Wasisto Raharjo Jati
Cetak |
Keberadaan petisi online kini
mendapatkan tempat penting dalam artikulasi pendapat dan protes yang
disampaikan oleh kelas menengah Indonesia.
Berbagai isu politik
yang menghangat-seperti halnya kasus Freeport ataupun Mahkamah
Kehormatan Dewan alias MKD-kini menjadi pembahasan penting dalam dunia
maya, bagaimana masalah tersebut segera disudahi. Platform digital
seperti Change.org menjadi media penting bagi kelas menengah Indonesia
untuk mengartikulasikan kepentingannya.
Dalam kasus MKD,
misalnya, kini tercatat sudah mencapai 42.906 dukungan dari 50.000 yang
dibutuhkan. Sementara untuk kasus Freeport sendiri, jumlah 616
dukungan dari 1.000 dukungan yang diperlukan.
Besarnya dukungan dan atensi publik dalam petisi online
tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia sudah
berkembang menjadi kelas politik. Mereka mampu untuk jadi kelompok
kepentingan yang besar seperti dalam kasus "relawan" pada Pemilu 2014.
Namun, apakah kesadaran politik tersebut akan terus kontinu?
Kesadaran
politik kelas menengah Indonesia sebenarnya masih fluktuatif,
bergantung seberapa besar isu itu disokong oleh media sehingga menjadi
masalah bersama. Selain bergantung pada media, kesadaran politik itu
juga bergantung seberapa intens isu dibicarakan dan kemudian menyinggung
kepentingan mereka sehingga berkembang menjadi gerakan moral.
Keberadaan petisi online
memang banyak membantu untuk memprovokasi dan mendorong publik
bertindak kritis. Namun, yang lebih penting bagaimana menerjemahkan
dukungan petisi online itu jadi gerakan politik yang padu.
Sepanjang 2013-2014 tercatat sembilan petisi online
dari kelas menengah Indonesia, mulai dari kasus Daming Sunusi calon
hakim agung, diskriminasi pelayanan disabilitas, kawasan hutan
lindung, kawasan konservasi air, hingga perlindungan cagar budaya.
Semua petisi tersebut menarik dukungan publik hingga 5.000 tanda
tangan sehingga mampu menekan pemerintah dan swasta untuk tunduk pada
kehendak publik.
Dalam penarikan dukungan publik tersebut, ada
dua butir penting yang perlu dilihat untuk membangkitkan kesadaran
politik kelas menengah Indonesia melalui media digital. Pertama,
seberapa jauh isu itu dipandang secara multikompleks. Hal itu penting
mengingat satu isu sendiri bisa dipandang dalam berbagai sudut pandang
oleh publik. Karakteristik mendasar pengetahuan politik publik Indonesia
adalah seberapa kesamaan pandangan yang mereka miliki dan kemudian jadi
ikatan bersama.
Kedua, seberapa mendesak isu itu untuk segera
ditindaklanjuti oleh publik dengan melakukan aksi advokasi. Korupsi
sudah menjadi kata kunci umum yang digunakan untuk memprovokasi publik
untuk bangkit dan membentuk gerakan. Namun, tren sekarang ini, publik
cenderung mengangkat isu moralitas sebagai kata kunci penting untuk
perubahan.
Mereka menilai bahwa terjadinya korupsi,
penyalahgunaan kewenangan, juga praktik culas lainnya, lebih
dikarenakan bobroknya moralitas dari kalangan elite. Potensi kelas
menengah Indonesia sebagai netizen aktif yang kini sudah
mencapai 72,7 persen adalah kekuatan politik ekstra parlementer yang
cukup untuk melakukan perubahan sosial politik.
Adapun munculnya
kasus relawan pada Pemilu 2014, juga Gerakan 1 Juta Pendukung
Bibit-Hamzah pada 2011, adalah contoh bentuk gerakan moral kelas
menengah Indonesia berkat kampanye digital politik. Dua contoh tersebut
mengindikasikan bahwa moral merupakan soal utama dalam permasalahan
negara dan bangsa selama ini. Keberadaan petisi online kini
menjadi jembatan penting dalam membangkitkan nalar kewarasan publik
untuk tetap menjadi pengawas jalannya pemerintahan agar sesuai dengan
kaidah konstitusi.
Meskipun kini prospek digital politik tengah
mengalami euforia di mana petisi mampu jadi alat penekan utama bagi
pemerintah maupun swasta, hal terpenting adalah bagaimana menjaga
posisi keajekan kesadaran politik tersebut. Transisi apolitik menjadi
politik masih sangat tinggi di kalangan kelas menengah Indonesia.
Aktivisme klik (clicktivism)
belum tentu jadi kekuatan politik yang berpengaruh kalau tidak didukung
oleh para penyokongnya yang cukup kuat di akar rumput. Kekuatan isu
dan figuritas menjadi isu penting yang patut dikedepankan oleh aktivisme
politik digital di Indonesia untuk menjaga kesadaran politik.
Selain
dua isu tersebut, hal penting lain yang perlu dilihat adalah
saluran-saluran gerakan yang ingin dibentuk. Menerjemahkan isu gerakan
politik di dunia maya untuk jadi kenyataan di dunia nyata bukan perkara
mudah. Selain dikarenakan kejengahan publik terhadap sesama, hal lain
yang perlu diwaspadai adalah rezim sensor internet negara melalui
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Keberadaan UU itu menjadi lawan penting bagi pelaku
aktivitas politik online karena substansi dalam aturan tersebut bisa dipolitisasi oleh aparat untuk memberangus gerakan politik masyarakat.
Berbagai
hal itulah yang jadi tantangan terbesar dalam prospek politik digital
dalam kelas menengah Indonesia. Dalam satu sisi, keberadaan platform
politik digital mampu untuk membangkitkan kesadaran politik publik.
Namun, di sisi lain, belum tentu publik untuk terjun dalam gerakan yang
padu.
Oleh karena itu, aktivisme politik digital perlu untuk
dikuatkan dan disemai mengingat platform digital akan menjadi pilar
utama demokrasi masa depan.
Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Januari 2016, di
halaman 6 dengan judul "Politik Digital dan Kelas Menengah".
No comments:
Post a Comment