Tuesday, January 3, 2017

Jangan Tangisi Perjanjian yang Sudah Berakhir

EKONOMI > MAKRO > JANGAN TANGISI PERJANJIAN YANG SUDAH BERAKHIR
Selama tujuh dekade setelah berakhirnya Perang Dunia II adalah masa-masa perjanjian perdagangan. Negara-negara dengan perekonomian besar berada dalam masa di mana mereka secara terus-menerus melakukan perundingan perdagangan, serta menandatangani dua perjanjian multilateral utama yang berskala global: Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) dan perjanjian untuk membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selain itu, terdapat lebih dari 500 perjanjian perdagangan bilateral dan regional yang ditandatangani, yang kebanyakan di- tandatangani sejak WTO menggantikan GATT tahun 1995.
Lonjakan populisme di tahun 2016 hampir pasti akan mengakhiri rangkaian kesibukan pembuatan perjanjian perdagangan.
Saat negara berkembang mungkin melakukan perjanjian perdagangan dengan skala yang lebih kecil, dua perjanjian perdagangan besar, yakni Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan Kemitraan Dagang dan Investasi Trans-Atlantik (TTIP), dapat dianggap sudah berakhir ketika Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Kita tidak perlu bersedih atas berakhirnya kedua perjanjian tersebut. Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari perjanjian perdagangan? Jawabannya mungkin cukup jelas: sejumlah negara melakukan perundingan perjanjian perdagangan untuk mencapai perdagangan yang lebih bebas. Namun, kenyataannya lebih rumit daripada itu.
Hal itu terjadi bukan hanya karena pada saat ini perjanjian perdagangan yang dilakukan juga mencakup banyak kebijakan lain seperti peraturan mengenai kesehatan dan keselamatan, paten dan hak cipta, peraturan neraca modal, dan hak-hak investor. Akan tetapi, hal ini juga terjadi karena adanya ketidakjelasan apakah hal-hal tersebut berhubungan dengan perdagangan bebas.
Pertimbangan perekonomian yang menjadi dasar untuk melakukan perdagangan atau tidak adalah pertimbangan dalam negeri. Akan ada pihak-pihak yang diuntungkan dan ada yang mendapatkan kerugian, tetapi secara umum liberalisasi perdagangan akan memperbesar perekonomian negara tersebut.
Perdagangan adalah suatu hal yang baik dan kita harus menghilangkan hambatan atas perdagangan demi kebaikan kita sendiri—bukan demi membantu negara lain.
Oleh karena itu, perdagangan bebas tidak memerlukan konsep kosmopolitanisme; yang diperlukan adalah penyesuaian di dalam negeri untuk menjamin bahwa semua kelompok (atau setidaknya penguasa politik) bisa mendapatkan bagian dari keseluruhan manfaat perdagangan bebas.
Bagi negara-negara dengan perekonomian yang relatif kecil, hal di atas merupakan motivasi untuk melakukan perdagangan bebas. Hal ini disebabkan mereka tidak memerlukan perjanjian dagang karena perdagangan bebas adalah suatu hal yang mereka inginkan (dan mereka tidak mempunyai posisi tawar dibandingkan dengan negara-negara dengan ekonomi yang lebih besar).
Manipulasi peraturan
Para ahli ekonomi mengkaji kasus perjanjian dagang negara-negara dengan ekonomi besar karena mereka bisa memanipulasi peraturan perdagangan mereka, misalnya harga global barang-barang yang mereka ekspor dan impor.
Sebagai contoh, dengan memberlakukan tarif impor untuk baja, Amerika Serikat bisa menurunkan harga baja yang dijual oleh produsen baja dari Tiongkok.
Atau, dengan memberlakukan pajak ekspor pesawat, Amerika Serikat bisa meningkatkan harga yang perlu dibayar oleh pembeli dari negara lain. Perjanjian dagang yang melarang kebijakan-kebijakan merugikan mitra dagang seperti itu bermanfaat bagi semua negara karena tanpa adanya kesepakatan ini, semua negara tersebut dapat merugi.
Namun, untuk menerapkan penalaran di atas dalam praktik perjanjian dagang yang ada adalah perkara yang sulit. Walaupun Amerika Serikat memberlakukan bea impor pada baja dari Tiongkok (dan juga ke banyak produk Tiongkok lainnya), motifnya bukan untuk menurunkan harga baja global.
