Aliansi Militer Islam
Siti Mutiah Setiawati
Cetak |
192 dibaca
1 komentar
Pada 15 Desember 2015,
Mohammad Bin Salman-Putra Mahkota sekaligus Menteri Pertahanan Arab
Saudi-mengumumkan pembentukan Aliansi Militer Islam yang terdiri atas 34
negara, di antaranya Qatar, Uni Emirat Arab, Turki, Malaysia, Pakistan,
dan Nigeria.
Menlu Arab Saudi Adel al Jubeir menjelaskan tujuan
utama dibentuknya Aliansi Militer Islam ini, yaitu pembentukan koalisi
negara-negara Islam untuk saling berbagi informasi, pelatihan, dan
menyediakan angkatan bersenjata dalam mengatasi militansi yang menjurus
terorisme, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan Al
Qaeda. Apakah aliansi ini sebuah solusi dalam mengatasi terorisme
dunia yang datang dari dunia Islam atau justru menambah masalah baru?
Aliansi
ini akan berpusat di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, negara tempat
lahirnya Islam dan sekaligus menjadi pemangku dua kota suci umat Islam
(Mekkah dan Madinah), sehingga sebagian besar umat Islam akan terikat
dengan negara ini. Aliansi ini membuat dunia Islam semakin terpecah dan
terkotak kotak ke dalam kelompok-kelompok yang semakin tidak jelas
kriterianya.
Sebelumnya, dunia Islam terbagi jadi Sunni dan
Syiah (aliran agama), moderat dan radikal (sikap terhadap konflik
internasional), pro Barat, pro Timur, dan nonblok (ideologi), kaya,
menengah, dan miskin (ekonomi). Negara dengan identitas berpenduduk
mayoritas Islam dan cenderung moderat seperti Indonesia akan menghadapi
dilema antara menerima dan menolak. Jika menerima, berarti melanggar
prinsip politik luar negeri bebas aktif dan nonblok yang melarang turut
dalam aliansi militer. Kalau menolak, kemungkinan akan dikucilkan dari
dunia Islam.
Ada keraguan apakah pengeboman KBRI di Yaman
beberapa waktu lalu kesalahan target atau kesengajaan. Sebab,
sebelumnya Indonesia memang menolak bergabung dengan Arab Saudi
memerangi Houthi di Yaman. Ini mengingat di zaman teknologi serba
presisi tinggi kesalahan target kurang bisa diterima.
Aliansi
dalam hubungan internasional diartikan sebagai perjanjian militer
antara dua negara atau lebih yang mempersiapkan rencana penyerangan
bersama atau membantu menyerang secara bersama jika salah satu negara
terancam diserang negara lain. Jika tujuan utama aliansi ini untuk
memerangi kelompok NIIS yang telah membuat aksi teror di mana-mana,
termasuk terakhir di Paris (Perancis) dan California (AS), maka yang
akan diserang adalah basis gerakan NIIS, yaitu di Irak dan Suriah.
Irak,
negara Islam yang hampir 10 tahun diduduki AS, telah jatuh jadi negara
yang terpecah belah secara sektarian. Ketakmampuan Pemerintah Irak beri
keamanan dan kesejahteraan bagi rakyat membuat negara ini dikategorikan
sebagai negara gagal. Penyerangan terhadap negara ini dengan maksud
menghancurkan kekuatan NIIS akan membuat penderitaan rakyat semakin
parah, mengingat rakyat sipil dapat jadi korban dengan alasan salah
target, seperti pernah dilakuan AS di Afganistan.
Kurang solid
Keadaan di Suriah tidak lebih baik. Imigran Suriah ke negara Arab
tetangganya, Eropa, Kanada, AS, dan Australia telah mencapai sekitar 3
juta orang-sebagian besar wanita dan anak-anak. Ini telah menarik
perhatian dunia. Peristiwa itu adalah peristiwa kemanusiaan terbesar
dan terhebat abad ini; ketika orang terpaksa keluar dari bumi tempat
mereka dilahirkan dan dibesarkan, lalu menjadi pengungsi. Nasib mereka,
terbuang atau diterima sebagai warga, sangat bergantung pada negara
penerima. Hal ini menunjukkan keadaan dalam negeri Suriah telah
porak-poranda.
Negeri Sham ini telah terbelah menjadi
antara yang mendukung Bashar al-Assad yang baru saja memenangi 88,7
persen suara dalam pemilu presiden pada Juni 2014 dan yang menginginkan
Bashar turun atau sering disebut sebagai kelompok oposisi. Kelompok
oposisi terbagi menjadi kelompok-kelompok Al Nusra yang baru saja
dikategorilkan AS sebagai kelompok teroris, NIIS, Tentara Suriah Merdeka
(Free Syrian Army), dan Dewan Militer Tertinggi (Supreme Military
Council).
Negara pendukung juga terpecah. AS sangat menginginkan
Bashar al-Assad turun, tetapi Rusia mendukung Bashar al-Assad. Meski
demikian, baik AS maupun Rusia sama-sama akan memerangi NIIS. Sungguh
merupakan situasi yang tidak mudah kalau akan memerangi NIIS dengan
membangun aliansi militer yang juga mengatasnamakan Islam.
Sepertinya,
mendorong koalisi Amerika-Rusia untuk mengatasi meluasnya terorisme
yang dilakukan oleh NIIS di Suriah akan lebih mudah daripada membangun
Aliansi Militer Islam yang menyulitkan posisi negara Islam lain yang
tidak mendukung.
Sementara itu, tiga hari setelah
diumumkannya Aliansi Militer Islam, AS menyelenggarakan konferensi di
New York yang mengundang 20 negara yang berkepentingan di Suriah,
seperti Iran, Rusia, dan Tiongkok, untuk menyelesaikan konflik di
Suriah. Syarat utama keberhasilan perundingan adalah jika hasil
perundingan dapat diterapkan secara mudah dan realistik.
Dalam
pertemuan ini, sebelum berunding, Presiden Rusia Vladimir Putin
meyakinkan Bashar al-Assad bahwa Rusia tetap akan mendukung
kekuasaannya, sementara AS melalui Menteri Luar Negeri John Kerry
mengatakan bahwa Rusia telah melukai AS karena mendukung Bashar
al-Assad. Dalam waktu bersamaan, keduanya mengatakan siap bekerja sama
menghentikan konflik di Suriah. Pada akhirnya, konferensi ini tak
menghasilkan penyelesaian apa pun seperti janji mereka untuk mengakhiri
konflik Suriah. Di samping itu, AS ataupun Rusia-dua negara yang saat
ini berkepentingan atas penyelesaian konflik di Suriah-belum terbaca
sikapnya atas aliansi militer ini.
Dari beberapa aliansi
militer yang pernah didirikan guna mengatasi ancaman, tinggal Pakta
Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan pada 1949 dan ANZUS
(Australia, Selandia Baru, AS) yang didirikan pada tahun 1951. Aliansi
militer yang lain, seperti Pakta Warsawa, Pakta Baghdad, SEATO, dan
CENTO sudah bubar karena tidak adanya musuh yang harus diatasi bersama
dan kurang solidnya anggota. Nasib sama kemungkinan dialami Aliansi
Militer Islam karena yang dianggap musuh berada di organ tubuh mereka,
menghancurkan mereka tidak mungkin tanpa melukai diri sendiri, yaitu
komunitas Islam.
Siti Mutiah Setiawati
Dosen Fisipol dan Kajian Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Aliansi Militer Islam".
No comments:
Post a Comment