Bustanul Arifin
kompas Cetak |
Pengumuman terbaru Badan Pusat
Statistik di awal tahun 2016 tentang kenaikan angka kemiskinan dan angka
pengangguran sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.
Ketika pembangunan pertanian hanya diterjemahkan menjadi aktivitas
rutin dan administratif, bahkan cenderung berorientasi pada peningkatan
produksi komoditas dan mengejar target politis, seperti swasembada padi,
jagung, dan kedelai (pajale), maka esensi dari strategi pembangunan
nyaris kehilangan makna.
Ketika pembangunan ekonomi—yang pada hakikatnya adalah proses
transformasi yang bersifat struktural dan memberdayakan pelaku
ekonomi—ditafsirkan sebagai sesuatu yang mekanistis, peningkatan
kesejahteraan masyarakat terasa semakin jauh. Dan, ketika desentralisasi
ekonomi dan otonomi daerah belum mampu menerjemahkan strategi besar
pembangunan nasional, hasilnya adalah ketimpangan pendapatan.
Banyak pejabat pemerintah seakan tersentak setelah Bank Dunia
mengeluarkan hasil analisis dari data BPS tentang Indeks Gini yang
mencapai 0,41, dibandingkan ketika para analis dan lembaga domestik yang
telah lama memperingatkannya. Implikasinya, pemerintah wajib
mereorientasi strategi pembangunan pertanian dan ekonomi umumnya, tanpa
harus menunggu status kualitas sumber daya manusia semakin memburuk.
Artikel ini menganalisis perjalanan dan hasil pembangunan pertanian dan
pembangunan ekonomi umumnya.Opsi reorientasi kebijakan akan ditawarkan
pada setiap contoh kasus anomali yang menyertainya.
Kemiskinan-pengangguran
Pertama, peningkatan kemiskinan dan pengangguran.Strategi pembangunan
pertanian dianggap anomali apabila tidak mampu mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru. Literatur klasik
ekonomi pembangunan versi John Mellor dan Bruce Johnston cukup yakin
bahwa pembangunan pertanian yang efektif mampumenghasilkan pengganda
pendapatan dan pengganda lapangan kerja.Anomali itu ditunjukkan oleh
jumlah penduduk miskin per September 2015 yang meningkat jadi 28,51 juta
jiwa (11,13 persen) dari 27,73 juta (10,96 persen) pada September
2014.Angka kemiskinan di pedesaan, yang sebagian besar bekerja di
pertanian, juga meningkat menjadi 17,89 juta jiwa pada 2015 (62,7 persen
dari total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6 persen) pada 2014.
Jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2015 tercatat 114,8 juta orang
atau 93,8 persen dari jumlah angkatan kerja, 122,4 juta orang. Angka itu
bertambah 190.000 orang dibandingkan jumlah penduduk bekerja pada
Agustus 2014 sebesar 114,6 juta orang atau 94,1 persen dari jumlah
angkatan kerja 121,4 juta orang. Artinya, jumlah penganggur di Indonesia
pada 2015 tercatat 7,56 juta orang atau 6,2 persen, meningkat 320.000
orang, dari jumlah penganggur pada 2014 yang tercatat 7,24 juta orang
atau 5,9 persen dari total angkatan kerja.
Pekerja di sektor pertanian menurun dari 38,97 juta orang (34 persen
dari total pekerja) pada 2014 jadi 37,75 juta orang atau (32,9 persen)
pada 2015.Pekerja di sektor industri juga sedikit menurun, dari 15,26
juta (13,31 persen) pada 2014 menjadi 15,25 juta (13,28 persen) pada
2015.Maknanya, pekerja di sektor jasa meningkat dari 60,4 juta orang
(52,7 persen) menjadi 61,8 juta (53,8 persen) pada 2015.
Teori dasar transformasi struktural dalam suatu pembangunan ekonomi
menyebutkan, makin maju suatu bangsa, pangsa tenaga kerja di sektor
pertanian pasti menurun. Namun, penurunan pangsa tenaga kerja pertanian
di Indonesia jauh lebih lambat dibandingkan penurunan pangsa produk
domestik bruto pertanian yang kini 14,6 persen.
