Hendra Gunawan
kompas Cetak |
Pada akhir tahun 2012 saya
menghadiri sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh Calcutta
Mathematical Society (CMS), di sebuah gedung sederhana tempat CMS
berkantor. Ada yang berkesan tentang gedung CMS tersebut. Di ruang
utamanya terpampang sejumlah foto para ilmuwan, bukan hanya
matematikawan, melainkan juga fisikawan dan ilmuwan terkemuka dalam
bidang lainnya.
Kebanyakan di antara ilmuwan yang fotonya dipasang bahkan bukan ilmuwan
asal India, melainkan ilmuwan mancanegara. Sebutlah seperti Isaac
Newton, Joseph Fourier, dan Albert Einstein.
Pesan yang ingin mereka sampaikan dengan memajang foto para ilmuwan ini sangat jelas: para ilmuwan tersebut merupakan benchmark
(acuan) bagi mereka dalam berkarya. Pemandangan serupa pernah saya
jumpai di sebuah perguruan tinggi di Ho Chi Minh City, Vietnam, yaitu
terpampangnya foto tokoh kelas dunia yang telah berkontribusi pada
pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban.
Perihal profesor
Namun, jika kita berkunjung ke lembaga-lembaga keilmuan atau perguruan
tinggi (PT) di Indonesia, dan mengamati apa yang dipajang di ruang
pertemuan utama mereka, besar kemungkinan kita akan menemukan foto para
mantan pejabat di lembaga tersebut: entah mantan direktur atau mantan
rektor. Demikian juga di ruang rapat fakultas di perguruan tinggi
Indonesia, foto para mantan dekanlah yang biasanya terpampang. Pesan
yang secara tidak langsung disampaikan adalah: jika ingin menjadi
seseorang di lembaga keilmuan atau PT di Indonesia, jadilah pejabat
(struktural).
Jadi, sesungguhnya tidak mengherankan ketika Agus Suwignyo menulis di Kompas
(6/11/2015) tentang keasyikan profesor dan dosen secara umum dengan
tugas-tugas administratifnya. Bahkan, Agus melanjutkan, cukup banyak
profesor berusaha memperoleh posisi struktural baru setelah
menyelesaikan masa tugas suatu jabatan struktural, bukannya kembali ke
laboratorium melaksanakan tugasnya memimpin pengembangan ilmu
pengetahuan.
Terlepas dari jumlahnya yang sedikit, kinerja para profesor kita dalam
pengembangan ilmu pengetahuan memang menyedihkan, sebagaimana disoroti
pula oleh Terry Mart (Kompas, 11/11/2015). Terry mengusulkan
dua solusi untuk mengatasi masalah ini. Solusi pertama adalah memisahkan
jabatan profesor dari sistem kepangkatan dan remunerasi pegawai. Solusi
kedua adalah dengan merealisasikan jabatan ”profesor paripurna” yang
sudah diperkenalkan dalam UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.
Persisnya, pada Pasal 49 Ayat (3) dalam UU tersebut dinyatakan bahwa
”Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang
sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional
dapat diangkat menjadi profesor paripurna.”
Berbicara tentang profesor, kita tentu tidak bisa lepas dari alasan dan
tujuan pengangkatan seorang profesor di PT. Entah sejak kapan
persisnya, alasan pengangkatan profesor telah mengalahkan tujuannya.
Seorang dosen yang telah mengumpulkan kum 850 atau lebih,
dengan proporsi tertentu dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat serta kegiatan lainnya, secara administratif
memang dapat diusulkan untuk menjabat sebagai profesor.'
Langkah yang kemudian dilakukan oleh pihak perguruan tinggi adalah
menelaah usulan tersebut secara administratif pula. Pembahasan tentang
apa yang telah dilakukan oleh sang calon profesor dalam bidang
keilmuannya biasanya dikaitkan dengan pemenuhan persyaratan yang
ditetapkan oleh Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yang kini di bawah
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (dulu di Kemdikbud).
