Selasa , 03 Januari 2017, 08:12 WIB
2016, Tahun AS Kehilangan Taring?
Red: Karta Raharja Ucu
Fitirian Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitriyan Zamzami, wartawan Republika/ alumni Jefferson’s
Fellowship dari the East-West Center, AS
Menjelang akhir tahun lalu, Presiden AS Barack Obama membuat langkah mengejutkan. Ia memulangkan 35 diplomat Rusia terkait tudingan CIA bahwa pemerintah negara Beruang Merah dengan perintah langsung Presiden Vladimir Putin ikut campur menentukan hasil Pilpres AS pada Oktober 2016 melalui serangkaian peretasan jaringan internet.
Berbagai pihak memperkirakan, Moskow akan beraksi keras terhadap tindakan pengusuran diplomat tersebut. Yang dilakukan Putin ternyata sebaliknya. Ia menegaskan tak akan membalas pengusiran diplomat alih-alih memerintahkan perlindungan total terhadap para diplomat AS dan mengundang keluarga mereka merayakan tahun baru di kediamannya. Artinya, ia menganggap aksi AS semacam angin lalu, hal yang tak pernah dilakukan Rusia sebelum-sebelumnya.
Aksi Washington tersebut punya ironi tersendiri. Pasalnya, Amerika Serikat, seperti dicatatkan pakar politik dari Carnegie Mellon University, Pennsylvania, Dov Levin, tak asing dengan urusan mencampuri pemilu negara lain. Seperti dilansir LA Times pekan lalu, Levin mencatat setidaknya 81 kali agen-agen AS mencoba mengatur hasil pemilihan di negara lain. Jumlah itu belum termasuk aksi AS menggulingkan pemerintahan lewat kudeta atau lewat aksi militer.
Dengan rekam jejak seperti itu, sukar bagi negara lain menganggap serius kekhawatiran AS bahwa pemilunya coba dipengaruhi negara lain. Alih-alih bersimpati dengan AS, mereka yang paham sejarah akan menilai mungkin ini saatnya Amerika Serikat menelan pahitnya obat mereka sendiri.
Fellowship dari the East-West Center, AS
Menjelang akhir tahun lalu, Presiden AS Barack Obama membuat langkah mengejutkan. Ia memulangkan 35 diplomat Rusia terkait tudingan CIA bahwa pemerintah negara Beruang Merah dengan perintah langsung Presiden Vladimir Putin ikut campur menentukan hasil Pilpres AS pada Oktober 2016 melalui serangkaian peretasan jaringan internet.
Berbagai pihak memperkirakan, Moskow akan beraksi keras terhadap tindakan pengusuran diplomat tersebut. Yang dilakukan Putin ternyata sebaliknya. Ia menegaskan tak akan membalas pengusiran diplomat alih-alih memerintahkan perlindungan total terhadap para diplomat AS dan mengundang keluarga mereka merayakan tahun baru di kediamannya. Artinya, ia menganggap aksi AS semacam angin lalu, hal yang tak pernah dilakukan Rusia sebelum-sebelumnya.
Aksi Washington tersebut punya ironi tersendiri. Pasalnya, Amerika Serikat, seperti dicatatkan pakar politik dari Carnegie Mellon University, Pennsylvania, Dov Levin, tak asing dengan urusan mencampuri pemilu negara lain. Seperti dilansir LA Times pekan lalu, Levin mencatat setidaknya 81 kali agen-agen AS mencoba mengatur hasil pemilihan di negara lain. Jumlah itu belum termasuk aksi AS menggulingkan pemerintahan lewat kudeta atau lewat aksi militer.
Dengan rekam jejak seperti itu, sukar bagi negara lain menganggap serius kekhawatiran AS bahwa pemilunya coba dipengaruhi negara lain. Alih-alih bersimpati dengan AS, mereka yang paham sejarah akan menilai mungkin ini saatnya Amerika Serikat menelan pahitnya obat mereka sendiri.
Sebelum pengusiran diplomat, AS juga sedikit dipermalukan dengan aksi Rusia, Iran, dan Turki menolak campur tangan Washington dalam pembahasan solusi damai di Suriah. Jarang terjadi perang proxy seperti di Suriah diselesaikan tanpa pelibatan pihak Paman Sam. Keterlibatan AS dalam penyerangan koalisi yang dipimpin Arab Saudi di Yaman, juga tak jelasnya akhir aksi militer AS di Irak dan Afghanistan, menunjukkan masukan Washington barangkali bukan yang paling manjur.
