Arie Ruhyanto
Cetak |
383 dibaca
0 komentar
Salah satu produk hukum paling
ditunggu-tunggu sebagai konsekuensi perubahan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 adalah peraturan
pemerintah terkait pemekaran daerah.
Hingga tulisan ini dibuat,
Kementerian Dalam Negeri masih terus membahas draf pengganti Peraturan
Pemerintah (PP) No 78/2007. Peraturan pemerintah yang baru itu nanti
sebagai acuan menentukan kelanjutan lebih dari 200 usul pembentukan
daerah baru (Kompas, 11/7/2015).
Revisi PP No 78/2007
perlu mendapat perhatian serius, terutama mengingat tingginya
kontroversi kebijakan pemekaran di tengah derasnya tuntutan pembentukan
daerah baru. Kontroversi itu setidaknya berlangsung dalam dua nalar
analisis: nalar efisiensi dan nalar pemerataan.
Nalar efisiensi
meyakini sejauh ini pemekaran daerah lebih banyak menciptakan soal
ketimbang membawa manfaat. Pemekaran dipandang hanya membebani anggaran
negara, sarat politik transaksi, melahirkan birokrasi tambun, dan
menciptakan lahan subur bagi korupsi serta berbagai bentuk
penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, pemekaran harus dibekukan atau
minimal diperketat syaratnya.
Sementara itu, nalar pemerataan
meyakini bahwa pemekaran merupakan upaya tepat mempercepat pemerataan
pembangunan. Hanya dengan pemekaran, pembangunan dapat menjangkau
masyarakat yang selama ini tak tersentuh karena anggaran yang dimiliki
daerah induk tak memadai.
Argumentasi ini didukung pula oleh
kenyataan bahwa banyak daerah dengan wilayah sangat luas, tetapi akses
sangat terbatas. Karena itu, pemekaran merupakan solusi yang patut
diperhitungkan sekaligus menunjukkan respons negara atas aspirasi
warganya.
Terlepas dari argumen mana paling benar, setidaknya
saat ini keduanya sepakat bahwa desain kebijakan pemekaran perlu
diperbaiki. Lantas pelajaran apa yang dapat kita petik dari ratusan
praktik pemekaran dalam kurun 1999-2012 untuk memperbaiki desain
pemekaran ke depan?
Negara-bangsa
Tiga
pelajaran mendasar dapat kita petik dari desain dan praktik kebijakan
pemekaran sebelumnya. Pertama, pemekaran dilakukan sejalan dengan
pandangan bahwa proses state building dapat dipisahkan dari nation building.
Perspektif ini dipengaruhi konsep bahwa negara atau birokrasi adalah
institusi steril dinamika sosial masyarakat (Weber, 1948).
Akibatnya,
instalasi institusi pemerintahan baru cenderung mengabaikan keragaman
konteks lokal. Seluruh syarat, tahap, dan instrumen evaluasi pemekaran
pun diterapkan seragam. Padahal, tuntutan pemekaran amat mungkin
berangkat dari argumentasi dan konteks berbeda.
Kedua, cara
pandang di atas menyebabkan pemekaran terjebak dalam logika sempit
pembentukan pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya
desain pemekaran didominasi oleh faktor fisik dan institusional.
Syarat
pemekaran, misalnya, sebatas menekankan pada dimensi fisik kewilayahan,
aspek teknis, dan administratif, seperti jumlah penduduk, luas wilayah,
persetujuan DPRD dan bupati, serta ketersediaan fasilitas publik,
seperti sekolah, puskesmas, bank, dan pasar.
Faktor krusial,
seperti kohesivitas sosial, nilai kolektif; berbagai konsensus sosial
dan yang telah eksis sebelumnya, serta gagasan berpemerintahan yang ada
dalam memori kolektif masyarakat hampir tidak pernah menjadi bahan
pertimbangan.
Ketiga, penekanan aspek institusi dalam pemekaran
juga berdampak pada sempitnya cara pandang dalam menilai keberhasilan
atau kegagalan sebuah daerah pemekaran. Keberhasilan atau kegagalan
pemekaran semata-mata dikaitkan dengan kemampuan pemerintahan baru dalam
menggenjot pendapatan asli daerah untuk membiayai penyelenggaraan
pelayanan publik.
Dalam alur pikir ini, ukuran keberhasilan
suatu daerah ditentukan indikator fiskal, seperti kontribusi pendapatan
asli daerah dan daya serap APBD, serta indikator fisik, seperti panjang
jalan, jumlah sekolah, jumlah pertokoan, jumlah pasar, jumlah bank, dan
jumlah perkantoran yang terbangun.
Apakah semua itu serta-merta
meningkatkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat? Mempererat ikatan
kebangsaan? Memperkuat rekatan sosial masyarakat? Di banyak tempat,
peningkatan indikator capaian pembangunan yang disebutkan itu ternyata
berbanding lurus dengan meningkatnya sentimen primordial berbasis suku
ataupun agama.
Seiring dengan kian lebarnya kesenjangan ekonomi
dan kian vulgarnya kontestasi politik, sentimen itu mudah tersulut
dalam konflik kekerasan. Kasus kekerasan yang terjadi di Tolikara,
Ilaga, Maybrat, Halmahera Utara, Tidore, dan Polewali adalah sebagian
contoh.
Mengawal transisi
Berkaca
dari praktik pemekar- an di negeri ini, perlu dirumuskan desain
pemekaran yang lebih kontekstual. Tidak semata-mata berorientasi
menghadirkan negara yang hanya menekankan pada keefektifan dan kinerja
ekonomi dan pelayanan publik, tetapi juga rekatan sosial yang
didasarkan pada rekognisi dan fasilitas atas tatanan lokal tanpa
terjebak pada romantisasi tradisi masa lalu.
Untuk itu, syarat
dan transisi pemekaran, selain memastikan kesiapan menjalankan
pemerintahan dan pelayanan, juga harus memastikan negara mampu merajut
harmoni sosial dan beradaptasi dengan nilai yang telah berakar di
masyarakat.
Konsensus masyarakat terkait hal mendasar mutlak
diperlukan sebelum daerah pemekaran dilakukan. Misalnya, terkait dengan
sistem peradilan, ruang partisipasi masyarakat, pengelolaan sumber daya,
dan yang berimplikasi politis, seperti penentuan lokasi ibu kota dan
pola pengisian jabatan.
Dengan kata lain, periode transisi yang
harus dilalui calon daerah otonom baru bukan hanya mempersiapkan
infrastruktur fisik pemerintahan dan pelayanan publik, melainkan juga
mempersiapkan masyarakat beradaptasi dengan norma dan situasi baru
seiring dengan hadirnya negara. Maka, pemekaran sekaligus dapat jadi
langkah konkret merajut kebinekaan dan memperkuat keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Arie Ruhyanto
Pengajar di Jurusan Politik Pemerintahan Fisipol UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Revisi Aturan Pemekaran".
No comments:
Post a Comment