Franz Magnis-Suseno
Cetak |
446 dibaca
2 komentar
Menyongsong tahun baru, kita boleh bertanya: di mana revolusi mental yang sudah hampir dua tahun lalu dicetuskan?
Bahwa kita memerlukan suatu revolusi mental untuk keluar dari rawa
mediokritas, kemalasan intelektual, kecengengan emosional, kedangkalan
spiritual, kebrutalan dogmatisme, dan dari belenggu-belenggu prasangka
dan kecurigaan yang menyandera bangsa sulit disangkal. Namun, di antara
tantangan-tantangan yang kita hadapi, ada tiga yang menurut penulis ini
harus kita hadapi.
Budaya kekerasan
Masyarakat kita penuh kekerasan. Senggol sedikit berantem. Tawuran,
lawan yang sudah telentang di tanah malah dibacok. Pencuri dikeroyok.
Pertemuan yang tak disukai dibubarkan oleh preman-preman yang membawa
pentung. Beribadat ”keliru”, awas lu! Fans klub bola saingan
diserang dengan pisau. Umat ”aliran sesat” ramai-ramai diuber-uber dan
dibunuh. Polisi dalam pemeriksaan secara rutin menyiksa orang. Selama 70
tahun sejarah Indonesia merdeka juga ditulis dengan darah, ditumpahkan
oleh bangsa sendiri.
Lalu, yang paling memalukan, juga paling mengkhawatirkan: kekerasan
atas nama agama. Memalukan karena dalam agama mutlak tak boleh ada
paksaan. Mengkhawatirkan karena paksaan dalam agama berarti orang
beragama itu sudah kemasukan setan.
Memakai kekerasan berarti tidak beradab. Beradab—kita boleh ingat sila kedua Pancasila—adalah bottom line, batas paling bawah pembawaan diri secara manusiawi. Orang yang terlibat kekerasan adalah orang yang belum beradab.
Mari kita bertanya: apa kita mau terus mengizinkan membawa diri secara
tidak beradab? Bukankah sudah saatnya kita sepakat bersama bahwa kita
memecahkan masalah antarkita tanpa kekerasan, selalu, secara prinsip?
Demi harga diri kita sendiri sebagai bangsa yang beradab.
Bebas rasa takut
Ada yang betul-betul menyedihkan. Di antara kita masih ada orang-orang
yang hidup dalam ketakutan. Mereka dibayangi ketakutan karena keyakinan
religius dan ibadat mereka tidak disetujui orang lain!
Masa di negara Pancasila masih ada orang yang hidup dalam ketakutan
karena keyakinan religiusnya? Bukankah Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, konstitusi kita, menegaskan sebagai komitmen suci bahwa negara
”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia”?
Bahwa di antara kita ada yang harus merasa takut karena keyakinan
religius adalah amat memalukan bagi kita semua. Memang sangat memalukan
kalau agama menakutkan dan mengancam. Orang beragama yang mengancam
sudah kerasukan setan kesombongan dan kekerasan hati.
Mari kita mulai dengan revolusi mental. Revolusi dari kepicikan, rasa
iri hati, kecurigaan, kesombongan, dan kekerasan hati ke sikap-sikap
yang melindungi, membaiki, mengamankan. Para tokoh agama yang ditantang
di sini: ditantang menunjukkan di mana mereka berdiri. Kita mesti
menyepakati bahwa mulai sekarang tak perlu ada orang atau kelompok orang
yang takut karena mereka mengabdi kepada Tuhan sesuai dengan apa yang
mereka yakini.
Korupsi
Namun, ancaman terbesar terhadap integritas—ya, jati diri bangsa—adalah
korupsi. Sebab, korupsi menggerogoti substansi etis bangsa. Orang korup
tidak bisa membedakan lagi antara yang etis dan yang tidak etis. Bangsa
yang tidak lagi tahu apa itu jujur mesti hancur.
Di bulan-bulan lalu, kelas politik memberi tontonan kepada seluruh
bangsa yang teramat memalukan. Berhadapan dengan kelakuan yang
terang-terang koruptif, mereka—daripada langsung mengutuknya—sepertinya
sama sekali tidak menyadari kebusukannya dan langsung masuk ke business as usual,
tawar-menawar, ancam-mengancam (misalnya pelapor), dan ”peduli amat
yang dipikirkan masyarakat”. Saya setuju dengan pernyataan seorang
sahabat bahwa sikap mereka tak lain merupakan suatu pengkhianatan.
Di alam budaya korup, kompetensi tidak bernilai. Yang mendapat proyek
bukan yang kompeten, melainkan yang membayar lebih banyak. Pengaruh
sikap itu terhadap masyarakat adalah mengerikan. Misalnya saja, seluruh
dunia perguruan tinggi akan terpengaruh: mahasiswa tidak akan mencari
kompetensi melalui studi serius, melainkan koneksi sebagai batu loncatan
suatu karier yang menguntungkan. Menguaplah harkat intelektual bangsa.
Masyarakat sudah makin tidak percaya pada kelas politik. Usaha selama
tahun lalu untuk mengebiri pemberantasan korupsi, persepsi luas bahwa
keputusan pengadilan bisa dibeli, pendapat umum bahwa polisi adalah
lembaga paling korup—jadi kriminal!—di negara kita, itu pun dengan impunity,
mengancam kepercayaan masyarakat ke dalam kenegaraan kita yang
berdasarkan Pancasila. Kita jangan heran kalau makin banyak orang muda
muak dengan segala macam Negara Kesatuan Republik Indonesia alias NKRI,
empat pilar, dan lain-lain. Lalu, mereka mencari sesuatu yang sama
sekali baru, dan mengerikan, dalam ideologi-ideologi ekstremis dari
luar, baik agamais maupun sekuler.
Sudah waktunya kita akhiri toleransi terhadap korupsi. Kelas politik
harus merasakan bahwa kesabaran kita sudah habis. Masih ada harapan.
Masih ada wakil rakyat dan pemimpin politik yang tidak mau korup, yang
meyakini cita-cita bangsa. Sekarang waktunya untuk mulai. Revolusi
mental jangan kita tunda terus.
Franz Magnis-Suseno,
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat di Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Revolusi Mental".
No comments:
Post a Comment