Ismail Hasani
KOMPAS Cetak |
Peradilan pemilu merupakan elemen kunci yang harus tersedia dalam sebuah mekanisme pemilihan yang berintegritas.
Sementara sengketa pemilu adalah arena untuk memeriksa kinerja
penyelenggaraan pemilu guna menjamin keadilan pemilu. Keadilan elektoral
setidaknya berhubungan dengan legalitas penyelenggaraan pemilu,
administrasi pelaksanaan pemungutan suara, integritas penyelenggaraan
pemilu, penegakan hukum pemilu, dan legitimasi hasil pemungutan suara.
Setelah pada 9 Desember 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak
tahap I diselenggarakan, episode berikutnya penyelesaian perselisihan
hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Mengacu pada rekapitulasi
perkara yang diterima MK, ada 147 perkara perselisihan hasil pilkada.
Peradilan pilkada yang disediakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
sedianya ditujukan untuk memastikan integritas pilkada yang memberikan
keadilan elektoral bagi kontestan dan utamanya bagi warga negara. Namun,
mekanisme yang disediakan UU No 8/2015 berpotensi gagal menyempurnakan
integritas dan kualitas pilkada yang tak melimpahkan keadilan elektoral.
Potensi kegagalan mengawal keadilan elektoral bertolak dari tidak diadopsinya prinsip nuncprotunc dalam
UU No 8/2015, yang berarti bahwa pengadilan dapat menerima sengketa
pemilu meski batasan waktu yang ditentukan sudah terlampaui, sepanjang
ada bukti baru yang menunjukkan dugaan adanya pelanggaran yang merusak
integritas pemilu. Secara eksplisit prinsip ini menunjukkan
bahwa tugas utama peradilan pemilu adalah mewujudkan keadilan elektoral
sehingga integritas pemilu bisa dijaga, dengan menelisik setiap
kecurangan yang berkontribusi pada pemenangan seorang kandidat. Ruang
untuk memperoleh keadilan itu hilang karena MK hanya akan memeriksa
rekapitulasi penghitungan yang keliru. MK tak akan lagi memeriksa aneka
kecurangan yang terjadi sepanjang proses pilkada meskipun itu terjadi
secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
MK menegaskan hanya akan mengadili sengketa tentang selisih suara hasil
penghitungan suara yang dihasilkan KPUD dan tidak akan masuk ke jenis
perkara lain, tak terkecuali pelanggaran dalam pilkada yang mengandung
unsur tindak pidana. Padahal, secara substantif sangat dimungkinkan
bahwa tindak pidana pilkada yang terjadi merupakan faktor determinan
kemenangan atau kekalahan kandidat. MK memilih jalan pragmatis dan
ingkar atas terobosan yang pernah dibuatnya sendiri saat untuk pertama
kali memeriksa dan memperkenalkan jenis pelanggaran yang bersifat TSM
yang dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran materiil dalam
mewujudkan keadilan elektoral.
Dalam Putusan MK No 41/PHPU.D-VI/2008 yang memutus sengketa hasil
pilkada di Jawa Timur, pada poin 4.4. hal 135, MK menegaskan: ”Dalam
mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh
ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa
Mahkamah hanya boleh menilai hasil pilkada dan melakukan penghitungan
suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi
oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil
penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon, [maka] tidak
mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”
Selisih maksimal
Jika secara materiil peradilan pilkada membatasi diri pada penghitungan
hasil, secara formal peradilan pilkada pada tahap awal akan
menggugurkan 123 permohonan dari 147 permohonan yang masuk ke MK. MK
hanya akan memeriksa pokok perkara 24 permohonan, satu kabupaten di
antaranya diajukan oleh dua pemohon, yakni Kabupaten Gorontalo. Pemohon
dari enam provinsi dipastikan tidak satu pun permohonannya yang akan
diterima MK. Putusan tidak diterimanya permohonan itu akan terjadi pada
sidang pendahuluan saat MK memeriksa syarat formal para pemohon. Jika
tidak memenuhi syarat formal, permohonannya dinyatakan tidak diterima.
Keabsahan pengajuan sengketa pilkada yang harus mengikuti selisih maksimal hasil pemilihan dengan margin error
yang amat tipis ini diatur dalam UU No 8/2015 yang dijabarkan oleh MK
pada Pasal 6 Ayat (1) dan (2) PMK No 1/2015 tentang Pedoman Beracara
dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali
Kota. Ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015 intinya menentukan bahwa syarat
formal permohonan sengketa adalah jika selisih perolehan suara yang
diperoleh pemenang tidak melampaui batas maksimal antara 0,5 persen-2
persen suara, bergantung jumlah penduduk pada daerah pemilihan.
Ketentuan ini ditujukan untuk menekan jumlah perkara yang tak
berkualitas beralih ke MK.
Selisih maksimal suara antara 0,5 persen-2 persen merupakan bukti tidak
digunakannya fakta selisih suara dalam pilkada yang selama ini terjadi
dalam pilkada atau bahkan dalam pilpres. Selisih suara yang cukup besar
dari 2 persen sekalipun dapat dibatalkan MK karena adanya kecurangan
TSM. Margin error yang sangat tipis sebagai syarat formal
pengajuan sengketa menunjukkan pembentuk UU terlalu yakin penyelenggara
pilkada bekerja dengan sangat akurat, steril dari petahana, dan nihil
kecurangan.
Peradilan pilkada hanya mengutamakan keterpenuhan kebutuhan adanya
mekanisme untuk menyelesaikan keberatan meski tak ditujukan untuk
menggali kebenaran materiil yang dapat membukukan keadilan elektoral.
Peran MK hanya memenuhi keharusan adanya mekanisme dan prosedur
peradilan dalam sebuah siklus pilkada. Kombinasi ketentuan batasan
maksimal selisih dan pilihan MK hanya memeriksa hasil penghitungan,
berpotensi merusak integritas pilkada, menghilangkan akses keadilan dan
pelembagaan pelanggaran hak konstitusional kontestan.
MK masih punya kesempatan menciptakan terobosan untuk mengawal
integritas pilkada tanpa melanggar ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015. MK
dapat memperluas tafsir kewenangan memeriksa hasil penghitungan yang
diamanatkanUU dengan mempertimbangkan aspek indikasi kuat adanya
pelanggaran TSM sebagai variabel penentu keabsahan permohonan sengketa.
Begitulah cara MK melepaskan pasung dan belenggu norma dalam UU demi
keadilan elektoral.
Ismail Hasani, Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta & Direktur Riset
Setara Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Januari 2016, di halaman 7 dengan judul "Episode Peradilan Pilkada".
No comments:
Post a Comment