Misalnya, apakah yang bersangkutan telah pernah membimbing doktor dan
memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal internasional.
Penelaahan berkas usulan profesor dilakukan oleh banyak pihak, mulai
dari tingkat fakultas hingga ke kementerian, tetapi hasilnya tetap
dipertanyakan.
Saya pernah terlibat sebagai penelaah berkas usulan profesor di Ditjen
Dikti (dulu, sebelum penggabungan Kemristek dan Ditjen Dikti). Sejauh
yang saya amati, tidak pernah ada penjelasan dari pihak perguruan
tinggi, mengapa atau untuk apa mereka mengusulkan calon profesor
tersebut, selain bahwa sang calon telah memenuhi semua persyaratan yang
ditentukan (oleh Ditjen Dikti). Bahkan, sebagai penelaah, saya tidak
punya gambaran berapa banyak profesor yang telah dimiliki di perguruan
tinggi tersebut, dan apa rencana besar yang dimiliki oleh pihak
perguruan tinggi terkait dengan calon profesor yang diusulkannya.
Sayangnya, pihak Ditjen Dikti memang tidak menuntut hal tersebut dari
pihak perguruan tinggi.
Misi perguruan tinggi
Padahal, kalau kita tengok kembali apa yang telah digagas para pendiri
bangsa (antara lain Prof Soepomo dan Prof Soenaria Kalapaking) dengan
perguruan tinggi kita, kita akan menyadari bahwa peran profesor atau
guru besar sangat penting dalam melaksanakan misi perguruan tinggi.
Kalapaking menyatakan bahwa ”baik buruknya mutu universitas terutama
bergantung pada pemilihan orang-orang yang dijadikan guru besar.”
Saya membayangkan, setiap PT di Indonesia punya visi dan misi yang
jelas dan tajam, yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi
benar-benar ingin diwujudkan. Pengangkatan profesor, dalam hal ini,
merupakan bagian dari strategi perguruan tinggi tersebut guna mewujudkan
visi dan melaksanakan misinya.
Seseorang yang telah mengumpulkan kum 850 memang secara
administratif dapat mengajukan diri untuk diusulkan menjadi profesor.
Namun, apabila pihak perguruan tinggi tidak melihat relevansinya dengan
pencapaian visinya, usulan tersebut tidak harus serta-merta diproses
alias ditindaklanjuti.
Sebaliknya, apabila pihak perguruan tinggi menilai bahwa untuk mencapai
visi atau melaksanakan misinya mereka harus mengangkat seorang
profesor, maka—sebagaimana lazim terjadi di luar negeri— pihak perguruan
tinggi akan mengumumkan ”lowongan” profesor tersebut, bahkan bila perlu
secara terbuka, agar diperoleh seorang profesor terbaik dalam bidang
yang ingin dikembangkan di perguruan tinggi tersebut.
Persoalan seputar jabatan profesor di Indonesia memang pelik, tetapi
kita tidak boleh lupa dengan alasan dan tujuan pendirian perguruan
tinggi. Tampaknya, selama ini kita luput tentang hal itu. Alhasil,
muncullah berbagai persoalan, termasuk sedikitnya profesor dan—lebih
parah daripada itu—rendahnya mutu para profesor yang ada.
Jadi, kalau Terry Mart mengusulkan direalisasikannya jabatan profesor
paripurna, jangan-jangan tidak banyak profesor yang memiliki karya
monumental yang sangat istimewa, kecuali jika kita menafsirkannya lain
(dan kita memang ahli dalam bermain dengan kata-kata). Namun, kalau
memang ada profesor yang memiliki karya istimewa, saya lebih berharap
pihak perguruan tinggi memajang foto mereka di ruangan penting di
kampusnya. Hal ini untuk memberi pesan kepada para dosen muda dan
mahasiswa: ”jika anda ingin menjadi seseorang, lahirkanlah karya yang
istimewa.”
Hendra Gunawan, Guru Besar FMIPA ITB
No comments:
Post a Comment