KOMPAS Cetak |
Regulasi pemerintah atas upah,
yang termanifestasi di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015
tentang Pengupahan, benar-benar mencerminkan keberlangsungan tatanan
kapitalisme neoliberal dalam kompleksitas dan coraknya yang spesifik.
Sebuah
tatanan, ketika kapitalisme jadi relasi sosial produksi, berjalan dalam
totalitas yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dalam
totalitas ini kapitalisme tak dapat diletakkan semata-mata sebagai
sistem ekonomi di mana aktivitas teknis produksi berlangsung.
Sedari
produksi di dalam kapitalisme berbasis pada relasi sosial,
keberlangsungan dan kelancaran sirkulasinya mensyaratkan penciptaan
kondisi penopang di segenap lini kehidupan masyarakat. Membentang mulai
dari ranah politik, hukum, sampai budaya, kondisi tertentu harus
diciptakan sedemikian rupa sehingga terus memungkinkan sirkulasi relasi
sosial produksi kapitalis ini dapat terus berjalan.
Pada titik ini
negara memainkan posisi dan peran dalam keberlangsungan tatanan
kapitalisme neoliberal. Baik melalui kehadiran maupun
ketidakhadirannya dalam hidup masyarakat, negara senantiasa berupaya
mencipta dan menjaga kondisi yang dibutuhkan bagi kelancaran sirkulasi.
Namun, tak dapat pula itu serta-merta dimaknai negara tunduk dan
melayani segala apa yang dibutuhkan kapitalisme.
Di satu sisi,
kelancaran sirkulasi kapital membutuhkan peran penjagaan dari negara. Di
sisi lain, sejak kehidupan masyarakat berlangsung dalam totalitas
sirkulasi kapital, maka kelancaran sirkulasi ini menentukan
keberlangsungan ekonomi masyarakat, pada gilirannya jadi basis
legitimasi atas kedaulatan negara.
Demikianlah PP No 78/2015
menampilkan manifestasi nyata dari upaya pemerintah menjaga kelancaran
sirkulasi produksi kapitalis yang berlangsung di wilayah geografis
Indonesia. Bahkan, melalui regulasi ini, negara menampakkan kehadirannya
secara vulgar untuk secara langsung mencipta dan menjaga kondisi yang
dibutuhkan dan menopang keberlangsungan sirkulasi tepat pada jantungnya.
Tentu
tidaklah sesederhana itu gestur negara di dalam bekerjanya tatanan
kapitalisme neoliberal dapat dinilai dan dianalisis. Masalah regulasi
pemerintah atas upah ini harus dibedah secara obyektif dalam corak
spesifik dan kontekstual dari keberlangsungan sirkulasi produksi
kapitalis di Indonesia. Meskipun permasalahan inheren dan permanen di
dalam kapitalisme, manifestasi, dan ragam upaya mengatasinya berlangsung
dalam corak yang bersifat spesifik ruang dan waktu.
Maka,
pentinglah membedah secara serius corak spesifik dan dinamika dari
sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia, yang menuntut negara terus
mencipta dan menjaga sederet kondisi yang dibutuhkan bagi kelancarannya.
Jika tidak, mata rantai permasalahan ini tak akan pernah dapat
diputus, dan rupa-rupa permasalahan yang sama pun akan terus berulang.
Sirkulasi
produksi kapitalis dalam corak dan dinamika spesifik, seperti apa yang
sesungguhnya hendak dijaga pemerintah melalui PP No 78/2015 ini?
Tingkat upah murah
Pertama,
secara keseluruhan tak dapat dimungkiri keberlangsungan dan kelancaran
sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia sangat bergantung pada dan
mensyaratkan tingkat upah murah. Kondisi ini dapat diukur dari komposisi
produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang bertumpu pada kontribusi
besar sektor industri manufaktur, dengan rata-rata kontribusinya
terhadap PDB di atas 20 persen dalam lima tahun terakhir.
Di balik
kontribusi terbesar industri manufaktur inilah terungkap betapa
keberlangsungan sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia sangat
bertumpu pada tingkat upah murah. Berdasarkan hasil penelitian penulis
terhadap struktur industri manufaktur Indonesia periode 1996-2012,
sektor industri manufaktur digerakkan oleh kinerja subsektor industri
di mana upah murah menjadi basis utama dari penciptaan keuntungan.
Dari
10 kelompok subsektor industri manufaktur berpendapatan tertinggi kurun
1996-2012, rata-rata 37 persen di antaranya berada dalam klasifikasi
industri yang padat tenaga kerja tak terampil (PTKTT). Disusul sektor
industri dalam klasifikasi pada sumber daya alam (PSDA) dengan rata-rata
23 persen, industri padat kapital sumber daya manusia (PSDM) 25
persen, padat teknologi (PT) 10 persen, dan dalam klasifikasi padat
kapital fisik (PKF) 5 persen.
Diselami lagi dari besarnya porsi
industri dalam klasifikasi PTKTT dan PSDA inilah terungkap corak yang
spesifik dan dominan dari sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia, di
mana penciptaan nilai sangat bertumpu pada tingkat upah buruh murah.
Betapa tidak, beberapa dari subsektor yang berada pada posisi dominan
itu di antaranya subsektor industri tekstil, tembakau dan rokok, serta
industri pengolahan kelapa sawit, di mana ratusan ribu buruh dengan
tingkat upah murah jadi penggerak utama kegiatan produksi.
Demikian
pula kondisinya jika ditinjau dari sisi ekspor. Berada pada jajaran
teratas dalam 10 besar daftar subsektor industri manufaktur yang memberi
kontribusi besar terhadap ekspor Indonesia periode 2007-2012, adalah
industri pengolahan kelapa sawit, besi baja, mesin dan otomotif,
tekstil, tembakau, dan subsektor industri lainnya yang tergolong dalam
klasifikasi PSDA dan PTKTT.
