Sunday, September 6, 2015

Dari Muhammadiyah untuk Bangsa

Sinar Harapan, Jumat, 07 Agustus 2015

Pesan Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada generasi yang lebih muda.
Salah satu organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah, telah sukses menggelar Muktamar ke-47, pada 3-7 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan. Selain menghasilkan kepemimpinan baru, ada sejumlah “pesan” disampaikan kepada bangsa ini, terutama para pemimpinnya. Pesan yang memang layak disampaikan karena usia Muhammadiyah jauh lebih tua dari Indonesia sebagai republik yang merdeka.
Pesan Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada generasi yang lebih muda.  Muhammadiyah memandang perlu bagi para pemimpin bangsa untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam menjalankan roda pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang diambil harus mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite. Itulah salah satu karakteristik pemimpin yang direkomendasikan Muhammadiyah.
Seperti pepatah, ikan membusuk dari kepalanya, pembusukan bangsa bisa bermula dari para pemimpinnya. Untuk kepentingan itulah, Muhammadiyah mengajukan sejumlah kriteria yang harus dimiliki para pemimpin di negeri ini.  Kriteria yang dimaksud bukan untuk mendukung atau menolak tokoh-tokoh tertentu, melainkan mengacu pemimpin baik formal maupun informal.
Menurut Muhammadiyah, ada sejumlah kriteria yang harus dimiliki pemimpin. Pertama, visioner dalam arti pemimpin harus memiliki visi jelas, selaras dengan cita-cita mulia para pendiri bangsa. Meminjam istilah mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Sya­fii Maarif, Indonesia banyak dipenuhi pemimpin (lebih tepatnya penguasa) yang menderita “rabun ayam”; hanya mampu melihat kepentingan jangka pendek, tidak punya visi yang jauh ke depan.
Kedua, nasionalis-humanis, yakni memiliki komitmen kebangsaan kuat yang dipadu dengan kemanusiaan luhur. Antara kemanusiaan dan kebangsaan merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kita tak bisa, misalnya, dengan alasan untuk kepentingan bangsa atau nasional, mengabaikan masalah kemanusiaan. Penguatan kepemimpinan bangsa dibangun untuk menjaga dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan.

Solidaritas Bangsa
Ketiga, pemimpin harus mampu membangun solidaritas bangsa yang majemuk. Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan hidup berbangsa yang tak bisa ditawar.
Bung Karno mengatakan, kebinekaan merupakan raison d’etre dari lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia. Oleh karenanya, pemimpin bangsa di semua strata dan di semua lini harus menjunjung tinggi kebinekaan, harus menjadi perekat solidaritas di tingkat lokal, nasional, regional, dan dalam hubungan antarbangsa-bangsa (internasional).
Keempat, seorang pemimpin harus berani mengambil risiko (risk taker). Kalau tidak mau mengambil risiko, jangan menjadi pemimpin dan jangan mengaku sebagai pemimpin. Mendapat kritik, kecaman, atau bahkan mungkin caci maki dari publik adalah risiko yang mungkin harus diterima seorang pemimpin, terutama saat dinilai salah mengambil keputusan.
Bagi seorang pemimpin, mendapat kecaman karena mengambil keputusan lebih baik daripada tidak mengambil keputusan sama sekali. Apalagi pada masa-masa kritis, saat rakyat benar-benar membutuhkan panduan dari pemimpinnya.
Kelima, pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini adalah yang mampu mengambil keputusan secara cepat, tepat, dan tegas (decisive). Dalam kompetisi global, Indonesia cenderung berada di buritan. Bahkan, jika dibandingkan negera-negara tetangga yang sebelumnya berguru kepada kita pun, Indonesia relatif tertinggal. Untuk memacu kemajuan bangsa ini, dibutuhkan pemimpin yang trengginas, bisa berpikir dan bertindak lebih cepat jauh di atas para pemimpin pada umumnya.
Keenam, penyelesai masalah (problem solver). Pemimpin harus selalu berada di tengah masyarakat sebagai pemandu yang tepat dalam menyelesaikan setiap masalah. Salah satu kelemahan dari pemimpin nasional kita saat ini adalah kegagalannya dalam menyelesaikan sejumlah masalah.
Banyak masalah lokal yang pada awalnya sederhana. Namun, karena pemerintah gagal menyelesaikannya atau bahkan cenderung membiarkannya, berkembang menjadi masalah nasional yang berlarut-larut dan menimbulkan kerugian besar.
Ketujuh, pemimpin harus morally committed (memiliki integritas moral yang tinggi). Ibarat sapu, integritas moral adalah sapu yang bersih. Sapu yang kotor, alih-alih akan membersihkan lantai yang kotor malah akan mengotori lantai yang bersih.
Ibarat ikan akan membusuk dari kepalanya, negara pun akan membusuk jika memiliki pemimpin yang busuk. Moralitas suatu bangsa ikut ditentukan moralitas para pemimpinnya. Kepemimpinan adalah keteladanan. Tindakan-tindakan seorang akan cenderung ditiru warganya.
Bahaya terbesar yang menimpa suatu bangsa adalah saat dipimpin seseorang yang berperangai buruk. Sejarah peradaban dunia memberikan pelajaran berharga; jatuhnya sebuah dinasti (kerajaan) umumnya bukan lantaran kalah dalam berperang, bukan karena serbuan musuh dari luar, melainkan lebih karena keropos dari dalam, terutama (saat) dipimpin seorang raja yang lalim, yang lemah secara moral.
Apa yang direkomendasikan Muhammadiyah patut kita camkan dan seyogianya menjadi rujukan kita bersama dalam memilih pemimpin nasional pada masa akan datang. Sebuah rekomendasi lahir pada dasarnya untuk memberikan solusi.
Kriteria-kriteria kepemimpinan yang diajukan Muhammadiyah bukan lahir di wilayah hampa. Ia lahir karena ada tautan sejarah yang merefleksikan kebalikannya. Pemimpin yang dibutuhkan, sejatinya tidak bisa lepas dari karakteristik masyarakat yang dibutuhkannya.
Meski rekomendasi ini ditujukan kepada pemimpin nasional, tidak salah juga jika kita jadikan acuan dalam memilih pemimpin di tingkat lokal yang akan kita lakukan secara serentak di hampir semua daerah/wilayah di Indonesia. Ini karena pemimpin daerah adalah salah satu sumber (bahan baku) pemimpin nasional. 

Jefri Geofani Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.

No comments:

Post a Comment