Thursday, January 14, 2016

Reorientasi Pembangunan Pertanian

Bustanul Arifin

Pengumuman terbaru Badan Pusat Statistik di awal tahun 2016 tentang kenaikan angka kemiskinan dan angka pengangguran sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. 

Ketika pembangunan pertanian hanya diterjemahkan menjadi aktivitas rutin dan administratif, bahkan cenderung berorientasi pada peningkatan produksi komoditas dan mengejar target politis, seperti swasembada padi, jagung, dan kedelai (pajale), maka esensi dari strategi pembangunan nyaris kehilangan makna.

Ketika pembangunan ekonomi—yang pada hakikatnya adalah proses transformasi yang bersifat struktural dan memberdayakan pelaku ekonomi—ditafsirkan sebagai sesuatu yang mekanistis, peningkatan kesejahteraan masyarakat terasa semakin jauh. Dan, ketika desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah belum mampu menerjemahkan strategi besar pembangunan nasional, hasilnya adalah ketimpangan pendapatan.


Banyak pejabat pemerintah seakan tersentak setelah Bank Dunia mengeluarkan hasil analisis dari data BPS tentang Indeks Gini yang mencapai 0,41, dibandingkan ketika para analis dan lembaga domestik yang telah lama memperingatkannya. Implikasinya, pemerintah wajib mereorientasi strategi pembangunan pertanian dan ekonomi umumnya, tanpa harus menunggu status kualitas sumber daya manusia semakin memburuk.

Artikel ini menganalisis perjalanan dan hasil pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi umumnya.Opsi reorientasi kebijakan akan ditawarkan pada setiap contoh kasus anomali yang menyertainya.

Kemiskinan-pengangguran
Pertama, peningkatan kemiskinan dan pengangguran.Strategi pembangunan pertanian dianggap anomali apabila tidak mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru. Literatur klasik ekonomi pembangunan versi John Mellor dan Bruce Johnston cukup yakin bahwa pembangunan pertanian yang efektif mampumenghasilkan pengganda pendapatan dan pengganda lapangan kerja.Anomali itu ditunjukkan oleh jumlah penduduk miskin per September 2015 yang meningkat jadi 28,51 juta jiwa (11,13 persen) dari 27,73 juta (10,96 persen) pada September 2014.Angka kemiskinan di pedesaan, yang sebagian besar bekerja di pertanian, juga meningkat menjadi 17,89 juta jiwa pada 2015 (62,7 persen dari total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6 persen) pada 2014.

Jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2015 tercatat 114,8 juta orang atau 93,8 persen dari jumlah angkatan kerja, 122,4 juta orang. Angka itu bertambah 190.000 orang dibandingkan jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2014 sebesar 114,6 juta orang atau 94,1 persen dari jumlah angkatan kerja 121,4 juta orang. Artinya, jumlah penganggur di Indonesia pada 2015 tercatat 7,56 juta orang atau 6,2 persen, meningkat 320.000 orang, dari jumlah penganggur pada 2014 yang tercatat 7,24 juta orang atau 5,9 persen dari total angkatan kerja.

Pekerja di sektor pertanian menurun dari 38,97 juta orang (34 persen dari total pekerja) pada 2014 jadi 37,75 juta orang atau (32,9 persen) pada 2015.Pekerja di sektor industri juga sedikit menurun, dari 15,26 juta (13,31 persen) pada 2014 menjadi 15,25 juta (13,28 persen) pada 2015.Maknanya, pekerja di sektor jasa meningkat dari 60,4 juta orang (52,7 persen) menjadi 61,8 juta (53,8 persen) pada 2015.

Teori dasar transformasi struktural dalam suatu pembangunan ekonomi menyebutkan, makin maju suatu bangsa, pangsa tenaga kerja di sektor pertanian pasti menurun. Namun, penurunan pangsa tenaga kerja pertanian di Indonesia jauh lebih lambat dibandingkan penurunan pangsa produk domestik bruto pertanian yang kini 14,6 persen.

