Indra Tranggono
KOMPAS Cetak |
Keteladanan masih jadi krisis
laten bangsa kita. Tumbangnya otoritarianisme dan munculnya demokrasi
liberal tak otomatis disertai kemunculan tokoh- tokoh nasional yang
layak dijadikan panutan secara nilai, etik, dan moral.
Dunia politik, hukum, dan ekonomi paling jeblok dalam soal keteladanan.
Sementara dunia kebudayaan masih lumayan melahirkan tokoh-tokoh
teladan. Umar Kayam (1932-2002), misalnya, tokoh yang turut membangun
berdirinya Orde Baru, tetapi kemudian bersikap kritis dan memilih posisi
di luar kekuasaan dan mewakafkan keilmuannya melalui jalur pendidikan
dan kebudayaan.
Membangun kultur
Di jagat seni dan budaya,Umar Kayamlayak disebut sebagai tokoh yang
memiliki spirit filantropik. Dengan ide-idenya yang cerdas, kaya, dan
tajam, budayawan dan sastrawan itu meneguhkan betapa pentingnya bangsa
ini melakukan transformasi budaya menjadi bangsa yang modern, berbasis
budaya tradisi, plural, dan civilized. Atau bangsa yang berakar budaya, terbuka, memiliki etika, etos tinggi, dan dignity.
Umar Kayam tidak terobsesi jadi orang kaya. Dalam kesederhanaan
hidupnya, ia gigih bergelut dengan ide-ide besarnya tentang budaya dan
masyarakat. Iamembuka ruang-ruang kemungkinan bagi seni budaya Indonesia
untuk terus mencari, bereksplorasi, menemukan nilai-nilai baru dan
segar sehingga terhindar dari stagnasi dan involusi (jalan di tempat).
Selaku Direktur Jenderal Radio dan TV, ia mendorong lahirnya film-film
bermutu, berkarakter keindonesiaan,dan inspiratif. Ini antara lain
ditandai dengan lahirnya film-film Sjumandjaja, Nya Abbas Akub, Arifin C
Noer,Ami Priyono, dan lainnya.
Aktif di dalam Dewan Kesenian Jakarta, pada tahun 1970-an Umar Kayam
juga turut membangun kultur kreatifTaman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta
yang berdampak pada lahirnya pementasan berkualitas karya para maestro
seni: Rendra, Arifin C Noer, Putu Wijaya, Sardono W Kusumo, dan lainnya.
Umar Kayam pula yang menjadikan TIM tidak elitis. Koes Plus, Srimulat,
lenong dan wayang orang, wayang kulit punturut di dalam derap
kreativitas di TIM.
Di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tempat ia mengajar, ia merintis
pasar seni yang mempertemukan budaya kampus dengan budaya urban
perkotaan dan budaya desa.Pasar seni ala Kayam ini turut menginspirasi
berbagai festival di banyak kota.Ia pun selalu membuka lebar Pusat Studi
Kebudayaan UGM yang dipimpinnya, bagi semua orang, lintas ilmu, lintas
sosial, lintas agama, lintas budaya untuk berinteraksi melahirkan
kemajemukan gagasan.
Kepribadian solider
Sosok yang memiliki kepribadian solider ini dikenal sebagai pribadi yang terbuka, toleran, menjunjung kemajemukan, dan loma
(murah hati). Ia suka memberi ilmu-pengetahuan dan atensi yang hangat
kepada teman- temannya. Ia pun suka mentraktir makan yang enak-enak.
Tanpa memandang suku, agama, kelas sosial, dan aliran politik, ia
menjadi mentor bagi banyak orang.
Tak hanya itu, Umar Kayam juga membuka akses bagi para seniman untuk
melakukan mobilitas vertikal-kultural. Banyak seniman besar lahir dari
lingkaran pergaulan Umar Kayam. Untuk semua kontribusi besar itu—ini
yang mengagumkan—ia tak pernah merasa berjasa atau main klaim, apalagi
melakukan kooptasi. Semua yang ia lakukan dianggap sebagai kewajaran
hidup atau kewajiban atas sesama sekaligus investasi nilai bagi
perkembangan kebudayaan masyarakat. Kerendahan hati dan keikhlasan
justru membikin ketokohan Umar Kayam semakin besar. Sikap ini tecermin
pada pemikiran tokoh Lantip dalam novelnya, Para Priyayi (1992).