Reorientasi kebijakan yang diperlukan adalah mengintegrasikan
pembangunan pertanian wajib dengan pembangunan pedesaan.Beberapa opsi,
misalnya fokus pada penciptaan lapangan kerja pedesaan di luar usaha
tani.Pembagian pupuk, benih, dan traktor gratis bagi petani terlihat
populis dalam jangka pendek, tetapi dapat mengganggu logika insentif
ekonomi dan kewirausahaan petani jika membuat ketergantungan akut pada
bantuan pemerintah.
Pembagian sarana pertanian itu akan lebih membawa dampak horizontal
yang lebih produktif apabila pemerintah dan pemerintah daerah lebih
serius melatih keterampilan dan memberdayakan pemuda desa.
Kementerian Pertanian perlu lebih sering bekerja sama dalam pembangunan
pedesaan ini dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi.
Ketimpangan pendapatan
Kedua, peningkatan ketimpangan pendapatan. Memburuknya angka kemiskinan
dan pengangguran satu tahun terakhir tak dapat dilepaskan dari
melebarnya ketimpangan pendapatan, terutama sejak otonomi daerah.
Indeks Gini kini mencapai 0,41 atau mengalami peningkatan 11 poin dari 0,30 pada 2000 atau sebelum era otonomi daerah.
Anomali strategi pembangunan seakan terkonfirmasi bahwa upaya
mendekatkan pelayanan publik kepada warganya melalui desentralisasi
ekonomi tak serta membawa dampak pemerataan pendapatan.
Siapa pun yang jadi pemimpin akan sulit menanggulangi ketimpangan
pendapatan ini jika orientasi kebijakan hanya bervisi jangka pendek dan
tidak berupaya melakukan pembenahan secara struktural.
Tidak terlalu mengherankan jika kinerja pertumbuhan pertanian hanya
3,21 persen pada triwulan III-2015, jauh lebih rendah daripada kinerja
pertumbuhan ekonomi makro 4,73 persen.Dalam hal distribusi kepemilikan
aset, petani pangan yang berlahan sempit (0,5 hektar atau kurang) kini
mencapai 55 persen.
Governansi yang buruk dalam pengelolaan subsidi pupuk juga membuka
peluang terjadinya ketidakmerataan akses pada faktor produksi pertanian
yang lain. Sekitar 65 persen petani miskin menerima 3 persen subsidi
pupuk, tetapi 1 persen petani kaya menikmati 70 persen subsidi.
Reorientasi kebijakan pembangunan pertanian untuk mengurangi persoalan
ketimpangan pendapatan perlu fokus pada empat hal berikut. Pertama,
peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi, mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Kedua, lebih serius pada perbaikan distribusi kepemilikan aset dan
lahan pertanian. Jika perlu, mengembangkan skema kemitraan yang saling
menguntungkan. Ketiga, pembenahan identifikasi petani yang akan
memperoleh akses terhadap faktor produksi dan sumber daya pertanian.
Keempat, pemantauan berjenjang terhadap kebijakan subsidi dan bantuan
pemerintah, tidak hanya untuk keperluan administratif, tetapi juga untuk
tujuan strategis yang lebih berjangka panjang.
Sebagai penutup, pembangunan pertanian tidak hanya upaya khusus pada
swasembada padi, jagung, dan kedelai, tetapi perlu bervisi pengembangan
kelembagaan masyarakat dan pemberdayaan petani. Pada era digital seperti
sekarang, petani amat perlu akses informasi pasar, teknologi, dan
pembiayaan. Pertanian masa depan juga perlu kompatibel dengan
pengembangan inisiatif budaya kreatif, peningkatan nilai tambah produk,
dan dukungan kebijakan yang lebih sistematis.
Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior INDEF danKetua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Januari 2016, di
halaman 7 dengan judul "Reorientasi Pembangunan Pertanian".
No comments:
Post a Comment