Dalam kondisi tiadanya perubahan
fundamental dalam struktur industri manufaktur Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir, mutlak penjagaan terhadap tingkat upah murah tetap jadi
pertaruhan besar bagi pemerintah. Kondisi upah murah terbukti masih
pada posisi penyokong utama bagi keberlangsungan dan kelancaran
sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia.
Gestur penjagaan
tingkat upah murah ini tampak jelas terkandung dalam PP No 78/2015.
Perpaduan di antara peninjauan komponen kebutuhan hidup layak selama
lima tahun sekali, ditambah masuknya variabel inflasi dan
pertumbuhan ekonomi tahunan, sangatlah mencerminkan logika upah murah
ini.
Makin temaram
Kedua,
corak spesifik dan dominan dari sirkulasi produksi kapitalis di
Indonesia yang berbasis upah murah ini makin temaram ditinjau dari
posisinya di dalam rantai nilai global. Merujuk pada golongan barang
ekspor utama kurun 2010-2014, tampak jelas posisi Indonesia dalam
rantai nilai global sebagai pemasok barang jadi dan setengah jadi dengan
nilai tambah yang rendah.
Pada 2014, misalnya, yang berada
pada peringkat teratas dengan kontribusi 20,21 persen dari total ekspor
hasil industri adalah kelompok hasil industri pengolahan kelapa/kelapa
sawit. Diikuti kelompok hasil industri besi baja, mesin-mesin dan
otomotif, serta industri tekstil, dengan persentase masing-masing 13,48
dan 10,84 di mana-lagi-lagi-tingkat upah buruh murah jadi daya saing
utamanya.
Namun, dinamika pengalihan aktivitas produksi di dalam
rantai nilai global menunjukkan bahwa tidak hanya dalam wujud tingkat
upah murah yang jadi determinan bagi keputusan pengalihan aktivitas
produksi ke suatu negara. Juga tingkat kepastian biaya produksi, yang
tentu sangat dipengaruhi kepastian tingkat upah buruh dan regulasi
di dalam sebuah negara, sebagai determinan lain yang tak kalah
pentingnya.
Formulasi pengupahan yang ditetapkan melalui PP No
78/2015 tampak jelas memenuhi kebutuhan akan kepastian tingkat upah bagi
pengalihan aktivitas produksi ke Indonesia ini. Melalui PP ini,
komponen penghitungan upah minimum semakin pasti, terutama melalui
mekanisme peninjauan kebutuhan hidup layak yang dilakukan lima tahun
sekali. Alhasil, polemik penentuan komponen kebutuhan hidup layak dalam
penetapan upah minimum setiap tahunnya dapat diminimalkan.
Tak
hanya makin pasti, peningkatan upah minimum tahunan pun makin terkendali
dan terukur. Gejolak tuntutan kenaikan upah yang terus terjadi seiring
dinamika sirkulasi kapital yang kian tak stabil disalurkan secara pasti
dan terukur melalui penambahan komponen inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Dan, terciptalah kondisi yang kian memadai bagi kelancaran pengalihan
aktivitas produksi ke Indonesia dalam rantai nilai global.
Ketiga,
penetapan formulasi pengupahan ini tak dapat dilepaskan dari program
pembangunan ekonomi pemerintahan Joko Widodo, khususnya dalam wujud
program revitalisasi sektor industri manufaktur Indonesia.
Dalam
rangka mendongkrak kontribusi industri manufaktur terhadap PDB hingga 30
persen, pemerintahan Jokowi mencanangkan pembangunan 13 kawasan
industri baru yang tersebar di wilayah timur Indonesia. Namun, ditinjau
lagi secara spesifik, semua kawasan yang dibangun lagi-lagi kawasan
industri berbasis ekstraksi sumber daya alam dan upah buruh murah.
Melepaskan
penjagaan terhadap tingkat upah murah di Indonesia tentu saja menjadi
pertaruhan besar bagi pemerintahan Jokowi. Melalui regulasi pengupahan
yang menjamin kenaikan upah pada tingkat yang terukur dan terkendali,
serta melalui formulasi yang memberi kepastian biaya, daya tarik kawasan
industri baru dapat tetap terjaga.
Demikianlah regulasi
pengupahan yang digelontorkan pemerintah ini benar-benar merefleksikan
gestur negara dalam menjaga kelancaran sirkulasi tepat pada jantung
produksi kapitalis dengan coraknya yang spesifik dan dominan di
Indonesia. Bahkan, gestur ini tampak dimainkan dengan sangat apik oleh
pemerintahan Jokowi.
Menghadiahi regulasi ini sebagai sebuah
penolakan adalah satu hal yang memang mutlak bagi gerakan buruh. Namun,
dengan mendudukkan masalah ini di dalam bingkai bekerjanya tatanan
kapitalisme neoliberal di Indonesia, tampak lebih dari sekadar penolakan
yang harus dilakukan.
Selama relasi sosial produksi kapitalis
tetap menjadi totalitas yang menggerakkan segenap kehidupan masyarakat,
selama itu pula permasalahan upah akan terus melekat di dalamnya.
Selama
sirkulasi produksi kapitalis di Indonesia tetap berlangsung dalam corak
spesifiknya yang mensyaratkan upah murah, selama itu pula tarik-menarik
permasalahan upah ini akan terus terjadi.
DODI MANTRA
Pegiat Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI); Dosen Hubungan Internasional Universitas Paramadina
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Ekonomi Politik Pengupahan".
No comments:
Post a Comment