Umar Kayam adalah pribadi yang melampau dirinya baik sebagai sosiolog,
budayawan, maupun sastrawan. Ia menjalani takdirnya sebagai cendekiawan
yang berani bertarung memperjuangkan nilai-nilai kebenaran (etika,
logika, estetika, dan saintika) yang memiliki resonansi kemanusiaan dan
kemasyarakatan, bahkan bangsa.
BagiUmar Kayam, ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus diorientasikanuntuk
membangun nilai-nilai ideal kehidupan agar manusia, masyarakat mendapat
ruang bernapas, hak hidup, hak berkebudayaan, hak mewujudkan cita-cita
sosial, hak memiliki martabat, dan hak untuk sejahtera. Karena itu, bagi
Umar Kayam, ukuran cendekiawan bukan hanya kecakapan keilmuan,
keterampilan teknis, tetapi yang utama juga komitmen, integritas, dan
dedikasi. Ini yang menghindarkan cendekiawan dari sekadar tukang, orang
suruhan.
Berkaca pada Umar Kayam, cendekiawan semestinya tidak sekadar pintar (kecerdasan akal), tetapi juga lantip (kecerdasan terkait orientasi sosial, kultural)dan waskita
(kecerdasan terkait dengan nilai-nilai spiritual). Kepintaran atau
kecerdasan akal hanya menitikberatkan pada hitungan-hitungan rasional,
apa yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Cendekiawanyang hanya
memiliki kepintaran tak lebih dari pemburu kesempatan, peluang
(oportunis) demi kepemilikan kebendaan. Maka, cendekiawan harus lantip dan waskita
sehingga mampu mengorientasikan diri pada kebenaran, kebaikan kolektif
(masyarakat), dan mampu memiliki horizon nilai lebih luas terkait
spiritualitas.
Digusur pragmatisme
Negeri ini cenderung didominasi para cendekiawan pintar, tetapi kurang
atau bahkan tidak memiliki ”kelantipan” dan ”kewaskitaan”. Pada awalnya
para cendekiawan pintar itu berapi- api memperjuangkan kepentingan
publik, tetapi setelah berkuasa mereka mendadak berubah menjadi pemburu
kekuasaan dan harta. Sifat lantip dan waskita digusurpragmatisme yang menganggap sesuatu menjadi bernilai jika memiliki kegunaan praktis, jangka pendek, dan instan.
Para politikus, para penyelenggara negara, para penguasa ekonomi, para
penegak hukum,ada baiknya berguru pada Umar Kayam yang berani mewakafkan
kemampuan dirinya untuk kemanusiaan, masyarakat, kebudayaan, dan
peradaban bangsa. Syaratnya, harus berani hidup sederhana, mengasah visi
kultural, sosial, politik, ekonomi, lebih mengutamakan idealisme
daripada pragmatisme, memiliki spirit filantropik, beretika dan beretos
tinggi, toleran, humanis, dan mampu melahirkan karya-karya sosial,
kultural.
Untuk apa jaditokohjika selama kariernya hanya cari popularitas dan
menumpuk harta? Sejarah akan menguji integritas, komitmen, dan
kapabilitas Anda dalam peran sosial-politik-kultural di negeri ini.
Apakah Anda hanyalah politikus oportunistik danmencla-mencle atau negarawan? Sebaiknya Anda terus-menerus menggugat diri. Rakyat menunggu keteladanan Anda!
Indra Tranggono,
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan; Tinggal di Yogyakarta
Versi
cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 November 2015, di
halaman 7 dengan judul "Wakaf Budaya, Belajar dari Sosok Umar Kayam".
No comments:
Post a Comment