Di Eropa, melunturnya pengaruh AS juga nampak dari hasil pemungutan suara yang menentukan Britania Raya akan keluar dari Uni Eropa. Pidato Presiden Barack Obama mendukung keutuhan Uni Eropa dan meminta warga Britania Raya tak memilih keluar dari Uni Eropa tak mencegah kemenangan kubu Brexit pada Juni lalu.
Kredibilitas AS kian ternodai dengan terpilihnya Donald Trump dalam pilpres tahun lalu. Upaya AS mendorong demokratisasi di berbagai belahan dunia tentu sukar dapat pijakan jika di rumah mereka sendiri proses pemilihan yang demokratis (terlepas ada atau tidaknya campur tangan Rusia) ternyata menghasilkan seorang pimpinan yang selama kampanye berulang kali mengeluarkan pernyataan rasis, seksis, dan anti-Islam.
Satu lagi, rencana penyatuan kekuatan ekonomi negara-negara tepian Pasifik yang diperjuangankan dengan sengit oleh AS melalui perjanjian dagang Trans-Pacific Partnership (TPP) kian tak jelas nasibnya di masa datang. Meski sempat disepakati draf akhirnya oleh perwakilan negosiator dari 12 negara tahun ini, jalan ekonomi yang digadang-gadang bisa menghambat penetrasi Cina di Asia-Pasifik
tersebut terancam batal di bawah administrasi baru yang bakal mulai menjabat akhir Januari ini.
Kejadian-kejadian tersebut bisa dilihat sebagai cerminan posisi AS di mata dunia sepanjang 2016. Pengaruh yang tak lagi sekuat yang kerap kali disaksikan dunia selama puluhan tahun sejak Perang Dunia II berakhir.
Melemahnya cengkeraman AS tentu tak bisa disimpulkan dengan satu penyebab saja. Barangkali Presiden Obama memang sengaja menciptakan asumsi seperti itu. Barangkali kondisi dalam negeri AS belakangan punya peran membuat mereka tak terlalu berkeras menancapkan kuku di luar negeri. Barangkali Amerika Serikat tak bisa lagi sekenanya mengatur sana-sini karena perlahan kehilangan pegangan terhadap ideal-ideal yang mereka gaungkan sendiri.
Tapi pertanyaan yang lebih mendesak, saat AS kehilangan genggaman mereka, kian luntur keadidayaannya, siapa yang bakal mengambil alih? Di Timur Tengah, tren sementara menunjukkan Rusia mulai mengambil peranan aktif. Pembunuhan duta besar mereka di Ankara beberapa waktu lalu bakal jadi legitimasi untuk Rusia melakukan aneka manuver yang akan dilabeli perang melawan terorisme seperti AS pada dekade-dekade belakangan.
Namun hilangnya taring AS yang menyolok juga terjadi di Asia Tenggara. Washington tak bisa berbuat apa-apa saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan massal ribuan warga yang diduga terlibat peredaran, bahkan sekadar penggunaan narkoba, di luar hukum. Filipina, sejak lama adalah sekutu terkuat AS di Asia Tenggara.
Saat coba diperingatkan, Duterte balik menuding AS soal tindakan mereka di Timur Tengah yang menurutnya sama-sama melanggar HAM. Lebih jauh, Duterte mengata-ngatai Presiden Obama dan Dubes AS untuk Filipina sekaligus.
Dan kasus Filipina menunjukkan siapa yang bakal mengambil alih peran AS di regional tersebut. Tak hanya dalam kata-kata, Duterte memutus hubungan militer dengan AS dan beralih ke Cina. Mesti dicatat, sebelum Duterte berkuasa, AS adalah sekutu Filipina melawan Cina dalam sengketa di Laut Cina Selatan.
Pada kunjungan ke Cina, beberapa waktu lalu, Duterte lebih jelas menekankan sentimen ini. “Dalam sektor militer, barangkali bukan
sosial, tapi juga ekonomi, Amerika telah kalah,” kata Duterte di Beijing seperti dikutip Reuters Oktober 2016 lalu. “Saya telah
menempatkan diri sesuai arus ideologi kalian (Cina).”
Wartawan senior harian ternama dari Singapura the Strait Times, Ravi Veloor, menegaskan, tahun lalu memang bisa jadi titik tolak masa peralihan kekuasaan di Asia. Target pemerintahan Obama memindahkan pivot kebijakan luar negeri di Asia Pasifik ternyata tak berjalan mulus dengan adangan dari Cina.
