Sinar Harapan, Jumat, 07 Agustus 2015
Pesan Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada generasi yang lebih muda.
Salah
satu organisasi Islam paling berpengaruh di Indonesia, Muhammadiyah,
telah sukses menggelar Muktamar ke-47, pada 3-7 Agustus di Makassar,
Sulawesi Selatan. Selain menghasilkan kepemimpinan baru, ada sejumlah
“pesan” disampaikan kepada bangsa ini, terutama para pemimpinnya. Pesan
yang memang layak disampaikan karena usia Muhammadiyah jauh lebih tua
dari Indonesia sebagai republik yang merdeka.
Pesan
Muhammadiyah kepada (pemimpin) bangsa, ibarat pesan orang tua pada
generasi yang lebih muda. Muhammadiyah memandang perlu bagi para
pemimpin bangsa untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
menjalankan roda pemerintahan. Kebijakan-kebijakan yang diambil harus
mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite. Itulah salah
satu karakteristik pemimpin yang direkomendasikan Muhammadiyah.
Seperti
pepatah, ikan membusuk dari kepalanya, pembusukan bangsa bisa bermula
dari para pemimpinnya. Untuk kepentingan itulah, Muhammadiyah mengajukan
sejumlah kriteria yang harus dimiliki para pemimpin di negeri ini.
Kriteria yang dimaksud bukan untuk mendukung atau menolak tokoh-tokoh
tertentu, melainkan mengacu pemimpin baik formal maupun informal.
Menurut
Muhammadiyah, ada sejumlah kriteria yang harus dimiliki pemimpin.
Pertama, visioner dalam arti pemimpin harus memiliki visi jelas, selaras
dengan cita-cita mulia para pendiri bangsa. Meminjam istilah mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, Indonesia banyak
dipenuhi pemimpin (lebih tepatnya penguasa) yang menderita “rabun ayam”;
hanya mampu melihat kepentingan jangka pendek, tidak punya visi yang
jauh ke depan.
Kedua, nasionalis-humanis, yakni
memiliki komitmen kebangsaan kuat yang dipadu dengan kemanusiaan luhur.
Antara kemanusiaan dan kebangsaan merupakan satu kesatuan yang tak bisa
dipisahkan satu sama lain. Kita tak bisa, misalnya, dengan alasan untuk
kepentingan bangsa atau nasional, mengabaikan masalah kemanusiaan.
Penguatan kepemimpinan bangsa dibangun untuk menjaga dan menjunjung
tinggi prinsip-prinsip kemanusiaan.
Solidaritas Bangsa
Ketiga,
pemimpin harus mampu membangun solidaritas bangsa yang majemuk.
Bhinneka Tunggal Ika adalah landasan hidup berbangsa yang tak bisa
ditawar.
Bung Karno mengatakan, kebinekaan merupakan
raison d’etre dari lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia. Oleh
karenanya, pemimpin bangsa di semua strata dan di semua lini harus
menjunjung tinggi kebinekaan, harus menjadi perekat solidaritas di
tingkat lokal, nasional, regional, dan dalam hubungan antarbangsa-bangsa
(internasional).
Keempat, seorang pemimpin harus
berani mengambil risiko (risk taker). Kalau tidak mau mengambil risiko,
jangan menjadi pemimpin dan jangan mengaku sebagai pemimpin. Mendapat
kritik, kecaman, atau bahkan mungkin caci maki dari publik adalah risiko
yang mungkin harus diterima seorang pemimpin, terutama saat dinilai
salah mengambil keputusan.
Bagi seorang pemimpin,
mendapat kecaman karena mengambil keputusan lebih baik daripada tidak
mengambil keputusan sama sekali. Apalagi pada masa-masa kritis, saat
rakyat benar-benar membutuhkan panduan dari pemimpinnya.
Kelima,
pemimpin yang dibutuhkan bangsa ini adalah yang mampu mengambil
keputusan secara cepat, tepat, dan tegas (decisive). Dalam kompetisi
global, Indonesia cenderung berada di buritan. Bahkan, jika dibandingkan
negera-negara tetangga yang sebelumnya berguru kepada kita pun,
Indonesia relatif tertinggal. Untuk memacu kemajuan bangsa ini,
dibutuhkan pemimpin yang trengginas, bisa berpikir dan bertindak lebih
cepat jauh di atas para pemimpin pada umumnya.
Keenam,
penyelesai masalah (problem solver). Pemimpin harus selalu berada di
tengah masyarakat sebagai pemandu yang tepat dalam menyelesaikan setiap
masalah. Salah satu kelemahan dari pemimpin nasional kita saat ini
adalah kegagalannya dalam menyelesaikan sejumlah masalah.
Banyak
masalah lokal yang pada awalnya sederhana. Namun, karena pemerintah
gagal menyelesaikannya atau bahkan cenderung membiarkannya, berkembang
menjadi masalah nasional yang berlarut-larut dan menimbulkan kerugian
besar.
Ketujuh, pemimpin harus morally committed
(memiliki integritas moral yang tinggi). Ibarat sapu, integritas moral
adalah sapu yang bersih. Sapu yang kotor, alih-alih akan membersihkan
lantai yang kotor malah akan mengotori lantai yang bersih.
Ibarat
ikan akan membusuk dari kepalanya, negara pun akan membusuk jika
memiliki pemimpin yang busuk. Moralitas suatu bangsa ikut ditentukan
moralitas para pemimpinnya. Kepemimpinan adalah keteladanan.
Tindakan-tindakan seorang akan cenderung ditiru warganya.
Bahaya
terbesar yang menimpa suatu bangsa adalah saat dipimpin seseorang yang
berperangai buruk. Sejarah peradaban dunia memberikan pelajaran
berharga; jatuhnya sebuah dinasti (kerajaan) umumnya bukan lantaran
kalah dalam berperang, bukan karena serbuan musuh dari luar, melainkan
lebih karena keropos dari dalam, terutama (saat) dipimpin seorang raja
yang lalim, yang lemah secara moral.
Apa yang
direkomendasikan Muhammadiyah patut kita camkan dan seyogianya menjadi
rujukan kita bersama dalam memilih pemimpin nasional pada masa akan
datang. Sebuah rekomendasi lahir pada dasarnya untuk memberikan solusi.
Kriteria-kriteria
kepemimpinan yang diajukan Muhammadiyah bukan lahir di wilayah hampa.
Ia lahir karena ada tautan sejarah yang merefleksikan kebalikannya.
Pemimpin yang dibutuhkan, sejatinya tidak bisa lepas dari karakteristik
masyarakat yang dibutuhkannya.
Meski rekomendasi ini
ditujukan kepada pemimpin nasional, tidak salah juga jika kita jadikan
acuan dalam memilih pemimpin di tingkat lokal yang akan kita lakukan
secara serentak di hampir semua daerah/wilayah di Indonesia. Ini karena
pemimpin daerah adalah salah satu sumber (bahan baku) pemimpin
nasional.
Jefri Geofani Penulis adalah Direktur Utama PT Sinar Harapan Media Holding.
No comments:
Post a Comment