Jika dibiarkan, Amerika Serikat akan lebih memilih untuk memberikan subsidi ekspor bagi Boeing—seperti yang sering mereka lakukan—dibandingkan dengan memberlakukan pajak ke Boeing. Memang benar bahwa peraturan WTO melarang subsidi ekspor— yang bisa dibilang akan memperkaya negara mitra dagang— sementara tidak ada larangan untuk memberlakukan pajak ekspor.
Jadi, ilmu ekonomi tidak membuat kita menjadi lebih memahami perjanjian dagang. Ilmu politik sepertinya lebih dapat menjelaskan hal tersebut: kebijakan perdagangan Amerika Serikat mengenai baja dan pesawat terbang dilatarbelakangi lebih pada keinginan para pembuat kebijakan untuk membantu kedua industri tersebut—kedua industri tersebut mempunyai kekuatan lobi yang besar di Washington DC—daripada pengaruhnya terhadap perekonomian yang lebih luas.
Para pendukung perjanjian perdagangan sering berargumen bahwa perjanjian dapat mempersulit pemerintah untuk memberikan bantuan bagi industri yang memiliki hubungan politik yang erat dengan penguasa.
Namun, argumen ini memiliki kekurangan. Jika kebijakan perdagangan sebagian besar dipengaruhi oleh kelompok lobi politik, bukankah hal yang sama juga terjadi di perundingan perdagangan internasional? Apakah peraturan perdagangan yang dibuat oleh kombinasi kelompok lobi dalam negeri dan asing akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan peraturan yang hanya dibuat oleh kelompok lobi dalam negeri?
Tentu saja, kelompok lobi di dalam negeri tidak bisa mendapatkan semua yang mereka inginkan ketika mereka berhadapan dengan kelompok lobi asing. Namun, kepentingan yang sama dalam kelompok-kelompok industri di sejumlah negara bisa berujung pada kebijakan yang menguntungkan industri secara global.
Kolusi internasional
Jika perjanjian perdagangan sebagian besar adalah tentang tarif impor, maka perundingan pertukaran atas akses pasar biasanya menghasilkan hambatan impor yang lebih rendah. Ini adalah contoh manfaat keadaan di mana kelompok-kelompok lobi saling mengimbangi satu dengan lainnya.
Namun, tentu banyak contoh kolusi internasional di antara kelompok kepentingan. Larangan subsidi impor dari WTO tidak mempunyai alasan ekonomi yang jelas, seperti yang telah dijelaskan di atas. Peraturan anti-dumping juga secara jelas bermaksud untuk melakukan aksi proteksionisme.
Kolusi seperti ini semakin berkembang akhir-akhir ini. Perjanjian perdagangan akhir-akhir ini memasukkan peraturan mengenai ”hak intelektual”, arus modal, dan perlindungan investasi yang sebagian besar dirancang untuk menghasilkan dan mempertahankan keuntungan untuk institusi finansial dan perusahaan multinasional dengan mengorbankan tujuan kebijakan sah lainnya.
Peraturan-peraturan ini memberikan perlindungan khusus kepada investor asing yang sering bertentangan dengan peraturan kesehatan masyarakat atau lingkungan. Peraturan-peraturan tersebut juga mempersulit negara berkembang untuk mempunyai akses terhadap teknologi, mengatur arus modal yang volatil, dan melakukan diversifikasi ekonomi melalui kebijakan-kebijakan sektoral.
Kebijakan perdagangan yang didorong oleh kelompok lobi politik dalam negeri dan kelompok kepentingan adalah kebijakan yang merugikan diri sendiri. Hal ini mungkin juga mempunyai konsekuensi yang merugikan mitra dagang, tetapi hal ini bukanlah motif mereka.
Kondisi ini mencerminkan asimetri kekuatan dan kegagalan politik di masyarakat. Perjanjian perdagangan internasional hanya mempunyai manfaat terbatas untuk memperbaiki kegagalan di dalam negeri tersebut, dan terkadang mereka justru memperparah kondisi yang sudah ada.
Menyikapi kebijakan yang merugikan diri sendiri tentu membutuhkan perbaikan pemerintahan dalam negeri, bukan dengan membuat peraturan internasional.
Mari kita ingat hal ini ketika kita meratapi berakhirnya masa perjanjian perdagangan. Jika kita mengatur perekonomian kita dengan baik, perjanjian perdagangan yang baru akan menjadi lebih tidak berarti.
DANI RODRIK
Profesor Politik Ekonomi Internasional di Sekolah Pemerintahan John F Kennedy, Universitas Harvard, dan penulis ”Economics Rules: The Rights and Wrongs of the Dismal Science”
©Project Syndicate, 2016. www.project-syndicate.org
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul "Jangan Tangisi Perjanjian yang Sudah Berakhir".
  • 0
  • 0
  • 0

No comments:

Post a Comment