga
kedaulatan di kepulauan tersebut.
Selama PD II, beberapa kepulauan di Laut Tiongkok Selatan dikuasai oleh
Jepang secara ilegal. Namun, berdasarkan dokumen-dokumen internasional
pada masa PD II, seperti Deklarasi Kairo dan Proklamasi Postdam, Jepang
harus mengembalikan semua wilayah yang dicurinya kepada Tiongkok tanpa
syarat. Setelah PD II, Tiongkok kembali menguasai pulau-pulau tersebut
dan melaksanakan kedaulatannya. Sampai tahun 1960-an, tidak ada satu
negara pun yang mengajukan keberatan terhadap kedaulatan Tiongkok di
Kepulauan Spratly.
Namun, sebuah laporan dari United Nations Economic Commission for Asia
and the Far East (ECAFE) atau Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Asia
Timur pada 1968 telah mendorong beberapa negara di kawasan Laut Tiongkok
Selatan untuk mulai melirik kekayaan minyak dan gas di kawasan ini, dan
selanjutnya menjejakkan kaki mereka di pulau-pulau dan karang-karang di
sekitar laut tersebut secara ilegal.
Demi menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok Selatan,
Tiongkok telah berupaya menahan diri. Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa sesungguhnya Tiongkok-lah yang menjadi korban yang paling
menderita dari isu Laut Tiongkok Selatan. Bagi kami, sejarah yang
disebutkan di atas masih segar dalam ingatan.
Selama lebih dari satu tahun belakangan ini, Tiongkok telah melakukan
pembangunan di wilayahnya, termasuk juga di Kepulauan Spratly dan
karang-karang di sekitarnya. Kenyataannya, beberapa negara tidak pernah
berhenti melakukan aktivitas pembangunan di kepulauan dan karang-karang
yang direbut secara ilegal dari Tiongkok. Tiongkok adalah negara
terakhir yang melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan karang-
karangnya, yang merupakan bagian wilayah dari negaranya. Pembangunan
yang dilakukan Tiongkok terkait dengan pengadaan pelayanan sipil dan
penyediaan kebutuhan barang-barang publik.
Setelah melakukan berbagai pembangunan fasilitas, kapal-kapal yang
berlayar di Laut Tiongkok Selatan akan menikmati fasilitas pelayanan
yang lebih baik, upaya pencarian dan penyelamatan akan didukung dengan
fasilitas yang lebih memadai dan penelitian ilmiah, serta kerja sama
perlindungan lingkungan laut akan lebih dapat diandalkan. Selain itu,
aktivitas pembangunan Tiongkok di kepulauan dan karang-karang tersebut
tidak akan memengaruhi negara lain atau menjadikan negara lain sebagai
sasaran, tidak akan berpengaruh terhadap kebebasan berlayar atau terbang
di atas Laut Tiongkok Selatan, dan tidak akan merusak ekosistem laut,
apalagi menimbulkan militerisasi.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Tiongkok telah mengendalikan jalur
strategis di Laut Tiongkok Selatan. Pada 600 tahun yang lalu, pelaut
Tiongkok yang terkenal, Zheng Ho (dikenal juga sebagai Cheng Ho),
berlayar hingga ke Asia Tenggara dan Samudra Hindia untuk melakukan
pertukaran persahabatan dan perdagangan yang adil. Hari ini, 40 persen
dari komoditas perdagangan Tiongkok dan 80 persen impor energinya dibawa
melalui Laut Tiongkok Selatan. Dalam hal ini, Tiongkok tidak saja
diuntungkan, tetapi juga dengan sungguh-sungguh menjaga kebebasan dan
keamanan pelayaran di Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok selalu menghormati serta menjaga kebebasan negara-negara di
dunia untuk berlayar dan terbang di atas wilayah Laut Tiongkok Selatan
sesuai dengan hukum internasional. Atas upaya bersama antara Pemerintah
Tiongkok dan negara-negara ASEAN, jalur pelayaran internasional di Laut
Tiongkok Selatan dapat dengan leluasa digunakan, bahkan semakin
berkembang dengan adanya perdagangan yang memberikan keuntungan bagi
negara-negara terkait.
