Halili
KOMPAS Cetak |
Berita pemberhentian mahasiswa
yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta atas Ronny
Setiawan telah menyebar secara viral dan menimbulkan keprihatinan yang
sangat luas. Ketua BEM UNJ tersebut diberhentikan karena kritik.
Dalam konsideran Surat Keputusan (SK) Rektor UNJ Nomor 1/SP/2016, Ronny
dinilai pihak rektorat melakukan tindakan yang tergolong sebagai
perbuatan kejahatan berbasis teknologi, penghasutan, dan pencemaran nama
baik sehingga membuat dia diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua
BEM UNJ sekaligus mahasiswa. Dukungan atas Ronny pun meluas. Tanda pagar
#SaveRonny sempat menempati puncak trending topic. Petisi daring menggugat rektor melalui situs Change.orgtak butuh waktu lama untuk menghimpun 50.000 lebih dukungan.
Setelah menuai respons publik yang luas di dunia maya, melalui jalur
islah kedua belah pihak yang ditandatangani padaRabu (6/1), Rektor UNJ
akhirnyabersedia mencabut SK pemberhentian Ronny. Kasus tersebut
sejatinya pelajaran pentingbagi semua, khususnya dunia kampus.
Pertama, di era demokrasi, represi atas mahasiswa oleh kampusnya
sendiri merupakan tindakan yang tidak memiliki basis justifikasi.
Tindakan Rektor UNJ mengeluarkan SK pemberhentian secara legal
nyata-nyata problematik. Hanya pengadilan yang dapat memutus seseorang
melakukan tindak pidana atau tidak. Secara moral-politik, kritik sekeras
apa pun dari mahasiswa harus dipandang sebagai kontrol terhadap
kekuasaan.
Arus balik publik
Kedua, media sosial telah membuat era kampus sebagai menara gading
sudah selesai. Penguasa tertinggi di kampus jangan sekali-kali
membayangkan bahwa setiap tindakan represi, sekecil apa pun, dapat
diproteksi dari penciuman publik. Perkembangan dunia maya telah
memungkinkan setiap informasi, serahasia apa pun, dapat menyebar dan
menuai tanggapan publik. Setiap arus kecil yang bertentangan dengan
nurani dan keadilan bisa mengundang gelombang arus balik publik yang
jauh lebih besar.
Publik tidak akan hanya terpancing untuk menyelamatkan si lemah yang
menjadi obyek kezaliman penguasa kampus. Mereka justru akan menelisik
obyek yang dikritik. Kalau kritik itu berkaitan dengan penyelewengan
penggunaan anggaran, pembungkaman kritik tentu akan memantik tuntutan
pengungkapan penyelewengan yang mungkin terjadi.
Ketiga, kasus ini harus menjadi otokritik bagi mahasiswa dan gerakan
mahasiswa. Di satu sisi, kegenitan bermedia sosial telah memancing
tumbuhnya watak instan, tak terkecuali mahasiswa dan para kaum terdidik
lain. Padahal, keharusan untuk berpijak pada dan menelusuri kebenaran
dalam isu tertentu semestinya menjadi pembeda gerakan kaum intelektual.
Kebenaran itulah yang pada akhirnya harus menjadi arena dialektis para
pihak melalui penggunaan media sosial.
Gerakan ”melempem”
Di samping itu, keberanian penguasa kampus untuk memberhentikan aktivis
gerakan mahasiswa patut diduga dilatari oleh melempemnya gerakan
mahasiswa di situ. Ketika sebagian besar mahasiswa menunjukkan fenomena
apatisme dan menjerumuskan diri pada anomali serta pembiarannya, kritik
pedas dari segelintir orang atas abnormalitas akan dibaca sebagai
anomali yang harus diluruskan. Yang segelintir itu akan dengan mudah
disingkirkan karena ”ketidaknormalannya”.
Dalam situasi itu, frasa gerakan mahasiswa tampaknya tak lagi dipandang
episentrum gerakan sosial yang menggentarkan. Premis ”mahasiswa takut
pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor
takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa” yang mengglorifikasi
ruh gerakan mahasiswa kini tak lebih sebagai nostalgia masa lalu.
Pelajaran puncaknya, gerakan mahasiswa harus segera diselamatkan, baik
secara struktural maupun kultural. Eksistensi gerakan mahasiswa
menemukan urgensinya sebab gerakan sosial kaum intelektual (baca: dosen)
berbasis kampus telah lebih dulu mati suri. Sebagaimana diulas Agus
Suwignyo, ”Kosongnya Kampus Kita” (Kompas, 30 Oktober 2013),
kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia belakangan kosong sebab para
dosen melakukan eksodus dalam tiga bentuk: menjadi politisi dan pejabat
birokrasi pemerintah; berorientasi menjadi pejabat struktural kampus;
dan menjadikan tuntutan administratif karier, seperti kepangkatan,
sertifikasi, dan lembar kinerja, sebagai pencapaian puncak
produktivitas.
Hal itu tidak hanya menjelaskan terjadinya pergeseran nilai asketisme
intelektual yang diidentifikasi oleh Agus Suwignyo, tetapi sekaligus
memupus kemungkinan lahirnya gerakan-gerakan sosial inspiratif dari para
dosen. Sebagian besar dosen memilih ”jalan aman”, klientelis, dan
super-pragmatis untuk memuluskan orientasi-orientasi non-intelektualnya.
Gerakan UI Bersih yang dimotori para dosen senior yang berhasil
”mendongkel” rektor dan mengungkap korupsi di Kampus UI sungguh contoh
yang sangat langka.
Jika situasi tersebut berturutan dengan matinya gerakan mahasiswa,
kampus semakin sulit untuk kita harapkan menjadi lokomotif moral dan
intelektual bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dan negara.
Halili, Dosen Universitas Negeri Yogyakarta; Peneliti Setara Institute, Jakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Januari 2016, di
halaman 7 dengan judul "Menyelamatkan Gerakan Mahasiswa".
No comments:
Post a Comment