Reorientasi kebijakan yang diperlukan adalah mengintegrasikan pembangunan pertanian wajib dengan pembangunan pedesaan.Beberapa opsi, misalnya fokus pada penciptaan lapangan kerja pedesaan di luar usaha tani.Pembagian pupuk, benih, dan traktor gratis bagi petani terlihat populis dalam jangka pendek, tetapi dapat mengganggu logika insentif ekonomi dan kewirausahaan petani jika membuat ketergantungan akut pada bantuan pemerintah.

Pembagian sarana pertanian itu akan lebih membawa dampak horizontal yang lebih produktif apabila pemerintah dan pemerintah daerah lebih serius melatih keterampilan dan memberdayakan pemuda desa.
Kementerian Pertanian perlu lebih sering bekerja sama dalam pembangunan pedesaan ini dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Ketimpangan pendapatan
Kedua, peningkatan ketimpangan pendapatan. Memburuknya angka kemiskinan dan pengangguran satu tahun terakhir tak dapat dilepaskan dari melebarnya ketimpangan pendapatan, terutama sejak otonomi daerah.

Indeks Gini kini mencapai 0,41 atau mengalami peningkatan 11 poin dari 0,30 pada 2000 atau sebelum era otonomi daerah.

Anomali strategi pembangunan seakan terkonfirmasi bahwa upaya mendekatkan pelayanan publik kepada warganya melalui desentralisasi ekonomi tak serta membawa dampak pemerataan pendapatan.

Siapa pun yang jadi pemimpin akan sulit menanggulangi ketimpangan pendapatan ini jika orientasi kebijakan hanya bervisi jangka pendek dan tidak berupaya melakukan pembenahan secara struktural.

Tidak terlalu mengherankan jika kinerja pertumbuhan pertanian hanya 3,21 persen pada triwulan III-2015, jauh lebih rendah daripada kinerja pertumbuhan ekonomi makro 4,73 persen.Dalam hal distribusi kepemilikan aset, petani pangan yang berlahan sempit (0,5 hektar atau kurang) kini mencapai 55 persen.

Governansi yang buruk dalam pengelolaan subsidi pupuk juga membuka peluang terjadinya ketidakmerataan akses pada faktor produksi pertanian yang lain. Sekitar 65 persen petani miskin menerima 3 persen subsidi pupuk, tetapi 1 persen petani kaya menikmati 70 persen subsidi.

Reorientasi kebijakan pembangunan pertanian untuk mengurangi persoalan ketimpangan pendapatan perlu fokus pada empat hal berikut. Pertama, peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, dan menciptakan lapangan kerja baru.

Kedua, lebih serius pada perbaikan distribusi kepemilikan aset dan lahan pertanian. Jika perlu, mengembangkan skema kemitraan yang saling menguntungkan. Ketiga, pembenahan identifikasi petani yang akan memperoleh akses terhadap faktor produksi dan sumber daya pertanian. Keempat, pemantauan berjenjang terhadap kebijakan subsidi dan bantuan pemerintah, tidak hanya untuk keperluan administratif, tetapi juga untuk tujuan strategis yang lebih berjangka panjang.

Sebagai penutup, pembangunan pertanian tidak hanya upaya khusus pada swasembada padi, jagung, dan kedelai, tetapi perlu bervisi pengembangan kelembagaan masyarakat dan pemberdayaan petani. Pada era digital seperti sekarang, petani amat perlu akses informasi pasar, teknologi, dan pembiayaan. Pertanian masa depan juga perlu kompatibel dengan pengembangan inisiatif budaya kreatif, peningkatan nilai tambah produk, dan dukungan kebijakan yang lebih sistematis.
Bustanul Arifin, Guru Besar Unila, Ekonom Senior INDEF danKetua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Reorientasi Pembangunan Pertanian".

No comments:

Post a Comment