Namun, beberapa negara di luar kawasan sering kali mengaburkan prinsip
kebebasan berlayar sehingga mengirimkan kapal-kapal dan pesawat-pesawat
militer mendekati, bahkan memasuki wilayah perairan dan udara yang
berdekatan dengan Kepulauan Spratly dan karang- karangnya hanya untuk
menunjukkan kekuatan militernya. Tiongkok secara tegas menentang aksi
yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan
Tiongkok, persekongkolan untuk melakukan upaya militerisasi di Laut
Tiongkok Selatan, dan aksi-aksi yang membahayakan perdamaian serta
stabilitas di kawasan.
Perundingan COC
Tiongkok berkomitmen untuk menjadi pembela perdamaian di Laut Tiongkok
Selatan dan secara aktif berupaya meningkatkan kerja sama regional.
Selama bertahun-tahun, Tiongkok telah berdedikasi untuk bekerja sama
dengan negara-negara ASEAN untuk menerapkan Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DOC) secara penuh dan efektif. Pada tahun 2013, semua negara pihak telah memulai perundingan Code of Conduct
(COC) atau ”Tata Perilaku” di Laut Tiongkok Selatan di bawah kerangka
DOC. Dua tahun belakangan ini, kita telah menyaksikan kemajuan yang
signifikan dari berbagai perundingan yang dilakukan, termasuk dengan
mengeluarkan dokumen-dokumen kesepakatan dan menjaga hasil laut secara
bersama-sama.
Pada Oktober 2015, Tiongkok dan negara-negara ASEAN menyatakan bahwa
perundingan COC telah memasuki tahap untuk mendiskusikan isu-isu yang
krusial dan kompleks. Pada saat yang sama, semua pihak setuju terhadap
usulan Pemerintah Tiongkok untuk menyusun Upaya-upaya Pencegahan dalam
Mengelola Risiko di Laut, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
situasi di luar kendali atau kecelakaan di laut sebelum COC
dilaksanakan.
Fakta-fakta membuktikan bahwa Pemerintah Tiongkok selalu berupaya untuk
menyelesaikan persengketaan melalui negosiasi dan perundingan secara
damai, dan Tiongkok dengan tulus mengesampingkan persengketaan demi
pembangunan bersama.
Namun, beberapa negara di kawasan menentang prinsip yang tertera dalam
DOC untuk menyelesaikan isu Laut Tiongkok Selatan melalui negosiasi dan
perundingan damai, dan secara sepihak memilih menggunakan arbitrase
internasional hanya untuk membuat situasi di Laut Tiongkok Selatan
menjadi lebih sulit.
Arbitrase semacam ini, meski dikemas dengan cara apa pun, tidak dapat
menyembunyikan esensinya, yaitu provokasi politik. Posisi Pemerintah
Tiongkok untuk tidak menerima ataupun berpartisipasi dalam arbitrase itu
adalah sebuah upaya untuk melindungi hak dan kepentingan nasional
negara kami, sekaligus upaya penegakan hukum.
Pada tahun 2015, bersama-sama dengan lebih dari 30 negara Asia dan
Afrika, Tiongkok menghadiri berbagai aktivitas yang dilakukan untuk
memperingati Perayaan 60 Tahun Konferensi Bandung (dikenal juga dengan
Konferensi Asia Afrika tahun 1955). Hasil konferensi yang dikenal
sebagai Semangat Bandung dan Sepuluh Prinsip dalam Hubungan
Internasional itu telah menjadi prinsip-prinsip yang mengusung jenis
hubungan internasional yang baru.
Tiongkok selalu mendukung Semangat Bandung yang mengedepankan
persatuan, persahabatan, dan kerja sama dengan negara-negara termasuk
Indonesia dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut Tiongkok
Selatan dan di kawasan kita.
Dalam waktu dekat, Tiongkok juga akan melaksanakan inisiatif untuk
bersama-sama membangun Jalur Sutra Laut Abad Ke-21 untuk meningkatkan
pembangunan dan kemakmuran di Laut Tiongkok Selatan. Saya yakin, upaya
bersama antara Tiongkok dan Indonesia akan mendorong penyelesaian isu
Laut Tiongkok Selatan dengan cara yang tepat. Dengan upaya bersama dari
negara-negara di kawasan, mimpi kita bersama untuk mewujudkan Laut
Tiongkok Selatan yang damai, bersahabat, dan makmur akan jadi kenyataan.
Xu Bu, Wakil Duta Besar Tiongkok untuk ASEAN
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2016, di
halaman 7 dengan judul "Sengketa LTS dan Posisi Tiongkok".
No comments:
Post a Comment