Tak hanya Filipina, Veloor mengingatkan, Malaysia juga untuk pertama kalinya membeli kapal tempur dari Cina tahun lalu. Demikian juga dengan Thailand yang merapatkan diri ke Cina soal Laut Cina Selatan. Investasi Cina juga mengalir deras ke berbagai negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat rencana investasi Cina tahun ini meningkat sebanyak 500 persen dari tahun sebelumnya. Rerupa proyek infrastruktur juga dikembangkan Cina di berbagai daerah Tanah Air. Isu merebaknya TKA legal maupun ilegal dari Cina tak terlepas dari penetrasi tersebut.
Sejarah dunia mencatatkan, pergantian kekuatan dominan dunia jarang berjalan damai. Dengan kecenderungan agresif presiden AS yang baru, tak ada yang bisa menjamin negara itu akan turun panggung secara legawa. Yang harus diwaspadai Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, jangan sampai jadi pelanduk yang terinjak-injak para gajah yang sedang bertarung.
Tapi pertanyaan yang lebih mendesak, saat AS kehilangan genggaman mereka, kian luntur keadidayaannya, siapa yang bakal mengambil alih? Di Timur Tengah, tren sementara menunjukkan Rusia mulai mengambil peranan aktif. Pembunuhan duta besar mereka di Ankara beberapa waktu lalu bakal jadi legitimasi untuk Rusia melakukan aneka manuver yang akan dilabeli perang melawan terorisme seperti AS pada dekade-dekade belakangan.
Namun hilangnya taring AS yang menyolok juga terjadi di Asia Tenggara. Washington tak bisa berbuat apa-apa saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte membuat kebijakan yang mengarah pada pembunuhan massal ribuan warga yang diduga terlibat peredaran, bahkan sekadar penggunaan narkoba, di luar hukum. Filipina, sejak lama adalah sekutu terkuat AS di Asia Tenggara.
Saat coba diperingatkan, Duterte balik menuding AS soal tindakan mereka di Timur Tengah yang menurutnya sama-sama melanggar HAM. Lebih jauh, Duterte mengata-ngatai Presiden Obama dan Dubes AS untuk Filipina sekaligus.
Dan kasus Filipina menunjukkan siapa yang bakal mengambil alih peran AS di regional tersebut. Tak hanya dalam kata-kata, Duterte memutus hubungan militer dengan AS dan beralih ke Cina. Mesti dicatat, sebelum Duterte berkuasa, AS adalah sekutu Filipina melawan Cina dalam sengketa di Laut Cina Selatan.
Pada kunjungan ke Cina, beberapa waktu lalu, Duterte lebih jelas menekankan sentimen ini. “Dalam sektor militer, barangkali bukan
sosial, tapi juga ekonomi, Amerika telah kalah,” kata Duterte di Beijing seperti dikutip Reuters Oktober 2016 lalu. “Saya telah
menempatkan diri sesuai arus ideologi kalian (Cina).”
Wartawan senior harian ternama dari Singapura the Strait Times, Ravi Veloor, menegaskan, tahun lalu memang bisa jadi titik tolak masa peralihan kekuasaan di Asia. Target pemerintahan Obama memindahkan pivot kebijakan luar negeri di Asia Pasifik ternyata tak berjalan mulus dengan adangan dari Cina.
Tak hanya Filipina, Veloor mengingatkan, Malaysia juga untuk pertama kalinya membeli kapal tempur dari Cina tahun lalu. Demikian juga dengan Thailand yang merapatkan diri ke Cina soal Laut Cina Selatan. Investasi Cina juga mengalir deras ke berbagai negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat rencana investasi Cina tahun ini meningkat sebanyak 500 persen dari tahun sebelumnya. Rerupa proyek infrastruktur juga dikembangkan Cina di berbagai daerah Tanah Air. Isu merebaknya TKA legal maupun ilegal dari Cina tak terlepas dari penetrasi tersebut.
Sejarah dunia mencatatkan, pergantian kekuatan dominan dunia jarang berjalan damai. Dengan kecenderungan agresif presiden AS yang baru, tak ada yang bisa menjamin negara itu akan turun panggung secara legawa. Yang harus diwaspadai Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, jangan sampai jadi pelanduk yang terinjak-injak para gajah yang sedang bertarung.
No comments:
Post a Comment